25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Semrawut

“Ih…rambut Tulang semrawut,” geli seorang keponakan kepada pamannya.

Sang paman yang merupakan teman saya hanya tersenyum sambil memegang rambut gimbalnya yang rapi dan terawat. “Seksi kan?” canda teman saya itu.
Si ponakan langsung melotot. “Semrawut, bukan seksi!” balasnya.

Dialog di atas tidk saya lanjutkan dalam catatan ini. Pasalnya, saya saya tidak tertarik dengan isi perbincangan mereka berikutnya. Paling hanya soal keluarga, kegiatan sehari-hari, hingga soal permintaan sang ponakan yang harus dituruti si tulang. Saya lebih tertarik dengan kata ‘semrawut’ yang dua kali diungkapkan sang ponakan. Maksud saya, kata itukan cukup sulit  diucapkan oleh anak yang masih kelas 1 SD. Ya, sang ponakan memang masih seumuran itu, tapi kenapa dia begitu fasih mengucapkan kata itu?

Menurut artinya, ‘semrawut’ adalah kacau balau; acak-acakan; tidak teratur. Nah, arti kata yang dimaksud oleh si ponakan jelas berbeda dengan rambut kawan saya tadi. Baiklah, rambut itu gimbal, namun gimbal milik kawan saya adalah gimbal salon; bukan gimbal akibat tak terawat dan direndam air laut. Kawan saya terkenal sangat menjaga rambutnya itu, dia setiap pekan creambath, potongan rambutnya rapi;  tidak gonrdong seperti Mbah Surip.
Tapi begitulah, imej gimbal memang cukup kental dengan ‘semrawut’ tadi. Maka, saya agak maklum dengan tudingan ponakan teman saya itu. Tapi, bagaimana anak sekecil itu bisa akrab dengan kata ‘semrawut’?

Saya menduga, sang ponakan sering mendengar kata itu dari orangtuanya. Misalnya, ketika mereka sedang di dalam mobil, orangtuanya stres mengendarai mobil di jalanan Kota Medan, maka orangtuanya akan berkata,” Semrawut kali jalan di Medan ini.”

Nah, kejadian itu terus berulang seiring dengan seringnya mereka melintasi jalanan medan yang memang cenderung ‘semrawut’.

Bagaimana tidak, volume kendaraan di Medan kan terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara volume jalan tak begitu tampak berkembang. Apalagi, ada 10 ribu angkutan kota yang berebut penumpang setiap harinya. Ditambah, dari 10 ribu angkutan kota itu banyak yang memiliki trayek alias jalur yang sama. Nah, saat mencari penumpang hingga berebutan, parkir atau pemberhentian angkot juga bisa memicu macet bukan?

Dalam keadaan jalan yang begitu, maka sang orangtua juga akan sering menggunakan ‘semrawut’ tadi yang tentunya didengar ponakan kawan saya. Pertanyaannya? Kenapa tidak menggunakan kata ‘kacau’, atau ‘tidak teratur’? Lagi-lagi saya menduga, sang orangtua pasti sangat kesal dengan macet hingga tiga kata yang saya sebutkan tadi sudah tidak bisa mewakili lagi. Maka, dia memilih kata ‘semrawut’ untuk mewakili kekesalannya; apalagi bunyi dari kata itu  cukup menunjukkan suasana yang krodit?

Nah, begitupun dengan kata ‘semrawut’ yang diungkap sang ponakan adalah karena (mungkin) dia sudah begitu suntuk dengan rambut tulangnya. Padahal, kalau dia tahu berapa biaya yang dihabiskan tulangnya untuk merawat rambut itu, mungkin dia akan menarik kalimatnya. Ya, perawatan rambut gimbal memang lebih mahal dari rambut biasa.

Ups, bagaimana dengan ‘semrawut’ yang diungkapkan sang orangtua? Ya, apakah dia akan tetap menggunakan kata itu ketika dia tahu sulitnya mengatur pengguna jalan di Medan? (*)

“Ih…rambut Tulang semrawut,” geli seorang keponakan kepada pamannya.

