26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Tugas Negara

Ramadhan Batubara

Tuti Awalia dari SCTV hanya bisa meringis. Bagian muka, tepatnya di atas bibirnya, bengkak. Dia menjadi korban kekerasan saat melakukan tugas. Tidak dia saja, Hayat Sudrajat Hasibuan dari Trans TV dan Yudistira dari Berita 1 juga jadi korban kekerasan yang dilakukan anggota TNI di kawasan Lapangan Merdeka Medan.

Semua ini bermula ketika mereka meliput aksi Komite Tani Menggugat yang dibubarkan oleh pihak keamanan. Massa dianggap mengganggu kelancaran laju iring-iringan Wakil Presiden Boediono yang akan menuju lokasi mengtinap, Hotel JW Marriot. Pemburaan tersebut cenderung kurang simpatik. Beberapa morang sampai terjatuh dan beberapa wartawan juga mengalami hal yang sama.

Nah, saat itulah ketiga jurnalis tadi berusaha mengkonfirmasi soal pembubaran tersebut kepada seorang perwira yang ada di sana. Sayang, bukannya dapat berita, mereka malah jadi berita. Parahnya lagi, ternyata iring-iringan Wapres malah tidak lewat jalan itu. Sial.

Soal kekerasan pada jurnalis memang bukan barang baru di negeri ini. Bahkan, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Boy Rafli Amar beberapa waktu lalu mengatakan, selama 2011 sedikitnya terdapat 85 laporan kasus kekerasan pada wartawan yang diterima pihak kepolisian. Kasus kekerasan yang dilaporkan tersebut baik secara fisik seperti penganiayaan, berat maupun ringan, hingga pembunuhan. Non fisik seperti ancaman, intimidasi, penghinaan.

Boy Rafli yang berbicara di Dewan Pers pada awal April lalu memahami kalau profesi wartawan cukup berisiko.”Momen memang mahal untuk mendapat hasil karya jurnalistik yang nilainya bagus. Tanpa disadari kondisinya sangat berbahaya dengan suasana yang begitu keos.  Ini kita ingatkan bahwa keselamatan nomor satu, imbauan kami untuk tidak berada pada zona berbahaya,” ujarnya saat itu.

Tapi atas nama tugas, kata seorang kawan, ke neraka pun jadi. Begitulah, profesi wartawan memiliki beban moral yang sangat berat. Ya, dia wajib memberitahukan masyarakat tentang sesuatu yang memang harus diberitahukan. Pasalnya, masyarakat memang punya hak untuk tahu. Karena itu, dengan kata lain, tugas wartawan itu bak tugas negara yang diemban seorang prajurit di medan perang.

Nah, tingkah tentara yang menghalau massa hingga melakukan kekerasan pada wartawan juga sama. Mereka diwajibkan memberi kenyamanan pada Wapres. Segala upaya akan mereka lakukan demi keamanan orang nomor dua di Indonesia ini. Memang itulah tugas mereka. Ketika terjadi sesuatu pada Wapres, maka negara dalam bahaya juga kan? Jadi, apa yang mereka lakukan juga tugas negara.

Tugas negara juga diemban sang Wapres. Dia hadir ke provinsi ini untuk meninjau langsung sekian megaproyek yang memang untuk kebaikan Indonesia. Contohnya, bandara di Kualanamu itu. Ayolah, itukan bandara tingkat internasional, jika tersendat pembangunanya atau tidak maksimal hasilnya, negara juga kena imbas. Mata dunia pasti mengarah ke Indonesia.

