23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Investasi

Saya punya tiga kawan yang memiliki pandangan berbeda soal investasi. Ini bukan soal perbedaan makna investasi bagi mereka, tapi lebih mengarah pada apa benda terbaik untuk dijadikan investasikan. Dan, ketiga-tiganya tetap ngotot dengan pilihannya masing-masing.

Kawan pertama sebut saja si A, yang kedua si B, dan yang ketika tentunya si C. Si A memilih berinvestasi dengan emas. Si B berinvestasi dengan rumah. Dan, si C memilih menyimpan uang di bank dalam usahanya berinvestasi. Suatu hari, ketiga terlibat dalam perbincangan menarik. Si A menganggap pilihannya yang paling benar karena harga emas memang cenderung tidak pernah turun. Dia berargumen, kenaikan harga emas per tahunnya minimal dua puluh persen. Jadi, ketika beli emas seharga Rp480.000 pada 2012, maka pada 2013 dia menjadi 576.000. Dihitungnya lagi hingga tahun 2025, emas miliknya pun bernilai 5.135.673,86.

“Bayangkan kalau naiknya 60 persen pertahun, emas satu gram yang kumiliki bisa seharga 216.172.782,11!” begitu dia berkoar.

Si B tak mau kalah. Dia mengatakan, rumah adalah investasi yang lebih menjanjikan. Nilai terus naik tanpa turun. Contohnya, beberapa tahun lalu dia membeli rumah di Komplek Johor Indah Permai Medan yang berada di blok 6 senilai 60 juta rupiah. Kini, rumahnya ditawar pembeli dengan harga 200 jutaan rupiah. “Aku tolak, karena beberapa tahun ke depan, aku yakin nilainya bisa sekian lipat lagi,” begitu dia menyombongkan diri.

Si C ikut panas. Dia pun bercerita kalau uang yang disimpan di bank jauh lebih aman. Selain simpanannya dijamin oleh pemerintah, tidak ada risiko rugi karena selama menyimpan, maka akan mendapat bunga dari simpanan tersebut. “Jadi, tak ada keraguan akan kehilangan uang. Dan, ketika dibutuhkan, kita juga bisa langsung menggunakan uang itu tanpa harus menunggu pembeli untuk menjual barang yang kita simpan, “ kata si C sambil membusungkan dada.

Setelah saling memuji diri sendiri, babak berikutnya mulailah mereka saling menyerang. Si A pertama kali menyerang di C. Katanya, menyimpan uang di bank memang aman, tapi bukan berarti tidak rugi. Kata si A, bunga bank nilainya lebih kecil dari rata-rata angka inflasi yang terjadi di Indonesia. Intinya bila uang disimpan di bank, nilainya akan turun meskipun ditambah bunga. Paling hebat kenaikan bunga deposito di bank sebesar sepuluh persen.

“Sendainya saja kau menyimpan uang 360 ribu pada 2009 lalu, maka pada 2025 ini uangmu hanya jadi 1.654.190 rupiah. Apa artinya uang senilai itu pada 2025 nanti?” begitu serang si A.

Si C emosi. Dia membalas si A dengan nilai emas yang sejatinya juga rawan jeblok. Emas dia katakan sangat bergantung dengan harga dunia. “Ini kan karena emas jumlahnya sedikit, bisa banyakan ketika emas berjibun hingga kayak batu kerikil? Paling-paling dia dijual per kubik,” omong si C sambil senyum-senyum.

Si B yang dari tadi memperhatikan si A dan si C tiba-tiba nyeletuk. “Makanya, beli rumah saja. Emas dan uang juga bisa disimpan di dalam rumah,” kekehnya.

Si A dan C tertawa. Mereka tertawa bukan karena sepakat dengan si B. Tapi, bagi mereka, investasi rumah adalah sesuatu yang paling merugi; tentunya dibandingkan dengan pilihan mereka tadi.

“Kenapa kalian tertawa, rumah paling tepat untuk investasi?” protes si B begitu menyadari kalau tawa dua temannya tadi adalah tawa mengejek.
Si A tidak langsung menjawab, dia melirik si C. Tatapan keduanya tiba-tiba sama, ya sama-sama ingin menyerang pilihan si B tadi.
“Rawan terbakar, rawan banjir, rawan kemalingan,” kata si C.

“Kalau sudah begitu, harga sudah tidak bisa diandalkan,” timpal si A.

Setelah itu, ketiganya langsung tertawa. Sepertinya, tak ada dendam pada mereka. Ya, padahal satu sama lain sudah saling mengejek.
Begitulah, dialog kawan-kawan saya tadi tiba-tiba mengusik saya. Ini semua karena ada berita tentang kenaikan harga emas yang begitu tajam.  Sejatinya saya tidak mau ambil pusing dengan hal itu, namun yang harus saya catat adalah kenaikan harga emas tidak selalu mengembirakan. Contohnya kawan saya yang lain, yang ingin menikah tahun ini. Berapa yang harus dia sediakan uang untuk membeli sepuluh mayam emas (satu mayam sama dengan tiga koma tiga gram) sebagai syarat untuk menikahi gadis pujaannya? “Dua tahun yang lalu aku batalkan karena gak ada uang, masak sekarang batal lagi,” kata kawan saya.

