32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Kita dan Piala Eropa

Demam Piala Eropa sedang melanda. Mulai dari bapak-bapak, anak muda, anak-anak hingga kaum wanita, ramai membicarakan perhelatan empat tahunan di Benua Biru ini.

Even nonton bareng pun digelar di berbagai tempat. Mulai dari hotel berbintang, hotel mwlati, warung kopi (warkop), lapo tuak sampai di pos siskamling dan di rumah-rumah warga. Media-media massa turut pula mengkampanyekann
keceriaan ini. Setiap media berlomba menyajikan info mengupas tuntas dan lengkap segala hal tentang perhelatan ini. Ratingnya seolah mengalahkan kasus-kasus besar yang sedang dihadapi negeri ini, mengkandaskan ketenaran informasi info korupsi yang beberapa hari lalu dijejali ke masyarakat.

Begitulah kuatnya daya tarik si kulit bundar dan kehebatan si bangsa kulit putih itu mengemas acara. Mereka di sana yang berkompetisi, kita di sini yang ikut menikmati. Maklum, kompetisi ini di cabang yang paling digemari masyarakat di bumi ini. Dan bersyukur lah kita, ada RCTI yang menyiarkannya, dan kita bayar melalui tayangan iklan sponsorship.

Pesta hiburan di malam hari. Sejak pesta pembuka yang diikuti pertandingan partai pertama antara Polandia dan Yunani, penonton ndipersilakan berteriak bebas, memberi dukungan atau mengumpat. Yang penting, masih dalam batas-batas toleransi. Itulah hebatnya olahraga. Penonton pun diajarkan untuk bersikap sportif.

Rakyat seolah menemukan momentum untuk sejenak melupakan beban hidup. Bagi yang punya duit memadai, elok lah menonton bareng di tempat-tempat yang representatif. Bisa di lobi hotel, di kafe dan tempat hiburan lain. Ya, butuh duit tidak sedikit untuk bisa menikmati tiap pertandingan. Sekali duduk setidaknya memesan minuman yang harganya jauh di atas harga di luaran.

Untuk yang punya duit tapi menghempang pengeluaran berlebih, tersedia tempat-tempat nonton bareng yang lebih terbuka. Sebut saja foodcourt, pujasera dan tempat sejenis. Lebih menghemat lagi, masih ada kelas warkop. Di tempat ini kenikmatan justru terasa lebih meriah. Di warung-warung yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan protokoler ini, penontonnya biasanya sangat banyak. Untuk kelas mahasiswa pecinta bola dan keuangan pas-pasan, nobar di warkop jadi pilihan utama. Demikian seterusnya.

Lihatlah juga hebatnya dampak ikutan yang diberikan.  Tak usah dulu membahas berapa nilai hak siar di Indonesia dan negara-negara lain serta hak iklannya. Ambil yang sederhana-sederhan saja. Mulai dari uang yang dibelanjakan penonton bareng, hingga uang taruhan yang beredar di tiap pertandingan. Siapa yang bisa menghitung? Saya yakin jumlahnya sangat banyak.

Tak hanya di malam hari saat 21 satu pemain berlarian mengejar satu bola di lapangan hijau. Subuh-subuh, usai pertandingan, abang becak dan supir taksi pun dapat berkah. Pulang menonton dari lokasi nobar, pasti ada saja yang ‘tercecer’ kecarian angkutan umum. Perputaran dan aktivitas orang  pun sangat tinggi.

Nah, di pagi hari, sangat mungkin banyak abang-abang sopir angkot yang kesiangan. Sementara jumlah anak sekolah, pekerja dan orang belanja yang menunggu kehadiran mereka nyaris tidak berkurang jumlahnya. Giliran abang becak yang razin di pagi hari panen rezeki. Dari pada kelamaan nunggu angkot dan malah terlambat, banyak dari mereka memilih naik becak saja dengan tarif sedikit lebih mahal.

Di hari kedua Euro, saya juga menemukan pergeseran kebiasaan lain. Tukang lontong di dekat rumah masih berjualan hingga pukul 10 pagi. Dagangannya belum habis. Wah, ternyata banyak langganannya yang tidak jajan di pagi itu. Saya yang bangun kesiangan malah bersyukur, masih bisa menikmati sarapan lontong sayur.

Ah, memang hebat orang-orang itu mengemas acara seperti Euro 2012 ini. Sampai-sampai banyak di antara kita, yang jaraknya bermil-mil dari stadion di Polandia-Ukraina, dengan sukarela mengubah pola hidup dan pola tidur hingga pola ekonomi. (*)

Demam Piala Eropa sedang melanda. Mulai dari bapak-bapak, anak muda, anak-anak hingga kaum wanita, ramai membicarakan perhelatan empat tahunan di Benua Biru ini.

