31 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Katak Hendak Menjadi Lembu

Ramadhan Batubara

Katak Hendak Menjadi Lembu yang saya maksud di sini bukanlah novel karya Nur Sutan Iskandar. Ini tentang sebuah cerita anak yang entah siapa pengarangnya; sudah saya cari nama pengarangnya di google, tetap saja tidak ditemukan. Akhirnya saya berpikir, bisa saja cerita ini seperti sastra lisan kebanyakan yang tak jelas siapa pengarangnya.

Yang jelas, saya memang terkenang dengan cerita anak ini. Bagi saya, cerita ini menarik karena mengajarkan banyak hal. Kasarnya, kisah ini mengajarkan manusia untuk sadar diri.
Dan, kisah ini mengingatkan saya dengan proses Pemilukada di Jakarta. Tidak maksud untuk menyamakan para kandidat dengan hewan, tapi ada beberapa calon yang kisahnya mirip dengan cerita anak ini.

Dalam Katak Hendak Menjadi Lembu dikisahkan ada seekor katak yang begitu iri dengan lembu. Dia tidak suka melihat lembu yang terlalu dimanja manusia. Bagaimana tidak, setiap hari si katak melihat pemilik lembu selalu memberikan makanan rumput segar, memandikan, dan mengajaknya jalan ke padang rumput hijau nan luas. Hingga suatu ketika, si Katak menegur sang Lembu. “Enak sekali hidupmu. Setiap hari kau selalu mendapat perhatian dari manusia dan juga selalu dikasih makan. Kau selalu dirawat dan diajak jalan-jalan di padang rumput hijau. Semua itu apa karena badanmu yang besar?” kata sang Katak sinis.

Si Lembu tak menjawab, ia terus makan dan makan. Karena si Lembu tak juga menjawab, maka Katak emosi. “Hai… Lembu dungu! Kalau hanya karena badanmu yang besar, kau mendapat perhatian manusia maka aku pun bisa. Nih… lihatlah!” bentak sang Katak.

Maka, si Katak pun menggelembungkan badannya. Bermula dari perut, kemudian leher, kaki, dan seterusnya. Perut katak itu sedikit demi sedikit membesar dan kemudian menjadi begitu besar. Namun setelah membesarkan perut dan leher, rupanya badannya tak juga bisa menyamai Lembu. Si Katak sangat penasaran. Perutnya digelembungkan lagi dan lagi. Dorrrr!!! Perut itu meletus. Isi perut berhamburan ke mana-mana. Si katak itu pun mati dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Cerita yang sederhana bukan? Tapi coba perhatikan makna yang tersirat, pasti ada sesuatu yang akan Anda dapat. Mengapa kisah ini mengingatkan saya pada Pemilukada di Jakarta? Entahlah, saya hanya heran, kenapa memimpin DKI adalah sebuah tujuan yang begitu diharapkan. Saking hebatnya, ada gubernur yang rela cuti untuk ikut pemilihan itu. Adapula wali kota yang berniat memperbaiki ibu kota negara. Ada lagi seorang pakar, akademisi, yang ingin melayani rakyat. Dari tiga latar belakang itu saja sejatinya sudah menggugah pikiran bukan?

Pertama yang gubernur, bukankah Pemilukada DKI juga memilih gubernur? Nah, kenapa dia mau jadi gubernur di provinsi lain? Kedua, wali kota. Kalau soal ini sejatinya sudah pas, seperti dari kelas satu naik ke kelas dua. Tapi, dia juga menjadi wali kota di provinsi lain. Sedangkan yang ketiga, bukankah lebih baik jika dia lebih banyak membuat penelitian untuk kemajuan bangsa? Tapi sekali lagi, itu adalah pilihan mereka masing-masing, termasuk dengan mantan ketua lembaga tertinggi di negara ini yang juga ingin menjadi gubernur DKI.

Hasilnya, sang gubernur dan akademisi serta ketua lembaga tertinggi tak berhasil menjadi gubernur DKI. Perut mereka meletus. Lucunya, sang wali kota malah cenderung berhasil. Ya, dari pemilihan cepat dia malah memimpin. Kok bisa?

Itulah yang hingga kini menjadi pertanyaan dalam diri saya. Ya, sudah benarkah saya ambil perbandingan Katak Hendak Menjadi Lembu dengan proses Pemilukada DKI? Hm, tampaknya salah. Ya, meski analogi Jakarta sebagai Lembu memang sudah pas; ibu kota Indonesia ini memang seperti Lembu dalam cerita tadi bukan? Dia begitu dimanja oleh pemerintah pusat, segala hasil dari daerah masuk ke kantungnya. Bukankah begitu?
Jadi soal Katak, maaf jika saya salah. (*)

Ramadhan Batubara

Katak Hendak Menjadi Lembu yang saya maksud di sini bukanlah novel karya Nur Sutan Iskandar. Ini tentang sebuah cerita anak yang entah siapa pengarangnya; sudah saya cari nama pengarangnya di google, tetap saja tidak ditemukan. Akhirnya saya berpikir, bisa saja cerita ini seperti sastra lisan kebanyakan yang tak jelas siapa pengarangnya.