Hm, sudahlah… (*)

Saya punya tiga kawan yang memiliki pandangan berbeda soal investasi. Ini bukan soal perbedaan makna investasi bagi mereka, tapi lebih mengarah pada apa benda terbaik untuk dijadikan investasikan. Dan, ketiga-tiganya tetap ngotot dengan pilihannya masing-masing.

Kawan pertama sebut saja si A, yang kedua si B, dan yang ketika tentunya si C. Si A memilih berinvestasi dengan emas. Si B berinvestasi dengan rumah. Dan, si C memilih menyimpan uang di bank dalam usahanya berinvestasi. Suatu hari, ketiga terlibat dalam perbincangan menarik. Si A menganggap pilihannya yang paling benar karena harga emas memang cenderung tidak pernah turun. Dia berargumen, kenaikan harga emas per tahunnya minimal dua puluh persen. Jadi, ketika beli emas seharga Rp480.000 pada 2012, maka pada 2013 dia menjadi 576.000. Dihitungnya lagi hingga tahun 2025, emas miliknya pun bernilai 5.135.673,86.

“Bayangkan kalau naiknya 60 persen pertahun, emas satu gram yang kumiliki bisa seharga 216.172.782,11!” begitu dia berkoar.

Si B tak mau kalah. Dia mengatakan, rumah adalah investasi yang lebih menjanjikan. Nilai terus naik tanpa turun. Contohnya, beberapa tahun lalu dia membeli rumah di Komplek Johor Indah Permai Medan yang berada di blok 6 senilai 60 juta rupiah. Kini, rumahnya ditawar pembeli dengan harga 200 jutaan rupiah. “Aku tolak, karena beberapa tahun ke depan, aku yakin nilainya bisa sekian lipat lagi,” begitu dia menyombongkan diri.

Si C ikut panas. Dia pun bercerita kalau uang yang disimpan di bank jauh lebih aman. Selain simpanannya dijamin oleh pemerintah, tidak ada risiko rugi karena selama menyimpan, maka akan mendapat bunga dari simpanan tersebut. “Jadi, tak ada keraguan akan kehilangan uang. Dan, ketika dibutuhkan, kita juga bisa langsung menggunakan uang itu tanpa harus menunggu pembeli untuk menjual barang yang kita simpan, “ kata si C sambil membusungkan dada.

Setelah saling memuji diri sendiri, babak berikutnya mulailah mereka saling menyerang. Si A pertama kali menyerang di C. Katanya, menyimpan uang di bank memang aman, tapi bukan berarti tidak rugi. Kata si A, bunga bank nilainya lebih kecil dari rata-rata angka inflasi yang terjadi di Indonesia. Intinya bila uang disimpan di bank, nilainya akan turun meskipun ditambah bunga. Paling hebat kenaikan bunga deposito di bank sebesar sepuluh persen.

“Sendainya saja kau menyimpan uang 360 ribu pada 2009 lalu, maka pada 2025 ini uangmu hanya jadi 1.654.190 rupiah. Apa artinya uang senilai itu pada 2025 nanti?” begitu serang si A.

Si C emosi. Dia membalas si A dengan nilai emas yang sejatinya juga rawan jeblok. Emas dia katakan sangat bergantung dengan harga dunia. “Ini kan karena emas jumlahnya sedikit, bisa banyakan ketika emas berjibun hingga kayak batu kerikil? Paling-paling dia dijual per kubik,” omong si C sambil senyum-senyum.

Si B yang dari tadi memperhatikan si A dan si C tiba-tiba nyeletuk. “Makanya, beli rumah saja. Emas dan uang juga bisa disimpan di dalam rumah,” kekehnya.

Si A dan C tertawa. Mereka tertawa bukan karena sepakat dengan si B. Tapi, bagi mereka, investasi rumah adalah sesuatu yang paling merugi; tentunya dibandingkan dengan pilihan mereka tadi.

“Kenapa kalian tertawa, rumah paling tepat untuk investasi?” protes si B begitu menyadari kalau tawa dua temannya tadi adalah tawa mengejek.
Si A tidak langsung menjawab, dia melirik si C. Tatapan keduanya tiba-tiba sama, ya sama-sama ingin menyerang pilihan si B tadi.
“Rawan terbakar, rawan banjir, rawan kemalingan,” kata si C.

“Kalau sudah begitu, harga sudah tidak bisa diandalkan,” timpal si A.

Setelah itu, ketiganya langsung tertawa. Sepertinya, tak ada dendam pada mereka. Ya, padahal satu sama lain sudah saling mengejek.
Begitulah, dialog kawan-kawan saya tadi tiba-tiba mengusik saya. Ini semua karena ada berita tentang kenaikan harga emas yang begitu tajam.  Sejatinya saya tidak mau ambil pusing dengan hal itu, namun yang harus saya catat adalah kenaikan harga emas tidak selalu mengembirakan. Contohnya kawan saya yang lain, yang ingin menikah tahun ini. Berapa yang harus dia sediakan uang untuk membeli sepuluh mayam emas (satu mayam sama dengan tiga koma tiga gram) sebagai syarat untuk menikahi gadis pujaannya? “Dua tahun yang lalu aku batalkan karena gak ada uang, masak sekarang batal lagi,” kata kawan saya.

Hm, sudahlah… (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/