25 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Esemka Oh Esemka

Oleh : Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Mobil Esemka yang dirakit anak-anak SMK Solo, berhasil me ledakkan perhatian rakyat Indonesia ke SMK. Setelah SMK Solo, terungkap bahwa SMK Magelang bahkan sudah berhasil merakit sedan, SUV, ambulans, pikap, dan bus. Bak bom beruntun, media massa pun ikutan bereuforia mengumumkan daftar inovasi anak-anak SMK di daerah masing-masing. Malah, anak-anak SMK di Bandung tercatat sudah ikut menciptakan pesawat.

Penulis jadi teringat tahun 80-an dan 90-an lalu, saat sekolah kejuruan masih ‘terposisi’ sebagai sekolahnya anak-anak yang tidak punya pilihan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat itu, nama SMK belum seragam. Ada SMEA, STM, SMIP, SMF, dan sebagainya. Sekarang semua dinamakan SMK, dengan tambahan nama kejuruan di depannya. Misalnya SMK Farmasi, SMK Penerbangan, SMK Otomotif, dan sebagainya.

Lulus dari SMEA, STM, SMIP, SMF ini, pilihan utamanya adalah langsung kerja. Dan memang anak-anak dididik agar siap pakai memasuki dunia usaha dan dunia industri, sesuai kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. Makanya dulu, sekolah ini terpahami sebagai sekolahnya para pencari kerja. Bukan sekolahnya para pencari ilmu/gelar.

Semakin tahun, gengsi sekolah-sekolah kejuruan makin menurun. Jika pada tahun ajaran baru peminat sekolah umum membludak, peminat sekolah kejuruan boleh dibilang ‘terhitung’. Anak-anak orang berada tak banyak yang berminat ke sana. Apalagi di daerah kabupaten, yang ada paling SMEA dan STM. Siswi SMEA kerap terlihat jualan kue atau pernak-pernik lain, sebagai praktik langsung ilmu pemasaran. Anak STM terlihat di bengkel-bengkel, mereparasi motor atau mobil. Pekerjaan yang prestisenya tidak sebanding dengan gelar mahasiswa berikut sederet gelar keilmuan yang bakal teraih nantinya, —walau tentu lulusan SMK tidak dilarang kuliah. Semua ini membuat gengsi SMK semakin terpuruk.

Kembalinya prestise SMK dimulai setelah pemerintah pusat melalui Mendiknas, mulai mengucurkan dana miliaran rupiah untuk pengembangan SMK. Gedung-gedungnya dibangun lebih berkelas, peralatan bengkel praktiknya diberi yang bertaraf internasional, teknologinya canggih, menteri pendidikan beriklan di televisi, dan sebagainya dan sebagainya.

Target pemerintah, para lulusan SMK ini nantinya bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja pada dunia usaha dan dunia industri yang terus berkembang. Juga untuk dikirim ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terdidik. Selain sebagai tenaga kerja di pabrik-pabrik, para lulusan SMK juga diharapkan mampu mandiri membuka usaha, dengan keahlian yang diperolehnya di sekolah.

Kucuran dana miliaran rupiah ini berhasil menggairahkan SMK. Apalagi setelah terbukti lulusannya banyak yang diserap pasar kerja. Sementara lulusan SMA semakin susah masuk pasar kerja —bahkan para sarjana saja masih banyak yang menganggur— siswa SMK terbukti banyak yang sudah ‘dipesan’ sebelum tamat.

Dunia kerja sendiri, khususnya pabrik-pabrik, banyak yang memilih berhubungan langsung dengan SMK untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya. Industri di Batam misalnya, banyak yang memesan lulusan SMK dari Sumut untuk bekerja di pabrik-pabrik. Malaysia juga demikian. Tak hanya SMK di kota, SMK di pedesaan juga memiliki akses ke pasar industri Malaysia.

Semua ini merangsang minat anak-anak SMP sederajat untuk memilih SMK. Apalagi pilihannya lebih banyak: mau kerja bisa, mau kuliah juga oke. Ini mirip pilihan lulusan Unimed (dulu IKIP Medan). Jadi guru oke, kerja lain juga ayo. Alhasil peminat Unimed lebih banyak dari peminat USU yang dulu favorit. Sekarang malah sejumlah universitas ikut-ikutan membuka program Akta-IV untuk memenuhi kebutuhan akan guru. Profesi guru menjadi favorit, setelah kesejahteraannya dinaikkan. Ini mirip lingkaran berkat.

Kembali ke SMK. Gairah anak-anak SMP masuk SMK tahun-tahun belakangan ini, barangkali menjadi bukti, bahwa anak-anak sekarang lebih realistis memandang dunia. Dunia mahasiswa dengan segala prestisenya, dan dunia gelar dengan segala keangkuhannya, tak lagi memberi gengsi seperti dulu. Toh, muara semua itu adalah bekerja. Sarjana pun kalau tak kerja, buat apa? Barangkali begitu.
Yang pasti, kemampuan anak-anak SMK kita menciptakan beragam produk, patut diapresiasi setinggi-tingginya. SMK, kamu bisa! (*)

Oleh : Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Mobil Esemka yang dirakit anak-anak SMK Solo, berhasil me ledakkan perhatian rakyat Indonesia ke SMK. Setelah SMK Solo, terungkap bahwa SMK Magelang bahkan sudah berhasil merakit sedan, SUV, ambulans, pikap, dan bus. Bak bom beruntun, media massa pun ikutan bereuforia mengumumkan daftar inovasi anak-anak SMK di daerah masing-masing. Malah, anak-anak SMK di Bandung tercatat sudah ikut menciptakan pesawat.

