Korupsi dan kelompok kekerasan (baca: premanisme), kini menjadi musuh utama masyarakat. Di pengadilan Tipikor Bandung, Rabu lalu, seorang penduduk biasa, Dedy Sugarda, membacok tersangka korupsi (jaksa non aktif) Sistoyo.
Akibatnya, Sistoyo harus dilarikan ke rumah sakit dengan luka sedalam 1 centimeter panjang 8 centimeter, dan harus menerima 7 jahitan di jidat hingga pelipisnya. Apa yang dilakukan Sugarda, apapun alasannya, tetap sebuah perbuatan melawan hukum. Namun di sisi lain, ini memperlihatkan banyak rakyat yang merasa tersakiti dengan tingkah para pengemplang uang rakyat dan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Mereka dengan seenaknya melakukan kongkalingkong mengakali aturan keuangan, mempermainkan laporan keuangan, menerima sogokan orang yang bersengketa, dan banyak modus lainnya. Yang menariknya, setiap saat, para petugas yang mestinya menegakkan aturan, justru menjadi aktor utama. Para pegawai pajak seperti Gayus Tambunan atau “yuniornya” Dhana Widiyatmika dan nama-nama lainnya, adalah contoh buruk dari orang-orang yang mestinya menyelamatkan harta negara. Juga, orang seperti Sistoyo yang semestinya menegakkan hukum, malah bermain dengan hukum pastinya sangat dipahaminya.
Negara ini memerlukan orang-orang jujur dan punya komitmen untuk memperbaiki bangsanya agar tidak terus masuk dalam kubangan yang sama. Tetapi, hari demi hari, selalu muncul kasus baru dan orang-orang baru, baik itu pejabat negara, politisi atau penegak hukum yang merusak citra negara.
Skandal Bank Century hingga Wisma Atlet, adalah borok yang melekat di jidat kita, bahwa banyak orang yang mestinya menjadi panutan rakyat, ternyata mengkhianati hati nurani rakyat.
Rakyat dibikin sakit hati karena setiap hari harus melihat di televisi, membaca koran dan media lainnya tentang prilaku para koruptor di tengah himpitan ekonomi yang terus mendera.
Tak jauh beda dengan koruptor, aksi premanisme yang kini terus terjadi, juga membuat kita semakin miris. Tertangkapnya “penguasa” Jakarta, John Kei, mestinya bisa menjadi momen bagi pihak kepolisian untuk menumpas kelompok-kelompok kekerasan termasuk preman-preman yang menyaru di ormas yang meresahkan masyarakat. Jika para koruptor menyakiti hati rakyat, maka preman justru menjadi ancaman nyata, karena mereka bukan hanya menyakiti hati, tetapi juga secara fisik.
Belum lama John Kei tertangkap, ratusan orang menyerbu rumah duka Rumah Sakit Pusat AD Gatot Subroto yang menewaskan dua orang. Di Pekanbaru, geng motor yang kebanyakan anak-anak remaja dan beberapa ramaja wanita, menyerang Mapolresta Pekanbaru, dan sekian kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa eksistensinya terancam. Kita tentu tak ingin negeri ini menjadi gelap karena koruptor dan preman. Untuk itulah, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen “Patung”: harus ada orang yang selalu melawan iblis, meski kita tahu iblis tak pernah mati. Artinya, kita harus terus melawan aksi korupsi dan premanisme, meski kita tahu, keduanya juga tak pernah bisa mati.***