30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Atas Nama Apa?

Ada sebuah gabungan kata yang bisa cukup bermarwah atau malah sakti digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang penting. Dia bisa membuat orang lain maklum ketika gabungan kata itu dikeluarkan. Ya, apalagi kalau bukan: atas nama.

Itulah sebab ketika Soekarno Hatta dan M Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, dalam naskahnya tertulis: atas nama rakyat Indonesia. Itulah sebab ketika tumah-rumah kumuh atau rumah-rumah yang berada di tempat strategis digusur, pemerintah mengatakan: atas nama pembangunan. Dan, itulah sebab ada sekompok prajurit (dalam film-film Hollywood) dimusnahkan oleh pimpinannya sendiri dengan alasan: atas nama kepentingan nasional.

Ya, itulah hebatnya gabungan kata ‘atas nama’ tadi. Dan, gabungan kata itu kembali mengemuka ketika pesawat tempur jenis Hawk 200 TT 0212 milik TNI AU jatuh di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Atas nama keamanan, empat jurnalis dan seorang mahasiswa pun dianiaya.

“Dan kami petugas juga ingin TKP tidak terusik sampai penyelidikan selesai,” begitu pembelaan Panglima Komando Operasi I TNI AU, Marsekal Muda Bagus Purhito dihadapan jurnalis.

Sang marsekal sejatinya paham dengan tugas para jurnalis adalah untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Tapi sekali lagi, mereka juga tak mau Tempat Kejadian Perkara (TKP) terusik dengan kebisingan atau tingkah pola para jurnalis dan pihak-pihak lainnya yang bisa mengganggu bukan?
Melihat dari sudut itu, tentunya apa yang dilakukan pihak TNI Angkatan Udara tidak bisa disalahkan. Ya, atas nama kepentingan penyelidikan dan sebagainya, TKP memang harus steril.

Tapi, bagaimana jika dilihat dari sudut mata para jurnalis. Seperti dikatakan oleh marsekal tadi, jurnalis bertugas memberikan informasi pada khalayak. Jadi, atas nama tugas jurnalistik, apa yang dilakukan oleh Didik Herwanto fotografer Riau Pos, Robi kameramen RTV, Ari wartawan TV One, dan Rian wartawan Antara juga tidak bisa disalahkan.

Menariknya, ada pula mahasiswa yang menjadi korban. Adalah Mancon Fernando, mahasiswa Universitas Islam Riau. Dia yang mencoba mengabadikan momen pesawat terbakar tiba-tiba dipukuli dan dikeroyok oleh lima orang anggota TNI AU. Nah, dia juga tidak bisa disalahkan bukan? Ayolah, di era jejaring sosial dan media begitu marak, bukankah wajar seseorang merekam sebuah kejadian. Dia memiliki perangkat yang cangkih, sebuah ponsel pintar yang bisa merekam sesuatu dan langsung meng-upload ke tujuan yang diingankannya. Nah, atas nama segala yang ada dalam benak Mancon Fernando, apa yang dilakukannya bisa dibenarkan juga bukan?

Itulah hebatnya gabungan kata yang saya maksud tadi: atas nama. Padahal, jika mau jujur, atas nama adalah sebuah perwakilan bukan? Namanya perwakilan, berarti dia bukan yang utama. Nah, ketika dia bukan yang utama, maka dia tidak begitu bermarwah atau sakti. Dengan kata lain, dia biasa saja. Tapi, sekali lagi, kenapa ‘atas nama’ kini semakin luar biasa saja! (*)

Ada sebuah gabungan kata yang bisa cukup bermarwah atau malah sakti digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang penting. Dia bisa membuat orang lain maklum ketika gabungan kata itu dikeluarkan. Ya, apalagi kalau bukan: atas nama.

Itulah sebab ketika Soekarno Hatta dan M Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, dalam naskahnya tertulis: atas nama rakyat Indonesia. Itulah sebab ketika tumah-rumah kumuh atau rumah-rumah yang berada di tempat strategis digusur, pemerintah mengatakan: atas nama pembangunan. Dan, itulah sebab ada sekompok prajurit (dalam film-film Hollywood) dimusnahkan oleh pimpinannya sendiri dengan alasan: atas nama kepentingan nasional.

Ya, itulah hebatnya gabungan kata ‘atas nama’ tadi. Dan, gabungan kata itu kembali mengemuka ketika pesawat tempur jenis Hawk 200 TT 0212 milik TNI AU jatuh di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Atas nama keamanan, empat jurnalis dan seorang mahasiswa pun dianiaya.

“Dan kami petugas juga ingin TKP tidak terusik sampai penyelidikan selesai,” begitu pembelaan Panglima Komando Operasi I TNI AU, Marsekal Muda Bagus Purhito dihadapan jurnalis.

Sang marsekal sejatinya paham dengan tugas para jurnalis adalah untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Tapi sekali lagi, mereka juga tak mau Tempat Kejadian Perkara (TKP) terusik dengan kebisingan atau tingkah pola para jurnalis dan pihak-pihak lainnya yang bisa mengganggu bukan?
Melihat dari sudut itu, tentunya apa yang dilakukan pihak TNI Angkatan Udara tidak bisa disalahkan. Ya, atas nama kepentingan penyelidikan dan sebagainya, TKP memang harus steril.

Tapi, bagaimana jika dilihat dari sudut mata para jurnalis. Seperti dikatakan oleh marsekal tadi, jurnalis bertugas memberikan informasi pada khalayak. Jadi, atas nama tugas jurnalistik, apa yang dilakukan oleh Didik Herwanto fotografer Riau Pos, Robi kameramen RTV, Ari wartawan TV One, dan Rian wartawan Antara juga tidak bisa disalahkan.

Menariknya, ada pula mahasiswa yang menjadi korban. Adalah Mancon Fernando, mahasiswa Universitas Islam Riau. Dia yang mencoba mengabadikan momen pesawat terbakar tiba-tiba dipukuli dan dikeroyok oleh lima orang anggota TNI AU. Nah, dia juga tidak bisa disalahkan bukan? Ayolah, di era jejaring sosial dan media begitu marak, bukankah wajar seseorang merekam sebuah kejadian. Dia memiliki perangkat yang cangkih, sebuah ponsel pintar yang bisa merekam sesuatu dan langsung meng-upload ke tujuan yang diingankannya. Nah, atas nama segala yang ada dalam benak Mancon Fernando, apa yang dilakukannya bisa dibenarkan juga bukan?

Itulah hebatnya gabungan kata yang saya maksud tadi: atas nama. Padahal, jika mau jujur, atas nama adalah sebuah perwakilan bukan? Namanya perwakilan, berarti dia bukan yang utama. Nah, ketika dia bukan yang utama, maka dia tidak begitu bermarwah atau sakti. Dengan kata lain, dia biasa saja. Tapi, sekali lagi, kenapa ‘atas nama’ kini semakin luar biasa saja! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/