Apa jadinya singa tanpa gigi? Apakah dia bisa makan daging-seperti kodratnya sebagai binatang karnivora-dengan leluasa? Hm, tampaknya dia butuh bubur daging agar bisa bertahan hidup.
Begitulah, saya awali catatan ini tentang daging karena biasanya jelang Ramadan orang-orang heboh dengan daging. Lihatlah, di berbagai media, berita soal harga daging begitu mencolok. Intinya, soal daging memang menyita perhatian. Lalu, kenapa harus singa yang saya jadikan analoginya?
Begini ceritanya, singa itu ‘kan raja hutan. Dia memiliki gigi yang tajam. Dan, makanannya adalah daging. Beberapa kalangan malah menganggap karena daginglah singa bisa dikatakan sebagai raja hutan. Nah, bagaimana jika dia ompong? Singa saya pilih memang untuk menunjukan sebuah situasi yang memang dramatis. Jika dihubungkan dengan Ramadan, bagaimana jika ada warga yang tak mampu membeli daging. Bukankah hal itu juga mirip dengan singa ompong?
Tapi terus terang, soal singa ompong tidak hanya untuk warga yang tidak mampu membeli daging. Saya terkejut dengan pernyataan dari pihak Kejatisu terkait kasus dugaan penyimpangan penyaluran kredit fiktif di Bank Negara Indonesia (BNI) 46 Cabang Jalan Pemuda Medan senilai Rp129 miliar yang masih mengambang. Kata pejabat di lembaga itu, mereka terkendala dana dalam menguak kasus itu. Ceritanya, mereka tak punya uang untuk membayar ahli penilai agunan. Katanya lagi, honor ahli itu jumlahnya Rp175 juta. Wow!
Sesaat saya bingung juga dengan keadaan itu. Seratus tujuh puluh lima juta rupiah angka yang besar bukan? Benarkah honor ahli sebesar itu? Namun, setelah berpikir lagi, saya tambah bingung lagi. Bagaimana tidak, lembaga hukum yang tugasnya menguak ketidakbenaran kenapa tidak punya uang sebanyak itu? Bukankah kasus yang diusut juga tidak kecil; penyelewengan itu mencapai seratus dua puluh sembilan miliar!
Bagi saya, hal ini bak singa ompong. Bagaimana tidak, pengakuan pejabat itu secara jujur mengatakan pada khalayak kalau Kejatisu tak punya senjata untuk mengusut kasus hingga tuntas. Dengan kata lain, kegagahannya ternyata tidak diimbangi dengan gigi yang tajam.
“Mengenai biaya penyelidikan biasanya berkisar Rp7 juta dalam satu tahun untuk satu pengaduan. Mana cukup biaya sekecil itu? Tapi nanti kalau itu kita sampaikan, nantinya kita dianggap cengeng. Begitupun dengan segala keterbatasan yang ada, tetap kita manfaatkan,” ungkap si pejabat tadi. Bah!
Baiklah jika dana menjadi alasan utama; bisa saja karena tidak ada anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun, kenapa Kejatisu tidak memiliki ahli penilai agunan. Bukankah ahli agunan bisa dipekerjakan di Kejatisu dan kenapa tidak ada rekrutmen untuk posisi itu. Pertanyaan lainnya: apakah posisi ahli agunan dianggap tidak penting oleh Kejatisu hingga tidak mengusulkan pada pemerintah?
Lucu bagi saya ketika Kejatisu ternyata tidak memiliki senjata dalam menjerat oknum-oknum yang bersalah. Bak polisi tanpa pistol. Bak fotografer tanpa kamera. Bak mobil tanpa bensin. Dan, bak singa tanpa gigi. OMPONG!
Ya, ompong. Jadi, wajar saja kasus yang sudah cukup lama terjadi itu tetap tak bergerak. Tambah menarik ketika diketahui beberapa tersangka kasus itu masih bebas berkeliaran. Sementara, mereka yang dirugikan tetap berharap. Bah, uang Rp129 miliar itu tidak kecil bukan?
Ada apa ini, kenapa kerugian sedemikian besar terbiarkan saja. Jangan-jangan, singa ini sengaja diompongkan. Ya, biar dia tidak bisa menggigit. Seperti warga yang tak mampu membeli daging, dia hanya bisa menghirup aroma rendang dan gulai milik tetangga. Syukur-syukur kalau tetangga ingat, kalau tidak dia hanya bisa berharap bukan? (*)