Yang jelas, saya memang terkenang dengan cerita anak ini. Bagi saya, cerita ini menarik karena mengajarkan banyak hal. Kasarnya, kisah ini mengajarkan manusia untuk sadar diri.
Dan, kisah ini mengingatkan saya dengan proses Pemilukada di Jakarta. Tidak maksud untuk menyamakan para kandidat dengan hewan, tapi ada beberapa calon yang kisahnya mirip dengan cerita anak ini.

Dalam Katak Hendak Menjadi Lembu dikisahkan ada seekor katak yang begitu iri dengan lembu. Dia tidak suka melihat lembu yang terlalu dimanja manusia. Bagaimana tidak, setiap hari si katak melihat pemilik lembu selalu memberikan makanan rumput segar, memandikan, dan mengajaknya jalan ke padang rumput hijau nan luas. Hingga suatu ketika, si Katak menegur sang Lembu. “Enak sekali hidupmu. Setiap hari kau selalu mendapat perhatian dari manusia dan juga selalu dikasih makan. Kau selalu dirawat dan diajak jalan-jalan di padang rumput hijau. Semua itu apa karena badanmu yang besar?” kata sang Katak sinis.

Si Lembu tak menjawab, ia terus makan dan makan. Karena si Lembu tak juga menjawab, maka Katak emosi. “Hai… Lembu dungu! Kalau hanya karena badanmu yang besar, kau mendapat perhatian manusia maka aku pun bisa. Nih… lihatlah!” bentak sang Katak.

Maka, si Katak pun menggelembungkan badannya. Bermula dari perut, kemudian leher, kaki, dan seterusnya. Perut katak itu sedikit demi sedikit membesar dan kemudian menjadi begitu besar. Namun setelah membesarkan perut dan leher, rupanya badannya tak juga bisa menyamai Lembu. Si Katak sangat penasaran. Perutnya digelembungkan lagi dan lagi. Dorrrr!!! Perut itu meletus. Isi perut berhamburan ke mana-mana. Si katak itu pun mati dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Cerita yang sederhana bukan? Tapi coba perhatikan makna yang tersirat, pasti ada sesuatu yang akan Anda dapat. Mengapa kisah ini mengingatkan saya pada Pemilukada di Jakarta? Entahlah, saya hanya heran, kenapa memimpin DKI adalah sebuah tujuan yang begitu diharapkan. Saking hebatnya, ada gubernur yang rela cuti untuk ikut pemilihan itu. Adapula wali kota yang berniat memperbaiki ibu kota negara. Ada lagi seorang pakar, akademisi, yang ingin melayani rakyat. Dari tiga latar belakang itu saja sejatinya sudah menggugah pikiran bukan?

Pertama yang gubernur, bukankah Pemilukada DKI juga memilih gubernur? Nah, kenapa dia mau jadi gubernur di provinsi lain? Kedua, wali kota. Kalau soal ini sejatinya sudah pas, seperti dari kelas satu naik ke kelas dua. Tapi, dia juga menjadi wali kota di provinsi lain. Sedangkan yang ketiga, bukankah lebih baik jika dia lebih banyak membuat penelitian untuk kemajuan bangsa? Tapi sekali lagi, itu adalah pilihan mereka masing-masing, termasuk dengan mantan ketua lembaga tertinggi di negara ini yang juga ingin menjadi gubernur DKI.

Hasilnya, sang gubernur dan akademisi serta ketua lembaga tertinggi tak berhasil menjadi gubernur DKI. Perut mereka meletus. Lucunya, sang wali kota malah cenderung berhasil. Ya, dari pemilihan cepat dia malah memimpin. Kok bisa?

Itulah yang hingga kini menjadi pertanyaan dalam diri saya. Ya, sudah benarkah saya ambil perbandingan Katak Hendak Menjadi Lembu dengan proses Pemilukada DKI? Hm, tampaknya salah. Ya, meski analogi Jakarta sebagai Lembu memang sudah pas; ibu kota Indonesia ini memang seperti Lembu dalam cerita tadi bukan? Dia begitu dimanja oleh pemerintah pusat, segala hasil dari daerah masuk ke kantungnya. Bukankah begitu?
Jadi soal Katak, maaf jika saya salah. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/