26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kehatihatian

“Saya mengajak kita semua, termasuk orangtua, pendidik, pemuka agama untuk menjaga moral akhlaq.”
Begitu pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) begitu kasus Ariel terkait pornografi merebak. Hm, ada yang salah dengan pidato SBY itu?
Menurut saya wajar saja. Setidaknya, seorang presiden memang wajar untuk berkomentar tentang sesuatu yang terjadi di negaranya. Apalagi, kasus Ariel yang melibatkan Luna Maya dan Cut Tari itu cukup menghebohkan.

Tapi, menurut Guru Besar Sosiologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Moeloek, komentar SBY tadi bisa jadi catatan. Kepada JPNN di Jakarta, Hamdi Moelok, menganggap kasus Ariel ternyata lebih penting daripada kisruh KPK versus Polri yang akhir pekan lalu berlangsung. Hamdi pun heran, ketika kasus Ariel, SBY mau berkomentar. Sedangkan kisruh yang terjadi antara KPK-Polri sekarang ini presiden lebih hati-hati. “Karena ini masalah politik, jadi berat. Kalau dia salah ngomong, salah ambil sikap, luar biasa dampaknya,” begitu kata Hamdi.

Hamdi menambahkan, kehatihatian SBY ini malah cenderung terlalu hati-hati. “Tapi hati-hati yang menyebalkan,” tambahnya.
Apa yang diungkapkan Hamdi soal SBY ini mengingatkan saya pada seorang tetangga. Ceritanya, tetangga saya ini memiliki tetangga yang juga tetangga saya.

Supaya tidak bingung, sebut saja tetangga saya yang pertama berinisial A sedangkan tetangga saya yang menjadi tetangga si A yang juga tetangga saya berinisial B.

Nah, si B ini pernah bersitegang dengan tetangganya yang juga tetangga saya juga, sebut saja si C. Suatu hari si B meributi si C soal sampah.  Sampah anak si C memasuki pagar rumah si B. Mereka akhirnya ribut, saling berteriak hingga gang kecil tempat rumah kami sesak dengan suara.

Melihat peristiwa itu, si A langsung komentar. “Harusnya kita hidup bertetangga itu rukun,” begitu katanya pada mereka yang bertikai.

Si B dan si C berhasil dia damaikan. “Itulah gunanya kita bertetangga. Saling mengingatkan,” jelasnya ketika saya puji langkahnya itu
Nah, beberapa waktu lalu, giliran saya yang suntuk dengan si B. Ceritanya, rumah kami berhadapan. Kamar saya dan istri berada di bagian depan rumah, di pinggir jalan. Sementara, tape yang lengkap dengan soundsystem yahud milik si B menghadap kamar saya tadi. Si B ini hobinya menghidupkan musik dengan volume maksimal. Tak pelak, saya stres. Namun, saya tidak langsung melabrak si si B. Pasalnya, selain masih baru di kawasan itu, saya juga teringat dengan wibawa si A.

Lucunya, setelah saya mengadu, si A tidak berkomentar. Si A hanya diam. Keningnya saja yang dia biarkan berkerut. Dia tidak memberi wejangan pada si B.
Ketika saya bertanya padanya, kenapa tidak berkomentar soal musik yang keras itu? Dia pun diam saja. Begitu pun ketika saya bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh si B terhadap si C, si A pun diam saja. Dia tidak terpancing untuk melabrak si B.

“Ini masalah rasa, jadi berat. Kalau aku salah ngomong, salah ambil sikap, luar biasa dampaknya,” begitu alasan si B ketika saya desak dia untuk bersikap. Bah!

Terserah dia pengecut melihat si B yang memang dikenal beringas di gang, saya anggap sikap si A terlalu hati-hati. Ya, kehatihatiannya itu tercipta karena sesuatu yang bisa berhubungan dengan diri dia pribadi. Bandingkan dengan saat si B dan si C bertengkar soal sampah tadi. Si A langsung memberikan komentar bukan?

Ya, kehatihatian, seperti yang diungkapkan Hamdi terhadap SBY tadi: hati-hati yang menyebalkan.