Penulis jadi teringat tahun 80-an dan 90-an lalu, saat sekolah kejuruan masih ‘terposisi’ sebagai sekolahnya anak-anak yang tidak punya pilihan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat itu, nama SMK belum seragam. Ada SMEA, STM, SMIP, SMF, dan sebagainya. Sekarang semua dinamakan SMK, dengan tambahan nama kejuruan di depannya. Misalnya SMK Farmasi, SMK Penerbangan, SMK Otomotif, dan sebagainya.

Lulus dari SMEA, STM, SMIP, SMF ini, pilihan utamanya adalah langsung kerja. Dan memang anak-anak dididik agar siap pakai memasuki dunia usaha dan dunia industri, sesuai kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. Makanya dulu, sekolah ini terpahami sebagai sekolahnya para pencari kerja. Bukan sekolahnya para pencari ilmu/gelar.

Semakin tahun, gengsi sekolah-sekolah kejuruan makin menurun. Jika pada tahun ajaran baru peminat sekolah umum membludak, peminat sekolah kejuruan boleh dibilang ‘terhitung’. Anak-anak orang berada tak banyak yang berminat ke sana. Apalagi di daerah kabupaten, yang ada paling SMEA dan STM. Siswi SMEA kerap terlihat jualan kue atau pernak-pernik lain, sebagai praktik langsung ilmu pemasaran. Anak STM terlihat di bengkel-bengkel, mereparasi motor atau mobil. Pekerjaan yang prestisenya tidak sebanding dengan gelar mahasiswa berikut sederet gelar keilmuan yang bakal teraih nantinya, —walau tentu lulusan SMK tidak dilarang kuliah. Semua ini membuat gengsi SMK semakin terpuruk.

Kembalinya prestise SMK dimulai setelah pemerintah pusat melalui Mendiknas, mulai mengucurkan dana miliaran rupiah untuk pengembangan SMK. Gedung-gedungnya dibangun lebih berkelas, peralatan bengkel praktiknya diberi yang bertaraf internasional, teknologinya canggih, menteri pendidikan beriklan di televisi, dan sebagainya dan sebagainya.

Target pemerintah, para lulusan SMK ini nantinya bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja pada dunia usaha dan dunia industri yang terus berkembang. Juga untuk dikirim ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terdidik. Selain sebagai tenaga kerja di pabrik-pabrik, para lulusan SMK juga diharapkan mampu mandiri membuka usaha, dengan keahlian yang diperolehnya di sekolah.

Kucuran dana miliaran rupiah ini berhasil menggairahkan SMK. Apalagi setelah terbukti lulusannya banyak yang diserap pasar kerja. Sementara lulusan SMA semakin susah masuk pasar kerja —bahkan para sarjana saja masih banyak yang menganggur— siswa SMK terbukti banyak yang sudah ‘dipesan’ sebelum tamat.

Dunia kerja sendiri, khususnya pabrik-pabrik, banyak yang memilih berhubungan langsung dengan SMK untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya. Industri di Batam misalnya, banyak yang memesan lulusan SMK dari Sumut untuk bekerja di pabrik-pabrik. Malaysia juga demikian. Tak hanya SMK di kota, SMK di pedesaan juga memiliki akses ke pasar industri Malaysia.

Semua ini merangsang minat anak-anak SMP sederajat untuk memilih SMK. Apalagi pilihannya lebih banyak: mau kerja bisa, mau kuliah juga oke. Ini mirip pilihan lulusan Unimed (dulu IKIP Medan). Jadi guru oke, kerja lain juga ayo. Alhasil peminat Unimed lebih banyak dari peminat USU yang dulu favorit. Sekarang malah sejumlah universitas ikut-ikutan membuka program Akta-IV untuk memenuhi kebutuhan akan guru. Profesi guru menjadi favorit, setelah kesejahteraannya dinaikkan. Ini mirip lingkaran berkat.

Kembali ke SMK. Gairah anak-anak SMP masuk SMK tahun-tahun belakangan ini, barangkali menjadi bukti, bahwa anak-anak sekarang lebih realistis memandang dunia. Dunia mahasiswa dengan segala prestisenya, dan dunia gelar dengan segala keangkuhannya, tak lagi memberi gengsi seperti dulu. Toh, muara semua itu adalah bekerja. Sarjana pun kalau tak kerja, buat apa? Barangkali begitu.
Yang pasti, kemampuan anak-anak SMK kita menciptakan beragam produk, patut diapresiasi setinggi-tingginya. SMK, kamu bisa! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/