28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Dunia 1 Mata Uang

Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Tulisan ini berangkat dari pengalaman ikut travel tour belum lama ini. Saat itu, saya lupa menukar sejumlah rupiah ke ringgit. Terlupa… karena Malaysia bukan tujuan perjalanan. Sementara perut lapar memaksa kami harus makan siang di bandara, menunggu jadwal pesawat sore hari ke lokasi berikutnya.

Akhirnya saya tukar ringgit ke teman seperjalanan. Hanya jarak 1 jam penerbangan dari Medan, rupiah tidak laku lagi.

Setiba di Hongkong, rupiah dan ringgit yang tersisa sama-sama tidak laku lagi. Kini dolar Hongkong yang diterima. Kemudian hanya perjalanan 1 jam naik bus dari Hongkong ke Shenzhen, mata uang yang berlaku berubah ke Yuan. Dari Zhuhai ke Macao yang perbatasannya berada dalam sebuah gedung, Yuan tak laku-laku. Kini, mata uang Macau plus dolar Hongkong yang diterima. Cukup merepotkan.

Para turis antarnegara sudah lama merasakan repotnya menukar mata uang antar satu negara ke negara lain. Belum lagi nilai tukar uang dari yang satu ke yang lain, yang nilainya terkadang merugikan.

Saya jadi teringat, belum lama ini pernah membaca munculnya konsep tentang satu mata uang untuk seluruh dunia. Sebuah pemikiran yang tercetus konsep yang disebut New World Order. Tata dunia baru. Konsep ini ditandai dengan adanya Satu Pemerintahan Dunia, tanpa perbatasan, dengan satu tentara dunia, satu pengadilan dunia, dan satu mata uang dunia berbasis kredit tanpa uang tunai yang dikelola melalui microchip.

Tapi lewat penelusuran di internet, saya menemukan konsep ini ternyata muncul bukan karena para turis repot menukar mata uang tiap kali berganti negara tujuan. Konsep ini ternyata digagas dan dipropagandakan oleh Kelompok Illuminati yang dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang di Sumeria, Babilonia, Mesir, dan lebih jauh menuju masa yang kita sebut prasejarah.

Selama berabad-abad, kata sumber di internet, mereka tak henti-hentinya bekerja untuk memusatkan kekuasaan dunia dan menyelesaikan ‘Pekerjaan Besar’ mereka yaitu kediktatoran global. Jaringan ini dikendalikan oleh garis darah kuno yang saling menikah dan cabang-cabangnya, yang kini dipimpin oleh 13 ‘keluarga elit’, yang tersusun dalam hirarki DNA. Keluarga ini meliputi Rothschilds, Rockefellers, Keluarga Lorraine, Habsburgs, dan dinasti Thurn und Taxis dari Bergamo.” (David Icke, “Tales from the Time Loop”).

New World Order disusun oleh elit kekuasaan yang berpikir bahwa mereka memiliki hak ketuhanan untuk merampas kendali total pada kehidupan semua orang. Agendanya adalah konsolidasi dan pemusatan kekuasaan ke dalam genggaman Pemerintahan Dunia, yang meliputi semua hal.

Gagasan New World Order telah mulai dilaksanakan oleh negara-negara di Eropa (Europen Economic Community – EEC). Mereka memiliki satu paspor, satu KTP, satu SIM yang hampir sama satu dengan yang lain, warganya boleh bekerja dan tinggal dimana saja di Eropa. Di sana hanya berlaku satu mata uang (Euro), satu angkatan bersenjata, satu bank pusat, satu pengadilan tinggi dan satu parlemen Eropa.

Uni Amerika (dimulai dari NAFTA), telah membentuk pakta ekonomi. Asia juga melalui APEC telah mengagas Uni Asia, dipimpin China dan Jepang. Jika 3 model ini sudah eksis, mereka akan dipersatukan untuk membangun Satu Pemerintahan Dunia.” – Paul Joseph Watson, “Order Out of Chaos”.

Demikian juga, sebuah laporan PBB pada bulan Juli tahun yang sama menyerukan agar negara-negara menggantikan dollar sebagai standar cadangan devisa luar negeri dalam perdagangan internasional, dengan sebuah mata uang dunia baru yang akan dikeluarkan oleh IMF (International Monetary Fund).

Di negeri kita, kini Bank Indonesia sedang menyiapkan perangkat yang memungkinkan alat pembayaran dengan satu kartu melalui layanan e-Money (uang elektronik). Dengan satu kartu itu, memungkinkan pengguna untuk membayar transaksi apa pun.

Melihat perkembangannya, dunia sekarang sedang menuju perwujudan ‘tata dunia baru. Tetapi di balik seluruh efek positif yang dikampanyekan ‘satu dunia baru’, pasti ada efek negative yang mengikut. Di antaranya –sesuai nubuatan sebuah kitab suci— tanpa microchip itu, orang tidak akan dapat membeli dan menjual.