Sang paman yang merupakan teman saya hanya tersenyum sambil memegang rambut gimbalnya yang rapi dan terawat. “Seksi kan?” canda teman saya itu.
Si ponakan langsung melotot. “Semrawut, bukan seksi!” balasnya.

Dialog di atas tidk saya lanjutkan dalam catatan ini. Pasalnya, saya saya tidak tertarik dengan isi perbincangan mereka berikutnya. Paling hanya soal keluarga, kegiatan sehari-hari, hingga soal permintaan sang ponakan yang harus dituruti si tulang. Saya lebih tertarik dengan kata ‘semrawut’ yang dua kali diungkapkan sang ponakan. Maksud saya, kata itukan cukup sulit  diucapkan oleh anak yang masih kelas 1 SD. Ya, sang ponakan memang masih seumuran itu, tapi kenapa dia begitu fasih mengucapkan kata itu?

Menurut artinya, ‘semrawut’ adalah kacau balau; acak-acakan; tidak teratur. Nah, arti kata yang dimaksud oleh si ponakan jelas berbeda dengan rambut kawan saya tadi. Baiklah, rambut itu gimbal, namun gimbal milik kawan saya adalah gimbal salon; bukan gimbal akibat tak terawat dan direndam air laut. Kawan saya terkenal sangat menjaga rambutnya itu, dia setiap pekan creambath, potongan rambutnya rapi;  tidak gonrdong seperti Mbah Surip.
Tapi begitulah, imej gimbal memang cukup kental dengan ‘semrawut’ tadi. Maka, saya agak maklum dengan tudingan ponakan teman saya itu. Tapi, bagaimana anak sekecil itu bisa akrab dengan kata ‘semrawut’?

Saya menduga, sang ponakan sering mendengar kata itu dari orangtuanya. Misalnya, ketika mereka sedang di dalam mobil, orangtuanya stres mengendarai mobil di jalanan Kota Medan, maka orangtuanya akan berkata,” Semrawut kali jalan di Medan ini.”

Nah, kejadian itu terus berulang seiring dengan seringnya mereka melintasi jalanan medan yang memang cenderung ‘semrawut’.

Bagaimana tidak, volume kendaraan di Medan kan terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara volume jalan tak begitu tampak berkembang. Apalagi, ada 10 ribu angkutan kota yang berebut penumpang setiap harinya. Ditambah, dari 10 ribu angkutan kota itu banyak yang memiliki trayek alias jalur yang sama. Nah, saat mencari penumpang hingga berebutan, parkir atau pemberhentian angkot juga bisa memicu macet bukan?

Dalam keadaan jalan yang begitu, maka sang orangtua juga akan sering menggunakan ‘semrawut’ tadi yang tentunya didengar ponakan kawan saya. Pertanyaannya? Kenapa tidak menggunakan kata ‘kacau’, atau ‘tidak teratur’? Lagi-lagi saya menduga, sang orangtua pasti sangat kesal dengan macet hingga tiga kata yang saya sebutkan tadi sudah tidak bisa mewakili lagi. Maka, dia memilih kata ‘semrawut’ untuk mewakili kekesalannya; apalagi bunyi dari kata itu  cukup menunjukkan suasana yang krodit?

Nah, begitupun dengan kata ‘semrawut’ yang diungkap sang ponakan adalah karena (mungkin) dia sudah begitu suntuk dengan rambut tulangnya. Padahal, kalau dia tahu berapa biaya yang dihabiskan tulangnya untuk merawat rambut itu, mungkin dia akan menarik kalimatnya. Ya, perawatan rambut gimbal memang lebih mahal dari rambut biasa.

Ups, bagaimana dengan ‘semrawut’ yang diungkapkan sang orangtua? Ya, apakah dia akan tetap menggunakan kata itu ketika dia tahu sulitnya mengatur pengguna jalan di Medan? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/