31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Tekong

Herdiansyah

Ini bahasa Medan. Gaya Medan. Tekong. Satu kata berisi enam huruf yang maknanya pasti sudah dimafhumi.
“Bah, kena tekong kita.”

Kalimat ini diucapkan seseorang yang baru sadar jadi pecundang, didahului rivalnya. Seseorang yang n
baru saja terpotong haknya juga mengucapkan kalimat itu. Korban penipuan juga kerap berkata demikian.

Kata tekong mungkin ‘evolusi’ dari kata tikung yang dalam keseharian jadi bahasa prokem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tikung sendiri berarti membelok atau berkelok. Sedangkan kata tekong dalam kamus besar itu bermakna pemain sepak takraw yang melakukan tendangan permulaan. Ada juga kata tekong yang berarti nakhkoda.

Saya tak bermaksud membahas kata itu. Jelas saya bukan ahlinya. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa tekong bukan hanya jadi kata dalam bahasa Medan. Tapi sudah jadi ‘budaya’ keseharian. Muatannya jelas berkonotasi negatif. Banyak kata dalam bahasa Medan yang dengan telanjang menggambarkan bagaimana perilaku warganya.

Wali Kota Medan (mantan), Drs H Abdillah Ak MBA, pada 2004 pernah mencoba mengubah imej negatif tentang bahasa Medan dan perilaku yang digambarkan dalam bahasa tersebut. Jargon ‘Ini Medan Bung!’ diubahnya menjadi ‘Ini Baru Medan!’ Namun, upaya itu bisa dibilang gagal. Tetap saja tak ada yang berubah. Karena mengubah perilaku tak bisa dilakukan dengan hanya mengubah kata dan bahasa.

Kembali kepada kata tekong. Kemarin, seorang teman yang beberapa hari lalu ikut demonstrasi di gedung DPRD Medan, bersungut-sungut. Dia dengan kesal mengucapkan kata tekong. Saat diajak demonstrasi, dia dijanjikan ‘upah’ Rp100 ribu, tapi yang diterimanya usai berteriak-teriak di gedung wakil rakyat itu hanya Rp50 ribu. “Kena tekong. Janjinya 100, yang diterima cuma 50.”

Sehari sebelumnya, seorang teman PNS di Pemko Medan yang pekan lalu mengikuti Diklat Keuangan di Hotel Dharma Deli, beberapa kali juga mengucapkan kata tekong. Dia bercerita setiap kali ada kegiatan yang digelar beberapa SKPD Pemko Medan, selalu saja ada pemotongan honor atau uang transport oleh panitia. “Ah, selalu kena tekong, yang diteken Rp210 ribu, pas kubuka amplopnya cuma Rp150 ribu. Kawan-kawan yang lain begitu juga, kena tekong semua.”

Tak cuma soal penghasilan yang ditekong. Jargon Kota Medan zaman Drs H Abdillah Ak MBA juga telah ditekong. Setahun setelah resmi jadi Wali Kota Medan, Drs H Rahudman Harahap MM, mengubah jargon Kota Medan ‘Ini Baru Medan!’  menjadi ‘Medan Kotaku, Mantab, Mantab, Mantab!’
Ya, sudahlah. Semoga hanya kata-kata saja yang ditekong. (*)

* Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Herdiansyah

Ini bahasa Medan. Gaya Medan. Tekong. Satu kata berisi enam huruf yang maknanya pasti sudah dimafhumi.
“Bah, kena tekong kita.”

Kalimat ini diucapkan seseorang yang baru sadar jadi pecundang, didahului rivalnya. Seseorang yang n
baru saja terpotong haknya juga mengucapkan kalimat itu. Korban penipuan juga kerap berkata demikian.

Kata tekong mungkin ‘evolusi’ dari kata tikung yang dalam keseharian jadi bahasa prokem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tikung sendiri berarti membelok atau berkelok. Sedangkan kata tekong dalam kamus besar itu bermakna pemain sepak takraw yang melakukan tendangan permulaan. Ada juga kata tekong yang berarti nakhkoda.

Saya tak bermaksud membahas kata itu. Jelas saya bukan ahlinya. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa tekong bukan hanya jadi kata dalam bahasa Medan. Tapi sudah jadi ‘budaya’ keseharian. Muatannya jelas berkonotasi negatif. Banyak kata dalam bahasa Medan yang dengan telanjang menggambarkan bagaimana perilaku warganya.

Wali Kota Medan (mantan), Drs H Abdillah Ak MBA, pada 2004 pernah mencoba mengubah imej negatif tentang bahasa Medan dan perilaku yang digambarkan dalam bahasa tersebut. Jargon ‘Ini Medan Bung!’ diubahnya menjadi ‘Ini Baru Medan!’ Namun, upaya itu bisa dibilang gagal. Tetap saja tak ada yang berubah. Karena mengubah perilaku tak bisa dilakukan dengan hanya mengubah kata dan bahasa.

Kembali kepada kata tekong. Kemarin, seorang teman yang beberapa hari lalu ikut demonstrasi di gedung DPRD Medan, bersungut-sungut. Dia dengan kesal mengucapkan kata tekong. Saat diajak demonstrasi, dia dijanjikan ‘upah’ Rp100 ribu, tapi yang diterimanya usai berteriak-teriak di gedung wakil rakyat itu hanya Rp50 ribu. “Kena tekong. Janjinya 100, yang diterima cuma 50.”

Sehari sebelumnya, seorang teman PNS di Pemko Medan yang pekan lalu mengikuti Diklat Keuangan di Hotel Dharma Deli, beberapa kali juga mengucapkan kata tekong. Dia bercerita setiap kali ada kegiatan yang digelar beberapa SKPD Pemko Medan, selalu saja ada pemotongan honor atau uang transport oleh panitia. “Ah, selalu kena tekong, yang diteken Rp210 ribu, pas kubuka amplopnya cuma Rp150 ribu. Kawan-kawan yang lain begitu juga, kena tekong semua.”

Tak cuma soal penghasilan yang ditekong. Jargon Kota Medan zaman Drs H Abdillah Ak MBA juga telah ditekong. Setahun setelah resmi jadi Wali Kota Medan, Drs H Rahudman Harahap MM, mengubah jargon Kota Medan ‘Ini Baru Medan!’  menjadi ‘Medan Kotaku, Mantab, Mantab, Mantab!’
Ya, sudahlah. Semoga hanya kata-kata saja yang ditekong. (*)

* Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/