Tapi sudahlah, apa yang saya alami dengan kasus KPK dan Polri memang tak seimbang. Beda kelas. Tapi, masalah kehatihatian yang diciptakan SBY dan si A bagi saya masih mirip. Ya, untuk kasus Ariel, SBY cepat bersikap. Tapi, untuk KPK vs Polri dia hati-hati. Sementara si A, untuk kasus sampah, dia langsung berkomentar, tapi begitu soal musik, eh, dia hati-hati. Bukankah begitu? (*)

“Saya mengajak kita semua, termasuk orangtua, pendidik, pemuka agama untuk menjaga moral akhlaq.”
Begitu pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) begitu kasus Ariel terkait pornografi merebak. Hm, ada yang salah dengan pidato SBY itu?
Menurut saya wajar saja. Setidaknya, seorang presiden memang wajar untuk berkomentar tentang sesuatu yang terjadi di negaranya. Apalagi, kasus Ariel yang melibatkan Luna Maya dan Cut Tari itu cukup menghebohkan.

Tapi, menurut Guru Besar Sosiologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Moeloek, komentar SBY tadi bisa jadi catatan. Kepada JPNN di Jakarta, Hamdi Moelok, menganggap kasus Ariel ternyata lebih penting daripada kisruh KPK versus Polri yang akhir pekan lalu berlangsung. Hamdi pun heran, ketika kasus Ariel, SBY mau berkomentar. Sedangkan kisruh yang terjadi antara KPK-Polri sekarang ini presiden lebih hati-hati. “Karena ini masalah politik, jadi berat. Kalau dia salah ngomong, salah ambil sikap, luar biasa dampaknya,” begitu kata Hamdi.

Hamdi menambahkan, kehatihatian SBY ini malah cenderung terlalu hati-hati. “Tapi hati-hati yang menyebalkan,” tambahnya.
Apa yang diungkapkan Hamdi soal SBY ini mengingatkan saya pada seorang tetangga. Ceritanya, tetangga saya ini memiliki tetangga yang juga tetangga saya.

Supaya tidak bingung, sebut saja tetangga saya yang pertama berinisial A sedangkan tetangga saya yang menjadi tetangga si A yang juga tetangga saya berinisial B.

Nah, si B ini pernah bersitegang dengan tetangganya yang juga tetangga saya juga, sebut saja si C. Suatu hari si B meributi si C soal sampah.  Sampah anak si C memasuki pagar rumah si B. Mereka akhirnya ribut, saling berteriak hingga gang kecil tempat rumah kami sesak dengan suara.

Melihat peristiwa itu, si A langsung komentar. “Harusnya kita hidup bertetangga itu rukun,” begitu katanya pada mereka yang bertikai.

Si B dan si C berhasil dia damaikan. “Itulah gunanya kita bertetangga. Saling mengingatkan,” jelasnya ketika saya puji langkahnya itu
Nah, beberapa waktu lalu, giliran saya yang suntuk dengan si B. Ceritanya, rumah kami berhadapan. Kamar saya dan istri berada di bagian depan rumah, di pinggir jalan. Sementara, tape yang lengkap dengan soundsystem yahud milik si B menghadap kamar saya tadi. Si B ini hobinya menghidupkan musik dengan volume maksimal. Tak pelak, saya stres. Namun, saya tidak langsung melabrak si si B. Pasalnya, selain masih baru di kawasan itu, saya juga teringat dengan wibawa si A.

Lucunya, setelah saya mengadu, si A tidak berkomentar. Si A hanya diam. Keningnya saja yang dia biarkan berkerut. Dia tidak memberi wejangan pada si B.
Ketika saya bertanya padanya, kenapa tidak berkomentar soal musik yang keras itu? Dia pun diam saja. Begitu pun ketika saya bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh si B terhadap si C, si A pun diam saja. Dia tidak terpancing untuk melabrak si B.

“Ini masalah rasa, jadi berat. Kalau aku salah ngomong, salah ambil sikap, luar biasa dampaknya,” begitu alasan si B ketika saya desak dia untuk bersikap. Bah!

Terserah dia pengecut melihat si B yang memang dikenal beringas di gang, saya anggap sikap si A terlalu hati-hati. Ya, kehatihatiannya itu tercipta karena sesuatu yang bisa berhubungan dengan diri dia pribadi. Bandingkan dengan saat si B dan si C bertengkar soal sampah tadi. Si A langsung memberikan komentar bukan?

Ya, kehatihatian, seperti yang diungkapkan Hamdi terhadap SBY tadi: hati-hati yang menyebalkan.

Tapi sudahlah, apa yang saya alami dengan kasus KPK dan Polri memang tak seimbang. Beda kelas. Tapi, masalah kehatihatian yang diciptakan SBY dan si A bagi saya masih mirip. Ya, untuk kasus Ariel, SBY cepat bersikap. Tapi, untuk KPK vs Polri dia hati-hati. Sementara si A, untuk kasus sampah, dia langsung berkomentar, tapi begitu soal musik, eh, dia hati-hati. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/