Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
Seandainya usulan pemerintah soal kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM) menjadi nyata, apa yang terjadi pada Medan? Tentu jawaban yang keluar dari mulut warga sangat beragam. Intinya, warga cenderung pasrah karena keputusan sudah terbentuk.
Mereka pun akan mengetatkan ikat pinggang akibat harga lain juga ikutan naik. Warga lain yang lebih bijak pasti akan mencari penghasilan tambahan. Harus diakui, warga Indonesia secara umum cenderung kreatif dalam menyikapi keadaan. Bayangkan saja, sudah berapa kali harga BBM naik yang berimbas kenaikan harga sembilan bahan pokok. Ya, meski menimbulkan riak sosial, warga tetap bisa mengantisipasinya.
Mungkin karena itulah warga Indonesia bisa dikatakan paling hebat di dunia (tentunya menurut saya pribadi). Pasalnya, sebagai mahluk Tuhan, manusia adalah ciptaan-Nya yang paling hebat soal adaptasi. Contohnya, ketika dingin manusia mampu menciptakan jaket; ketika panas, manusia bisa menciptakan air conditioner. Dan, warga Indonesialah yang paling jago beradaptasi soal kenaikan harga. Misalnya, ketika miskin kan bisa mengemis; ketika kekurangan gaji kan bisa korupsi.
Medan lebih khusus lagi. Dengan paham ‘Ini Medan Bung’ warga Medan lebih khas. Dengan kata lain, Medan tak mau ribut-ribut dan mencari muslihat. Medan malah terkesan membiarkan sikap pemerintah pusat dalam membuat kebijakan. Mau naik harga BBM, mau naik harga listrik, Medan tetap saja menjadi korban. Jadi, sebagai korban, kenapa harus meributi kebijakan itu. Yang penting, hidup terus berjalan dan kebutuhan tetap terpenuhi. Masalah bagaimana meraih kebutuhan itu, kan terserah warga Medan; Ini Medan Bung!
Tapi, ketika pertanyaan tadi diulangi dengan pertanyaan, setuju atau tidak harga BBM naik? Maka, jawabannya pasti serentak: TIDAK! Dan, warga Medan yang paling keras bersuara. Kenapa? Ya, ketika dilibatkan, maka Medan harus paling berperan.
Tapi sudahlah, soal BBM memang bukan sekadar untuk warga Medan; ini soal manusia Indonesia secara utuh. Sebagai manusia pemegang unsur adaptasi paling hebat terkait kenaikan harga (sekali lagi ini menurut saya pribadi), warga Indonesia memang terus diuji. Pemerintah pun seperti tidak jemu-jemu menguji warganya. Ya, seperti tidak percaya kalau warga Indonesia itu hebat beradaptasi hingga harus diuji berulang-ulang.
Yang terbaru adalah soal usulan pemerintah tadi. Atas nama kenaikan harga minyak dunia, warga Indonesia pun kena imbas. Hal ini cukup lucu. Apalagi, pemerintah terus berlindung dari subsidi yang membengkak. Alasannya lagi, subsidi BBM itu kan bisa digunakan di bidang lain, misalnya pelayanan masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan. Pertanyaannya, apakah harga murah tidak bisa dikatakan sebagai pelayanan? Apakah tingginya harga BBM tidak membuat biaya pengobatan membengkak? Ingat, untuk berobat kan tidak sekadar ongkos dokter dan obat. Seorang pasien harus membeli BBM untuk kendaraannya. Kalau dia naik angkot, ongkos angkot juga dipastikan akan naik seiring kenaikan harga BBM. Lalu, setelah mendapat obat, seorang pasien juga harus makan. Nah, sembako melambung akibat harga BBM naik. Nah, cobahlah hitung pengeluaran tersebut ditambah dengan ongkos dokter dan obat-obatan.
Selain itu, atas nama harga minyak dunia juga bisa dipertanyakan. Bukan masalah konflik yang menyebabkan minyak dunia melonjak, tapi lebih mengarah pada acuan pemerintah. Ya, harga disesuaikan dengan harga dunia, tapi gaji atau honor pekerja malah lokal. Lucu kan?
Karena itulah, pemerintah tampaknya sadar bahwa keputusan menaikkan harga BBM bukanlah keputusan yang populer. Tapi bagaimana lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhono pun seakan menyerah. “Harga BBM mau tidak mau tentu mesti disesuaikan dengan kenaikan yang tepat,” begitu SBY beberapa hari lalu.
Begitulah, mau apa lagi. Kalau kata orang Medan,” Naikkan aja, tak masalahnya itu.” (*)