Oleh : Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Pengemudi di Kota Medan dikenal agak beringas dan kurang memiliki kesabaran soal berkendara. Salip sana salip sini, sosor sana sosor sini, bikin yang disalip dan yang disosor marah-marah dan mengumpat. Kata teman yang ikut menyosor: “Kalau tak ikut nyosor, awak yang disosor terus.”
Belum lagi soal angkot menurunkan dan menaikkan penumpang sembarang tempat. Lampu merah yang diterobos sembarang suka. Semua menunjukkan wajah lalu-lintas Medan yang masih semrawut.
Misalnya saja soal penerobos lampu merah. Entah si penerobos buta warna, atau karena dia terburu-buru, atau memang hobinya mencari bahaya, hampir di setiap persimpangan lampu merah ada saja penerobos.
Kita contohkan saja lampu merah menyala per 75 detik. Jika kita hitung mulai pukul 7 pagi hingga pukul 10 malam –total 61.200 detik—, dibagi 75 detik berarti ada 408 kali lampu merah dan 408 kali lampu hijau. Ini perhitungan kasar saja, karena faktanya, ada lampu merah yang menyala 100 detik atau lebih, hijau 60 detik, ditambah kuning beberapa detik.
Setiap kali lampu merah menyala, ada saja 1 sampai 4 pengendara yang menerobos (kecuali ada polisi yang terlihat menjaga). Kita rata-ratakan saja 2 pengendara menerobos tiap lampu merah menyala. Berarti ada 2 orang x 408 sama dengan 816 pengendara penerobos sebuah lampu merah dalam sehari.
Jika ada 100 lampu merah di Kota Medan, dengan asumsi pengendara yang sama menerobos rata-rata 5 lampu merah selama perjalanannya, berarti 816 dikali 100 dibagi 5 sama dengan 16.320 pengendara berbeda yang setiap hari menerobos lampu merah di Kota Medan. TIAP HARI! Dan ini masih perhitungan kasar. Jumlahnya bisa kurang, bisa lebih besar.
Penerobos lampu merah ini jelas mengganggu. Mengganggu kelancaran arus kendaraan yang gilirannya melaju, mengganggu kesehatan dan emosi pengendara lain yang jadi jantungan atau marah-marah, mengganggu kenyamanan & ketertiban perlalu-lintasan di Kota Medan, menunjukkan kualitas mental orang Medan yang belum peduli rambu-rambu umum, dan lain-lain dan lain-lain.
Bagi pembaca yang pernah menerobos lampu merah, mungkin tau apa rasanya jika berhasil menerobos lampu merah. Puas! Ya, puas adalah kata yang tepat. Puas karena berhasil lolos. Dan sambil terus melaju, senyum pun terukir di wajah.
Tapi bagi pembaca yang sama yang pernah ditelikung penerobos lampu merah saat gilirannya melaju, pasti paham juga rasanya. Sangat kesal. Untuk melampiaskan kekesalan, klakson pun dipencet kuat-kuat dan panjang untuk membentak si penerobos.
Penerobos lampu merah ini ada beberapa jenis. Pertama, menerobos saat ada peluang (biasanya ada saat lengang antara akhir lampu merah jalur yang satu dengan awal lampu hijau jalur lain). Kedua, penerobos saat lampu hijau dari jalurnya baru berakhir dan masuk lampu merah. Ketiga, penerobos yang sudah melaju saat lampu merah dari jalurnya masuk angka 4 detik lagi, dan masih ada sisa-sisa kendaraan dari jalur sebelumnya.
Aksi para penerobos ini bukan karena rambu-rambu lalu-lintas kita tak secanggih negara lain. Atau karena polisi kita kurang berjaga. Ini soal mental tak mau mengalah. Semua ingin duluan, semua ingin menang. Ironisnya, kalau bepergian ke luar negeri, kita bisa taat aturan lalu-lintas yang berlaku di negeri itu. Kenapa di negeri sendiri tak bisa?
Mental tertib dan disiplin sepatutnya dimulai dari diri sendiri, bukan karena adanya polisi di tiap persimpangan. Sebagai warga Medan, kita masih perlu meningkatkan disiplin pribadi. Dimulai dari diri sendiri! (*)