26 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Belah Kue

Namanya kue biasanya menggiurkan. Ketika ada kue terhidang, maka orang-orang di sekeliling akan menanti potongan; bagian untuk mereka nikmati. Nah, bagaimana jika kue merupakan hasil dari perkebunan yang ada di Sumatera Utara?

Ceritanya, setelah berulang kali diperbincangkan hingga menjadi polemik, soal bagi hasil perkebunan antara pusat dan daerah kembali mengemuka. Apalagi Sumut, daerah ini begitu terkenal dengan hasil perkebunannya. Sejak zaman dahulu kala, kawasan di daerah ini begitu subur. Tidak perlulah berbicara emas hijau alias tembakau Deli, mari berbicara sawit dan karet saja.

Adakah orang yang berani mengatakan kalau SUmut tidak kaya sawit dan karet? Jika ada, cobalah bertanya pada PT London Sumatera (Lonsum) atau PT Sucofindo; dua perusahaan asing yang telah menikmati subur tanah Sumut. Nah, dari dua perusahaan tersebut, Anda pasti mendapat jawaban seperti apa suburnya tanah Sumut ini. Jika tidak percaya juga, cobalah tanya PTPN 2 hingga 4. Masih tidak puas, berdiskusilah dengan berbagai perusahaan perkebunan yang menyebar dari Tanah Langkat hingga Labuhanbatu sana.

Masalahnya -seperti sering diributi-adakah Sumut mendapat bagian dari kue perkebunan itu? Menariknya, di saat Sumut galau, Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementerian Pertanian Mukti Sardjono malah mengungkapkan data pendapatan negara dari sektor perkebunan.

Pada 2011 lalu, pendapatan devisa ekspor perkebunan lebih US$25 miliar USD atau Rp220 triliun. Nah, kontribusi terbesar dari kelapa sawit mencapai US$15 miliar dan karet US$7 miliar. Sumut yang dikenal sebagai ladang raksasa sawit dan karet dikatakan menyumbang 20 persen dari keseluruhan devisa negara dari sektor perkebunan tersebut. Dari sektor pendapatan bea keluar atau pajak ekspor yang mencapai Rp28,3 triliun.

Angka yang luar biasa besar bukan? Seandainya Sumut mendapat 20 persen dari pendapatan pajak ekspor, bukankah itu sudah besar. Bagaimana jika Sumut dapat 20 persen dari devisa tadi? Wow, adakah yang bisa membayangkan berapa angka 0-nya.

Kenyataannya, seperti diperbincangkan, Sumut tak dapat apa-apa. Sumut hanya bisa gigit jari ketika pundi-pundi itu diserap pemerintah pusat. Apa lacur, Sumut masih di dalam Indonesia.

Harapan Sumut dan provinsi berbasis perkebunan lainnya adalah bisa disamakan dengan provinsi yang kaya minyak dan gas, serta barang tambang lainnya. Ya, sebut saja Aceh Naggroe Darussalam, Riau, dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi itu telah mendapat kue yang besar dari kekayaan alam yang berada di kawasan mereka. Pertanyaannya, kenapa kue perkebunan tidak mau dibagi oleh pemerintah pusat?

Entahlah, yang jelas, pemerintah pusat pastinya tetap memikirkan Sumut. Kata beberapa pakar, kue perkebunan sejatinya telah dibagi ke Sumut. Ya, dia berbentuk dana perimbangan.

Lalu, masalahnya di mana? Seperti kue tadi, ketika dia terhidang maka orang di sekitar akan menanti potongannya kan? Nah, ketika dirasa enak, maka orang akan minta lagi kan?

Saya jadi teringat dengan adat porlak alias hukum kebun ala suku Batak. Adat porlak berisi tentang urusan anak. Sederhananya, ketika seorang istri dihamili oleh lelaki lain, bayi yang dilahirkan tetap milik sang suami. Artinya, siapapun yang menebar benih, kepemilikan ada di pihak sang pemilik kebun.

Jika dihubungkan dengan kue perkebunan, maka akan didapat jawaban kalau panen adalah milik yang punya kebun. Jadi, siapapun yang membangun perkebunan, hasilnya adalah milik yang wilayahnya dipakai untuk perkebunan bukan? Pertanyaannya, siapa pemilik kebun itu, Indonesia atau Sumut atau kabupaten yang wilayahnya jadi perkebunan? Atau malah, para pengusaha asal luar negeri dan lokal?
Ah…, kue itu memang menggiurkan. (*)

Namanya kue biasanya menggiurkan. Ketika ada kue terhidang, maka orang-orang di sekeliling akan menanti potongan; bagian untuk mereka nikmati. Nah, bagaimana jika kue merupakan hasil dari perkebunan yang ada di Sumatera Utara?