Jika semuanya mengatasnamakan tugas negara, siapa sesungguhnya yang jadi korban? Seharusnya tidak ada jika saja tiga wartawan tadi tidak dipukuli. Kalaupun ada yang benar-benar menjadi korban adalah warga negara. Ya, setidaknya warga Medan sibuk mengeluh. Jalan yang biasanya macet, saat Wapres datang, malah tambah macet. Itu saja. (*)

Ramadhan Batubara

Tuti Awalia dari SCTV hanya bisa meringis. Bagian muka, tepatnya di atas bibirnya, bengkak. Dia menjadi korban kekerasan saat melakukan tugas. Tidak dia saja, Hayat Sudrajat Hasibuan dari Trans TV dan Yudistira dari Berita 1 juga jadi korban kekerasan yang dilakukan anggota TNI di kawasan Lapangan Merdeka Medan.

Semua ini bermula ketika mereka meliput aksi Komite Tani Menggugat yang dibubarkan oleh pihak keamanan. Massa dianggap mengganggu kelancaran laju iring-iringan Wakil Presiden Boediono yang akan menuju lokasi mengtinap, Hotel JW Marriot. Pemburaan tersebut cenderung kurang simpatik. Beberapa morang sampai terjatuh dan beberapa wartawan juga mengalami hal yang sama.

Nah, saat itulah ketiga jurnalis tadi berusaha mengkonfirmasi soal pembubaran tersebut kepada seorang perwira yang ada di sana. Sayang, bukannya dapat berita, mereka malah jadi berita. Parahnya lagi, ternyata iring-iringan Wapres malah tidak lewat jalan itu. Sial.

Soal kekerasan pada jurnalis memang bukan barang baru di negeri ini. Bahkan, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Boy Rafli Amar beberapa waktu lalu mengatakan, selama 2011 sedikitnya terdapat 85 laporan kasus kekerasan pada wartawan yang diterima pihak kepolisian. Kasus kekerasan yang dilaporkan tersebut baik secara fisik seperti penganiayaan, berat maupun ringan, hingga pembunuhan. Non fisik seperti ancaman, intimidasi, penghinaan.

Boy Rafli yang berbicara di Dewan Pers pada awal April lalu memahami kalau profesi wartawan cukup berisiko.”Momen memang mahal untuk mendapat hasil karya jurnalistik yang nilainya bagus. Tanpa disadari kondisinya sangat berbahaya dengan suasana yang begitu keos.  Ini kita ingatkan bahwa keselamatan nomor satu, imbauan kami untuk tidak berada pada zona berbahaya,” ujarnya saat itu.

Tapi atas nama tugas, kata seorang kawan, ke neraka pun jadi. Begitulah, profesi wartawan memiliki beban moral yang sangat berat. Ya, dia wajib memberitahukan masyarakat tentang sesuatu yang memang harus diberitahukan. Pasalnya, masyarakat memang punya hak untuk tahu. Karena itu, dengan kata lain, tugas wartawan itu bak tugas negara yang diemban seorang prajurit di medan perang.

Nah, tingkah tentara yang menghalau massa hingga melakukan kekerasan pada wartawan juga sama. Mereka diwajibkan memberi kenyamanan pada Wapres. Segala upaya akan mereka lakukan demi keamanan orang nomor dua di Indonesia ini. Memang itulah tugas mereka. Ketika terjadi sesuatu pada Wapres, maka negara dalam bahaya juga kan? Jadi, apa yang mereka lakukan juga tugas negara.

Tugas negara juga diemban sang Wapres. Dia hadir ke provinsi ini untuk meninjau langsung sekian megaproyek yang memang untuk kebaikan Indonesia. Contohnya, bandara di Kualanamu itu. Ayolah, itukan bandara tingkat internasional, jika tersendat pembangunanya atau tidak maksimal hasilnya, negara juga kena imbas. Mata dunia pasti mengarah ke Indonesia.

Jika semuanya mengatasnamakan tugas negara, siapa sesungguhnya yang jadi korban? Seharusnya tidak ada jika saja tiga wartawan tadi tidak dipukuli. Kalaupun ada yang benar-benar menjadi korban adalah warga negara. Ya, setidaknya warga Medan sibuk mengeluh. Jalan yang biasanya macet, saat Wapres datang, malah tambah macet. Itu saja. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/