26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

SLJJ

Beberapa waktu lalu, sebelum telepon seluler menjamur, ada usaha yang begitu menggiurkan. Namanya, warung telekomunikasi alias wartel. Bisnis itu maju karena menyewakan jasa telepon antarkota atau yang akrab disebut Saluran Langsung Jarak Jauh alias SLJJ.

Saking topnya SLJJ itu, wartel pun menjamur ke segala penjuru di seantero negeri. Dengan kata lain, jarak yang memisahkan dua kerabat bukan lagi masalah setelah wartel berdiri di sekitar sawah. Namun, seiring waktu, setelah telepon seluler nyaris hadir di setiap tangan warga Indonesia, SLJJ di wartel tadi mulai ditinggalkan. Bisnis langsung padam. Ya, wartel telah dipindahkan ke sebuah benda kecil yang bisa ditenteng itu. Dan, itu sangat privasi; warga tak harus mengantre seperti saat ingin menggunakan wartel.

Namun, catatan ini tidak ingin membahas wartel vs telepon seluler. Ini tentang ‘jarak jauh’ tadi. Ya, belakangan memang marak kuliah kelas jauh bukan? Intinya, jarak dipangkas untuk memudahkan. Seorang warga yang ingin kuliah tidak harus pindah kota. Cukup di Kota B agar mendapat ijazah perguruan tinggi yang berada di Kota A. Dengan kata lain, kuliah pun dibuat SLJJ. Bagi sebagian orang program semacam itu jelas sangat menolong. Artinya, selain menghemat biaya, tentunya waktu bisa dibuat seefektif mungkin; cukup kuliah Sabtu dan Minggu.

Tapi masalahnya, tidak semua keinginan sesuai dengan kenyataan bukan? Ada saja oknum yang mencari kesempatan. Dan, biasanya yang mencari kesempatan ini adalah orang yang pintar. Berbekal pengetahuan warga butuh ijazah, mereka pun membangun jasa kuliah kelas jauh yang menawarkan ijazah dengan gampang. Nah, inilah yang akhirnya membuat masalah. Kontrol terhadap kegiatan ini sangat sulit. Pasalnya, tidak sedikit di antara mereka itu ternyata kampus abal-abal dan melansir ijazah ilegal. Alhasil, banyak masyarakat menjadi korban. Publik tidak sadar menjadi korban penipuan. Mereka baru sadar ketika, misalnya, ditolak mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) karena berijazah keluaran kelas jauh.
Kenyataan ini yang membuat Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Achmad Jazidie, mengambil langkah tegas. Kuliah kelas jauh harus dibubarkan! Untuk membubarkannya, pihak Kemendikbud pun meminta bantuan polisi. Pasalnya, pembukaan kelas jauh ini sudah masuk ranah pidana karena mengandung unsur penipuan.

Hm, terlepas dari itu, ada yang bagi saya menarik dari kasus ini. Pertama soal terbentuknya kuliah kelas jauh tadi. Di atas sudah saya sebutkan kalau ada orang pintar yang mencari celah. Mereka menggunakan atau memanfaatkan keinginan warga yang ingin memiliki ijazah secara cepat dan gampang. Untuk orang yang semacam itu, dana bukan masalah bukan? Apalagi, ijazah bagi warga Indonesia masih berupa prestise. Dan kedua, soal kontrol dari Kemendikbud. Artinya, meski ijazah tidak legal, usaha kuliah kelas jauh tentunya perlu publikasi. Nah, kenapa setelah beredar sekian ijazah, Kemendikbud baru ribut. Kemana Kemendikbud ketika papan nama perguruan tinggi (yang katanya di ruko-ruko) mulai dipajang? Seandainya saja pengawasan Kemendikbud kuat, maka tidak perlu polisi turun tangan kan? Ya, ketika ada papan nama atau iklan yang muncul di media, tim Kemendikbud langsung memanggil pihak yang bersangkutan.

Kini, bak jamur di kulit, setelah gatal baru diobati. Kenapa tidak jaga kebersihan saat belum terhinggap panu atau kurap!

Tapi itulah Indonesia, segala sesuatunya bak SLJJ. Artinya, terasa dekat tapi ternyata jauh. Bisa berbincang langsung tapi tidak bisa saling menatap.