Namun bagaimanapun pro kontra yang mengikuti konsep ini, dunia baru itu tidak bisa dielakkan. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri mengantisipasinya. (*)

Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Tulisan ini berangkat dari pengalaman ikut travel tour belum lama ini. Saat itu, saya lupa menukar sejumlah rupiah ke ringgit. Terlupa… karena Malaysia bukan tujuan perjalanan. Sementara perut lapar memaksa kami harus makan siang di bandara, menunggu jadwal pesawat sore hari ke lokasi berikutnya.

Akhirnya saya tukar ringgit ke teman seperjalanan. Hanya jarak 1 jam penerbangan dari Medan, rupiah tidak laku lagi.

Setiba di Hongkong, rupiah dan ringgit yang tersisa sama-sama tidak laku lagi. Kini dolar Hongkong yang diterima. Kemudian hanya perjalanan 1 jam naik bus dari Hongkong ke Shenzhen, mata uang yang berlaku berubah ke Yuan. Dari Zhuhai ke Macao yang perbatasannya berada dalam sebuah gedung, Yuan tak laku-laku. Kini, mata uang Macau plus dolar Hongkong yang diterima. Cukup merepotkan.

Para turis antarnegara sudah lama merasakan repotnya menukar mata uang antar satu negara ke negara lain. Belum lagi nilai tukar uang dari yang satu ke yang lain, yang nilainya terkadang merugikan.

Saya jadi teringat, belum lama ini pernah membaca munculnya konsep tentang satu mata uang untuk seluruh dunia. Sebuah pemikiran yang tercetus konsep yang disebut New World Order. Tata dunia baru. Konsep ini ditandai dengan adanya Satu Pemerintahan Dunia, tanpa perbatasan, dengan satu tentara dunia, satu pengadilan dunia, dan satu mata uang dunia berbasis kredit tanpa uang tunai yang dikelola melalui microchip.

Tapi lewat penelusuran di internet, saya menemukan konsep ini ternyata muncul bukan karena para turis repot menukar mata uang tiap kali berganti negara tujuan. Konsep ini ternyata digagas dan dipropagandakan oleh Kelompok Illuminati yang dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang di Sumeria, Babilonia, Mesir, dan lebih jauh menuju masa yang kita sebut prasejarah.

Selama berabad-abad, kata sumber di internet, mereka tak henti-hentinya bekerja untuk memusatkan kekuasaan dunia dan menyelesaikan ‘Pekerjaan Besar’ mereka yaitu kediktatoran global. Jaringan ini dikendalikan oleh garis darah kuno yang saling menikah dan cabang-cabangnya, yang kini dipimpin oleh 13 ‘keluarga elit’, yang tersusun dalam hirarki DNA. Keluarga ini meliputi Rothschilds, Rockefellers, Keluarga Lorraine, Habsburgs, dan dinasti Thurn und Taxis dari Bergamo.” (David Icke, “Tales from the Time Loop”).

New World Order disusun oleh elit kekuasaan yang berpikir bahwa mereka memiliki hak ketuhanan untuk merampas kendali total pada kehidupan semua orang. Agendanya adalah konsolidasi dan pemusatan kekuasaan ke dalam genggaman Pemerintahan Dunia, yang meliputi semua hal.

Gagasan New World Order telah mulai dilaksanakan oleh negara-negara di Eropa (Europen Economic Community – EEC). Mereka memiliki satu paspor, satu KTP, satu SIM yang hampir sama satu dengan yang lain, warganya boleh bekerja dan tinggal dimana saja di Eropa. Di sana hanya berlaku satu mata uang (Euro), satu angkatan bersenjata, satu bank pusat, satu pengadilan tinggi dan satu parlemen Eropa.

Uni Amerika (dimulai dari NAFTA), telah membentuk pakta ekonomi. Asia juga melalui APEC telah mengagas Uni Asia, dipimpin China dan Jepang. Jika 3 model ini sudah eksis, mereka akan dipersatukan untuk membangun Satu Pemerintahan Dunia.” – Paul Joseph Watson, “Order Out of Chaos”.

Demikian juga, sebuah laporan PBB pada bulan Juli tahun yang sama menyerukan agar negara-negara menggantikan dollar sebagai standar cadangan devisa luar negeri dalam perdagangan internasional, dengan sebuah mata uang dunia baru yang akan dikeluarkan oleh IMF (International Monetary Fund).

Di negeri kita, kini Bank Indonesia sedang menyiapkan perangkat yang memungkinkan alat pembayaran dengan satu kartu melalui layanan e-Money (uang elektronik). Dengan satu kartu itu, memungkinkan pengguna untuk membayar transaksi apa pun.

Melihat perkembangannya, dunia sekarang sedang menuju perwujudan ‘tata dunia baru. Tetapi di balik seluruh efek positif yang dikampanyekan ‘satu dunia baru’, pasti ada efek negative yang mengikut. Di antaranya –sesuai nubuatan sebuah kitab suci— tanpa microchip itu, orang tidak akan dapat membeli dan menjual.

Namun bagaimanapun pro kontra yang mengikuti konsep ini, dunia baru itu tidak bisa dielakkan. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri mengantisipasinya. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/