25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Pewarta

Hatta, seekor burung dara diutus oleh Nabi Nuh untuk mencari kabar tentang air bah; sudah surut atau belum. Selain memperhatikan air, dia juga diberi tugas untuk memantau makanan.

Setelah mendapat perintah itu, sang burung pun terbang. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.

Atas dasar fakta tersebut, dikutip Kustadi Suhandang (2004), Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia. Menarik bukan?

Ya, sebuah versi tentang asal muasal dunia jurnalistik yang menarik. Bagaimana tidak, seekor burung dijadikan pencari berita dan Nabi Nuh menyiarkannya. Nah, soal wartawan atau pewarta atau jurnalis memang memiliki posisi tersendiri dalam kehidupan. Saking eksklusifnya profesi ini, dia menjadi sesuatu yang mahal.

Mahal karena kerja jurnalis tidak hanya bisa dibayar dengan uang, nyawa pun kadang menjadi taruhan. Lihat dan bacalah tulisan wartawan yang berada di daerah konflik. Tidak itu saja, yang tidak berada di daerah konflik pun sering menjadi korban keganasan dunia. Wartawan yang menjadi korban premanisme bukan cerita baru lagi di Indonesia bukan? Yang terbaru dialami Irvan, wartawan TV One di Tanah Karo. Dia dikeroyok oleh 15 orang tak dikenal. Dia pun mengalami luka cukup parah.

Menurut pengakuan Irvan, dia sudah bekerja cukup profesional. Berimbang. Itulah sebab dia mengaku tidak punya musuh. Tapi, kenapa dikeroyok? Entahlah, yang jelas soal main hakim sendiri, premanisme, memang sudah sangat mengerikan di negeri ini. Pantang emosi, kontak fisik pun langsung terjadi.
Berkaca pada catatan, wartawan lain juga sempat mendapat hal yang tidak menyenangkan seperti Irvan. Dan, itu terjadi nyaris di semua provinsi yang ada di Indonesia. Berulang. Persis dengan kabar yang terus tercipta, pewarta juga tidak akan berhenti bekerja. Dia berganti. Udin telah dibungkam, tapi Udin lainnya terus bermunculan. Lucunya, ‘musuh Udin’ juga terus muncul; terus berganti. Premanisme terhadap wartawan memang tidak berhenti.

Kenapa? Bukankah para pewarta memiliki tugas mulia layaknya burung dara dan Nabi Nuh tadi? Bisa bayangkan jika Nabi Nuh tidak memerintahkan burung dara dan burung dara tidak mau diperintah Nabi Nuh, adakah penghuni kapal tahu kalau air bah sudah surut?

Ya, kabar yang diwartakan pewarta adalah sesuatu yang mulia. Jadi, ketika ada yang menghalangi kerja pewarta adalah tidak mulia. Itu saja. Bukankah begitu? (*)

Hatta, seekor burung dara diutus oleh Nabi Nuh untuk mencari kabar tentang air bah; sudah surut atau belum. Selain memperhatikan air, dia juga diberi tugas untuk memantau makanan.

Setelah mendapat perintah itu, sang burung pun terbang. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.

Atas dasar fakta tersebut, dikutip Kustadi Suhandang (2004), Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia. Menarik bukan?

Ya, sebuah versi tentang asal muasal dunia jurnalistik yang menarik. Bagaimana tidak, seekor burung dijadikan pencari berita dan Nabi Nuh menyiarkannya. Nah, soal wartawan atau pewarta atau jurnalis memang memiliki posisi tersendiri dalam kehidupan. Saking eksklusifnya profesi ini, dia menjadi sesuatu yang mahal.

Mahal karena kerja jurnalis tidak hanya bisa dibayar dengan uang, nyawa pun kadang menjadi taruhan. Lihat dan bacalah tulisan wartawan yang berada di daerah konflik. Tidak itu saja, yang tidak berada di daerah konflik pun sering menjadi korban keganasan dunia. Wartawan yang menjadi korban premanisme bukan cerita baru lagi di Indonesia bukan? Yang terbaru dialami Irvan, wartawan TV One di Tanah Karo. Dia dikeroyok oleh 15 orang tak dikenal. Dia pun mengalami luka cukup parah.

Menurut pengakuan Irvan, dia sudah bekerja cukup profesional. Berimbang. Itulah sebab dia mengaku tidak punya musuh. Tapi, kenapa dikeroyok? Entahlah, yang jelas soal main hakim sendiri, premanisme, memang sudah sangat mengerikan di negeri ini. Pantang emosi, kontak fisik pun langsung terjadi.
Berkaca pada catatan, wartawan lain juga sempat mendapat hal yang tidak menyenangkan seperti Irvan. Dan, itu terjadi nyaris di semua provinsi yang ada di Indonesia. Berulang. Persis dengan kabar yang terus tercipta, pewarta juga tidak akan berhenti bekerja. Dia berganti. Udin telah dibungkam, tapi Udin lainnya terus bermunculan. Lucunya, ‘musuh Udin’ juga terus muncul; terus berganti. Premanisme terhadap wartawan memang tidak berhenti.

Kenapa? Bukankah para pewarta memiliki tugas mulia layaknya burung dara dan Nabi Nuh tadi? Bisa bayangkan jika Nabi Nuh tidak memerintahkan burung dara dan burung dara tidak mau diperintah Nabi Nuh, adakah penghuni kapal tahu kalau air bah sudah surut?

Ya, kabar yang diwartakan pewarta adalah sesuatu yang mulia. Jadi, ketika ada yang menghalangi kerja pewarta adalah tidak mulia. Itu saja. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/