Pun soal membubarkan kuliah kelas jauh ini. Tampaknya gampang karena praktik nakal itu sudah diketahui, tapi bisakah langsung ditindak dan dikembalikan segala kerugian yang diterima warga? (*)

Beberapa waktu lalu, sebelum telepon seluler menjamur, ada usaha yang begitu menggiurkan. Namanya, warung telekomunikasi alias wartel. Bisnis itu maju karena menyewakan jasa telepon antarkota atau yang akrab disebut Saluran Langsung Jarak Jauh alias SLJJ.

Saking topnya SLJJ itu, wartel pun menjamur ke segala penjuru di seantero negeri. Dengan kata lain, jarak yang memisahkan dua kerabat bukan lagi masalah setelah wartel berdiri di sekitar sawah. Namun, seiring waktu, setelah telepon seluler nyaris hadir di setiap tangan warga Indonesia, SLJJ di wartel tadi mulai ditinggalkan. Bisnis langsung padam. Ya, wartel telah dipindahkan ke sebuah benda kecil yang bisa ditenteng itu. Dan, itu sangat privasi; warga tak harus mengantre seperti saat ingin menggunakan wartel.

Namun, catatan ini tidak ingin membahas wartel vs telepon seluler. Ini tentang ‘jarak jauh’ tadi. Ya, belakangan memang marak kuliah kelas jauh bukan? Intinya, jarak dipangkas untuk memudahkan. Seorang warga yang ingin kuliah tidak harus pindah kota. Cukup di Kota B agar mendapat ijazah perguruan tinggi yang berada di Kota A. Dengan kata lain, kuliah pun dibuat SLJJ. Bagi sebagian orang program semacam itu jelas sangat menolong. Artinya, selain menghemat biaya, tentunya waktu bisa dibuat seefektif mungkin; cukup kuliah Sabtu dan Minggu.

Tapi masalahnya, tidak semua keinginan sesuai dengan kenyataan bukan? Ada saja oknum yang mencari kesempatan. Dan, biasanya yang mencari kesempatan ini adalah orang yang pintar. Berbekal pengetahuan warga butuh ijazah, mereka pun membangun jasa kuliah kelas jauh yang menawarkan ijazah dengan gampang. Nah, inilah yang akhirnya membuat masalah. Kontrol terhadap kegiatan ini sangat sulit. Pasalnya, tidak sedikit di antara mereka itu ternyata kampus abal-abal dan melansir ijazah ilegal. Alhasil, banyak masyarakat menjadi korban. Publik tidak sadar menjadi korban penipuan. Mereka baru sadar ketika, misalnya, ditolak mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) karena berijazah keluaran kelas jauh.
Kenyataan ini yang membuat Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Achmad Jazidie, mengambil langkah tegas. Kuliah kelas jauh harus dibubarkan! Untuk membubarkannya, pihak Kemendikbud pun meminta bantuan polisi. Pasalnya, pembukaan kelas jauh ini sudah masuk ranah pidana karena mengandung unsur penipuan.

Hm, terlepas dari itu, ada yang bagi saya menarik dari kasus ini. Pertama soal terbentuknya kuliah kelas jauh tadi. Di atas sudah saya sebutkan kalau ada orang pintar yang mencari celah. Mereka menggunakan atau memanfaatkan keinginan warga yang ingin memiliki ijazah secara cepat dan gampang. Untuk orang yang semacam itu, dana bukan masalah bukan? Apalagi, ijazah bagi warga Indonesia masih berupa prestise. Dan kedua, soal kontrol dari Kemendikbud. Artinya, meski ijazah tidak legal, usaha kuliah kelas jauh tentunya perlu publikasi. Nah, kenapa setelah beredar sekian ijazah, Kemendikbud baru ribut. Kemana Kemendikbud ketika papan nama perguruan tinggi (yang katanya di ruko-ruko) mulai dipajang? Seandainya saja pengawasan Kemendikbud kuat, maka tidak perlu polisi turun tangan kan? Ya, ketika ada papan nama atau iklan yang muncul di media, tim Kemendikbud langsung memanggil pihak yang bersangkutan.

Kini, bak jamur di kulit, setelah gatal baru diobati. Kenapa tidak jaga kebersihan saat belum terhinggap panu atau kurap!

Tapi itulah Indonesia, segala sesuatunya bak SLJJ. Artinya, terasa dekat tapi ternyata jauh. Bisa berbincang langsung tapi tidak bisa saling menatap.

Pun soal membubarkan kuliah kelas jauh ini. Tampaknya gampang karena praktik nakal itu sudah diketahui, tapi bisakah langsung ditindak dan dikembalikan segala kerugian yang diterima warga? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/