Even nonton bareng pun digelar di berbagai tempat. Mulai dari hotel berbintang, hotel mwlati, warung kopi (warkop), lapo tuak sampai di pos siskamling dan di rumah-rumah warga. Media-media massa turut pula mengkampanyekann
keceriaan ini. Setiap media berlomba menyajikan info mengupas tuntas dan lengkap segala hal tentang perhelatan ini. Ratingnya seolah mengalahkan kasus-kasus besar yang sedang dihadapi negeri ini, mengkandaskan ketenaran informasi info korupsi yang beberapa hari lalu dijejali ke masyarakat.

Begitulah kuatnya daya tarik si kulit bundar dan kehebatan si bangsa kulit putih itu mengemas acara. Mereka di sana yang berkompetisi, kita di sini yang ikut menikmati. Maklum, kompetisi ini di cabang yang paling digemari masyarakat di bumi ini. Dan bersyukur lah kita, ada RCTI yang menyiarkannya, dan kita bayar melalui tayangan iklan sponsorship.

Pesta hiburan di malam hari. Sejak pesta pembuka yang diikuti pertandingan partai pertama antara Polandia dan Yunani, penonton ndipersilakan berteriak bebas, memberi dukungan atau mengumpat. Yang penting, masih dalam batas-batas toleransi. Itulah hebatnya olahraga. Penonton pun diajarkan untuk bersikap sportif.

Rakyat seolah menemukan momentum untuk sejenak melupakan beban hidup. Bagi yang punya duit memadai, elok lah menonton bareng di tempat-tempat yang representatif. Bisa di lobi hotel, di kafe dan tempat hiburan lain. Ya, butuh duit tidak sedikit untuk bisa menikmati tiap pertandingan. Sekali duduk setidaknya memesan minuman yang harganya jauh di atas harga di luaran.

Untuk yang punya duit tapi menghempang pengeluaran berlebih, tersedia tempat-tempat nonton bareng yang lebih terbuka. Sebut saja foodcourt, pujasera dan tempat sejenis. Lebih menghemat lagi, masih ada kelas warkop. Di tempat ini kenikmatan justru terasa lebih meriah. Di warung-warung yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan protokoler ini, penontonnya biasanya sangat banyak. Untuk kelas mahasiswa pecinta bola dan keuangan pas-pasan, nobar di warkop jadi pilihan utama. Demikian seterusnya.

Lihatlah juga hebatnya dampak ikutan yang diberikan.  Tak usah dulu membahas berapa nilai hak siar di Indonesia dan negara-negara lain serta hak iklannya. Ambil yang sederhana-sederhan saja. Mulai dari uang yang dibelanjakan penonton bareng, hingga uang taruhan yang beredar di tiap pertandingan. Siapa yang bisa menghitung? Saya yakin jumlahnya sangat banyak.

Tak hanya di malam hari saat 21 satu pemain berlarian mengejar satu bola di lapangan hijau. Subuh-subuh, usai pertandingan, abang becak dan supir taksi pun dapat berkah. Pulang menonton dari lokasi nobar, pasti ada saja yang ‘tercecer’ kecarian angkutan umum. Perputaran dan aktivitas orang  pun sangat tinggi.

Nah, di pagi hari, sangat mungkin banyak abang-abang sopir angkot yang kesiangan. Sementara jumlah anak sekolah, pekerja dan orang belanja yang menunggu kehadiran mereka nyaris tidak berkurang jumlahnya. Giliran abang becak yang razin di pagi hari panen rezeki. Dari pada kelamaan nunggu angkot dan malah terlambat, banyak dari mereka memilih naik becak saja dengan tarif sedikit lebih mahal.

Di hari kedua Euro, saya juga menemukan pergeseran kebiasaan lain. Tukang lontong di dekat rumah masih berjualan hingga pukul 10 pagi. Dagangannya belum habis. Wah, ternyata banyak langganannya yang tidak jajan di pagi itu. Saya yang bangun kesiangan malah bersyukur, masih bisa menikmati sarapan lontong sayur.

Ah, memang hebat orang-orang itu mengemas acara seperti Euro 2012 ini. Sampai-sampai banyak di antara kita, yang jaraknya bermil-mil dari stadion di Polandia-Ukraina, dengan sukarela mengubah pola hidup dan pola tidur hingga pola ekonomi. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/