25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Persimpangan

Oleh: Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

PADA sebuah halaman ruko yang terletak di sebuah persimpangan jalan, tubuh yang sudah basah ini berteduh agar tak semakin kuyup karena hujan yang kian deras.

Bagai telah saling kenal dengan orang-orang yang telah lebih dulu berada di sana, dan agar tak dibilang sombong, langsung saja senyuman dilepas ke arah kiri dan kanan, sambil terus melangkahkan kaki ke sebuah pojokan yang terlihat menyisakan sebuah bangku kosongn
Tak lama menghempaskan pantat di bangku yang sudah reyot itu, seorang abang becak yang sudah lebih dulu berada di sana mengatakan bahwa jika hujan turun maka penghasilannya akan menipis karena orang-orang malas keluar dari rumah akibat dinginnya cuaca.

“Kek gitulah Bang, nasib kami orang-orang kecil ini, berbeda dengan orang-orang kaya yang kapan dan di mana saja bisa menambah penghasilannya, meski mereka hanya berada di dalam rumah,” bilang si abang becak yang kemudian diketahui bermana Warno itu.

Dengan tetap mendengarkan semua keluh kesah si abang becak tadi, pandangan mataku tak pernah lepas dari persimpangan jalan yang menurutku, juga menyajikan sebuah pemandangan yang tak kalah menariknya saat sejumlah kendaraan bermotor tetap patuh untuk berhenti meski tanpa diperintah oleh tiga buah lampu berwarna merah, kuning dan hijau.

Ini menarik, karena sebuah benda mati mampu mengatur semua orang yang ada di sana. Tak peduli apakah mereka pejabat negara, pedagang atau bahkan kawan si abang tukang becak tadi, tetap saja mereka patuh dengan lampu yang secara otomatis terus berganti dalam beberapa menit sekali.
“Bang, aku tak neko-neko kalilah. Bagiku penghasilan hari ini cukup untuk makan dan sedikit disisakan untuk ditabung agar bisa punya becak sendiri, sudah cukuplah itu,” bilang Warno menyentak lamunanku.

Bah, sesederhana itukah hidupnya. Ternyata masih ada orang seperti si Warno ketika sebagian masyarakat lainnya justru saling berpacu untuk menjadi orang nomor satu, utamanya orang-orang yang terlibat di pentas politik negeri ini.
Tak percaya, lihatlah betapa sibuknya saat ini beberapa orang yang merasa dirinya tokoh masyarakat melakukan pencitraan sehingga namanya kian melambung jelang berlangsungnya Pilgubsu 2013 mendatang.

Heran, kalau mau berbuat kenapa baru sekarang? Selama ini kemana saja? Tiba-tiba pemikiran seperti itu bermain di kepala, apalagi saat melihat aksi para tokoh masyarakat tadi yang tak pernah berhenti melakukan pendekatan ke beberapa partai politik, seolah mereka ingin menjadi pemimpin dari partai politik. Padahal, ujung-ujungnya mereka mengincar kursi nomor satu di provinsi ini.

Hacccccimmmmm… , ah bersin sudah mulai menyerang saat mengetahui jika hampir semua tokoh-tokoh tadi mengaku berjanji ingin melakukan yang terbaik untuk masyarakat di provinsi ini.

Niat yang besar tentunya harus didukung dengan sebuah gebrakan yang besar dan bukan sebuah manuver ke partai politik yang jumlah orang di dalamnya tak sebarapa jika dibanding dengan jumlah masyarakat yang nanti akan dipimpin. Sayangnya tak semua tokoh masyarakat tadi berani melakuan action untuk terus mendekati dan mengambil hati masyarakat.

Belum adanya kepastian tentang tata cara pelaksanaan Pilgubsu 2013, apakah dipilih secara kangsung atau lewat DPRD membuat para tokoh masyarakat tadi menahan diri untuk tidak sembarang melakukan pendekatan ke masyakarat yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Artinya apa? Para tokoh masyarakat tadi lebih takut dengan anggota DPRD daripada masyarakat, yang sejatinya akan mereka pimpin jika kelak menjadi pemenang pada Pilgusu mendatang.

Ya, seakan ngantre di sebuah persimpangan yang ada traffic light, para tokoh masyarakat terlihat berhati-hati dan tak berani sembarang geber, karena khawatir ditabrak sebuah partai politik, yang setiap saat bisa berubah layaknya sebuah truk. (*)

Oleh: Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

PADA sebuah halaman ruko yang terletak di sebuah persimpangan jalan, tubuh yang sudah basah ini berteduh agar tak semakin kuyup karena hujan yang kian deras.

