Hampir semua orang punya rasa takut pada sesuatu. Anda takut apa?
***
Di kelas-kelas menulis, kami dibiasakan untuk tidak menyebut “semua” orang begini atau begitu.
Misalnya, tidak boleh bilang “Semua orang punya rasa takut”.
Atau, “Semua orang merasakannya”.
Karena “semua” tergolong generalisasi. Dan kita harus bisa berpikir bahwa belum tentu semua orang merasa atau suka pada hal yang sama.
Sebagai ganti, kami dibiasakan menggunakan kalimat “Hampir semua orang punya rasa takut”. Atau, “Hampir semua orang merasakannya”.
Mengacu pada pelajaran logika ini, bicara soal rasa takut, saya pun memakai kalimat “Hampir semua orang punya rasa takut”.
Karena mungkin saja ada satu atau dua yang memang tidak punya rasa takut sama sekali. Entah karena alasan psikis (error di kepala. wkwkwkwk), atau karena alasan kekurangan bagian tubuh (tidak punya udel. Ini meminjam guyonan sahabat saya, Mas Dewo. Wkwkwkwkwkwkwkwk…).
Coba perhatikan diri sendiri. Perhatikan orang-orang yang Anda kenal. Kadang rasa takutnya lucu-lucu. Ada yang begitu berani menghadapi gerombolan orang beringas, tapi lari ketakutan ketika melihat seekor anjing.
Ada pula yang berbadan tegap dan atletis, tapi bisa terkencing-kencing ketika dipaksa naik roller coaster. Saya sih tidak takut, cuman lebih baik menghindari roller coaster dan mengaku merasa tidak nyaman. Sama ya? Wkwkwkwk”
Di sekeliling saya, misalnya. Ada orang yang takut tanjakan, takut makan tahu, takut naik pesawat, dan “bagi teman-teman laki-laki” banyak yang takut kepada istri.
Ada juga survei di Amerika yang menyatakan bahwa orang lebih takut bicara di depan publik daripada takut mati. Dan itu berarti mereka lebih siap terjun di medan perang daripada disuruh pidato!
Kebanyakan rasa takut itu bisa ditanggapi dengan tawa, dengan cibiran, atau cukup dengan perasaan heran. Namun, ada pula yang ketika disampaikan mampu membuat sensor di kepala kita bereaksi lebih kuat.
Sekian tahun yang lalu, ketika makan lewat tengah malam “setelah deadline pengerjaan koran” dengan beberapa manajer dan staf, saya pernah ditanyai soal rasa takut.
Seorang manajer senior itu bertanya, saya takut apa?
Waktu itu, saya tidak menanggapinya terlalu serius. Saya jawab saja: “Takut ikan hiu.”
Penyebabnya? Menonton film Jaws benar-benar membuat saya merinding setiap kali melihat ikan hiu. Walau di sisi lain, menonton film itu juga menjadikan great white shark sebagai binatang favorit saya (begitu streamlined dan efisien!).
Belakangan, film Jurassic World juga membuat saya kagum pada Mosasaurus. Bagaimana tidak, dia dengan mudah makan ikan hiu!
Selain itu, saya tidak nyaman dengan ruangan sempit (claustrophobia) dan takut pada tikus (mungkin jijik lebih tepatnya).
Jawaban saya itu jujur, tapi juga sambil lalu. Yang tidak saya sangka adalah ucapan yang muncul dari mulut manajer tersebut.
“Saya takut miskin.” Begitu dia berucap.
Glodak! Prang! Tet-tet-tet-tet! Niiiiuuuu, niiiiuuuu, niiiiiuuuuu!
Berbagai bunyi-bunyian bersahut-sahutan di dalam kepala saya (yang waktu itu sebenarnya sedang cuek santai, sedang recovery mode setelah selesai deadline koran).
Terus terang, saya tidak ingat lagi apa percakapan selanjutnya. Yang jelas, berbagai mekanisme saringan dan pengolahan bekerja aktif di dalam kepala saya.
Entah mengapa, saya sangat terhenyak dengan ucapan tersebut, yang sedikit banyak mungkin mencerminkan pola pikir dan sikap sang manajer.
Saya mencoba berpikir positif, karena orang yang “takut miskin” akan berusaha dan bekerja keras supaya tidak jatuh miskin. Dan itu mungkin baik.
Hanya, ada perasaan khusus yang mengingatkan saya juga, bahwa orang itu juga berpotensi rela melakukan apa saja agar tidak jatuh miskin. Dan itu belum tentu baik.
Pada akhirnya, sang manajer senior itu memang tidak lagi bersama kami. Saya tidak akan bercerita lebih jauh, dan ini sudah terjadi sangat lama.
Yang jelas, saya juga jadi mengevaluasi diri sendiri. Apakah saya takut miskin? Entahlah. Wong dulu waktu kecil keluarga saya juga termasuk tidak kaya.
Saya mungkin pernah menulis sebelumnya, bahwa waktu kecil saat minta dibelikan mainan kereta, saya hanya dikasih sapu lidi dan sejumlah karet, lalu disuruh merakit sendiri relnya.
Dan orangtua selalu mengingatkan saya: Uang selalu bisa dicari. Kalau kerja jangan terlalu banyak berpikir, asal serius, hasil akan datang dengan sendirinya.
Lebih dari itu, banyak hal lain dalam hidup ini yang tidak selalu bisa dibeli dengan uang. Misalnya, reputasi, pertemanan, dan “apa pun bentuk dan definisinya” kebahagiaan”
Nah, Anda takut apa? (*)