Ceritanya, setelah berulang kali diperbincangkan hingga menjadi polemik, soal bagi hasil perkebunan antara pusat dan daerah kembali mengemuka. Apalagi Sumut, daerah ini begitu terkenal dengan hasil perkebunannya. Sejak zaman dahulu kala, kawasan di daerah ini begitu subur. Tidak perlulah berbicara emas hijau alias tembakau Deli, mari berbicara sawit dan karet saja.

Adakah orang yang berani mengatakan kalau SUmut tidak kaya sawit dan karet? Jika ada, cobalah bertanya pada PT London Sumatera (Lonsum) atau PT Sucofindo; dua perusahaan asing yang telah menikmati subur tanah Sumut. Nah, dari dua perusahaan tersebut, Anda pasti mendapat jawaban seperti apa suburnya tanah Sumut ini. Jika tidak percaya juga, cobalah tanya PTPN 2 hingga 4. Masih tidak puas, berdiskusilah dengan berbagai perusahaan perkebunan yang menyebar dari Tanah Langkat hingga Labuhanbatu sana.

Masalahnya -seperti sering diributi-adakah Sumut mendapat bagian dari kue perkebunan itu? Menariknya, di saat Sumut galau, Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementerian Pertanian Mukti Sardjono malah mengungkapkan data pendapatan negara dari sektor perkebunan.

Pada 2011 lalu, pendapatan devisa ekspor perkebunan lebih US$25 miliar USD atau Rp220 triliun. Nah, kontribusi terbesar dari kelapa sawit mencapai US$15 miliar dan karet US$7 miliar. Sumut yang dikenal sebagai ladang raksasa sawit dan karet dikatakan menyumbang 20 persen dari keseluruhan devisa negara dari sektor perkebunan tersebut. Dari sektor pendapatan bea keluar atau pajak ekspor yang mencapai Rp28,3 triliun.

Angka yang luar biasa besar bukan? Seandainya Sumut mendapat 20 persen dari pendapatan pajak ekspor, bukankah itu sudah besar. Bagaimana jika Sumut dapat 20 persen dari devisa tadi? Wow, adakah yang bisa membayangkan berapa angka 0-nya.

Kenyataannya, seperti diperbincangkan, Sumut tak dapat apa-apa. Sumut hanya bisa gigit jari ketika pundi-pundi itu diserap pemerintah pusat. Apa lacur, Sumut masih di dalam Indonesia.

Harapan Sumut dan provinsi berbasis perkebunan lainnya adalah bisa disamakan dengan provinsi yang kaya minyak dan gas, serta barang tambang lainnya. Ya, sebut saja Aceh Naggroe Darussalam, Riau, dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi itu telah mendapat kue yang besar dari kekayaan alam yang berada di kawasan mereka. Pertanyaannya, kenapa kue perkebunan tidak mau dibagi oleh pemerintah pusat?

Entahlah, yang jelas, pemerintah pusat pastinya tetap memikirkan Sumut. Kata beberapa pakar, kue perkebunan sejatinya telah dibagi ke Sumut. Ya, dia berbentuk dana perimbangan.

Lalu, masalahnya di mana? Seperti kue tadi, ketika dia terhidang maka orang di sekitar akan menanti potongannya kan? Nah, ketika dirasa enak, maka orang akan minta lagi kan?

Saya jadi teringat dengan adat porlak alias hukum kebun ala suku Batak. Adat porlak berisi tentang urusan anak. Sederhananya, ketika seorang istri dihamili oleh lelaki lain, bayi yang dilahirkan tetap milik sang suami. Artinya, siapapun yang menebar benih, kepemilikan ada di pihak sang pemilik kebun.

Jika dihubungkan dengan kue perkebunan, maka akan didapat jawaban kalau panen adalah milik yang punya kebun. Jadi, siapapun yang membangun perkebunan, hasilnya adalah milik yang wilayahnya dipakai untuk perkebunan bukan? Pertanyaannya, siapa pemilik kebun itu, Indonesia atau Sumut atau kabupaten yang wilayahnya jadi perkebunan? Atau malah, para pengusaha asal luar negeri dan lokal?
Ah…, kue itu memang menggiurkan. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/