Bagai telah saling kenal dengan orang-orang yang telah lebih dulu berada di sana, dan agar tak dibilang sombong, langsung saja senyuman dilepas ke arah kiri dan kanan, sambil terus melangkahkan kaki ke sebuah pojokan yang terlihat menyisakan sebuah bangku kosongn
Tak lama menghempaskan pantat di bangku yang sudah reyot itu, seorang abang becak yang sudah lebih dulu berada di sana mengatakan bahwa jika hujan turun maka penghasilannya akan menipis karena orang-orang malas keluar dari rumah akibat dinginnya cuaca.

“Kek gitulah Bang, nasib kami orang-orang kecil ini, berbeda dengan orang-orang kaya yang kapan dan di mana saja bisa menambah penghasilannya, meski mereka hanya berada di dalam rumah,” bilang si abang becak yang kemudian diketahui bermana Warno itu.

Dengan tetap mendengarkan semua keluh kesah si abang becak tadi, pandangan mataku tak pernah lepas dari persimpangan jalan yang menurutku, juga menyajikan sebuah pemandangan yang tak kalah menariknya saat sejumlah kendaraan bermotor tetap patuh untuk berhenti meski tanpa diperintah oleh tiga buah lampu berwarna merah, kuning dan hijau.

Ini menarik, karena sebuah benda mati mampu mengatur semua orang yang ada di sana. Tak peduli apakah mereka pejabat negara, pedagang atau bahkan kawan si abang tukang becak tadi, tetap saja mereka patuh dengan lampu yang secara otomatis terus berganti dalam beberapa menit sekali.
“Bang, aku tak neko-neko kalilah. Bagiku penghasilan hari ini cukup untuk makan dan sedikit disisakan untuk ditabung agar bisa punya becak sendiri, sudah cukuplah itu,” bilang Warno menyentak lamunanku.

Bah, sesederhana itukah hidupnya. Ternyata masih ada orang seperti si Warno ketika sebagian masyarakat lainnya justru saling berpacu untuk menjadi orang nomor satu, utamanya orang-orang yang terlibat di pentas politik negeri ini.
Tak percaya, lihatlah betapa sibuknya saat ini beberapa orang yang merasa dirinya tokoh masyarakat melakukan pencitraan sehingga namanya kian melambung jelang berlangsungnya Pilgubsu 2013 mendatang.

Heran, kalau mau berbuat kenapa baru sekarang? Selama ini kemana saja? Tiba-tiba pemikiran seperti itu bermain di kepala, apalagi saat melihat aksi para tokoh masyarakat tadi yang tak pernah berhenti melakukan pendekatan ke beberapa partai politik, seolah mereka ingin menjadi pemimpin dari partai politik. Padahal, ujung-ujungnya mereka mengincar kursi nomor satu di provinsi ini.

Hacccccimmmmm… , ah bersin sudah mulai menyerang saat mengetahui jika hampir semua tokoh-tokoh tadi mengaku berjanji ingin melakukan yang terbaik untuk masyarakat di provinsi ini.

Niat yang besar tentunya harus didukung dengan sebuah gebrakan yang besar dan bukan sebuah manuver ke partai politik yang jumlah orang di dalamnya tak sebarapa jika dibanding dengan jumlah masyarakat yang nanti akan dipimpin. Sayangnya tak semua tokoh masyarakat tadi berani melakuan action untuk terus mendekati dan mengambil hati masyarakat.

Belum adanya kepastian tentang tata cara pelaksanaan Pilgubsu 2013, apakah dipilih secara kangsung atau lewat DPRD membuat para tokoh masyarakat tadi menahan diri untuk tidak sembarang melakukan pendekatan ke masyakarat yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Artinya apa? Para tokoh masyarakat tadi lebih takut dengan anggota DPRD daripada masyarakat, yang sejatinya akan mereka pimpin jika kelak menjadi pemenang pada Pilgusu mendatang.

Ya, seakan ngantre di sebuah persimpangan yang ada traffic light, para tokoh masyarakat terlihat berhati-hati dan tak berani sembarang geber, karena khawatir ditabrak sebuah partai politik, yang setiap saat bisa berubah layaknya sebuah truk. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/