25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Plat Hitam

Minibus itu tak bisa dikontrol. Di tikungan yang sempit, dia harus menghindari sebuah truk. Dia menabrak gundukan tanah. Dia terbang, menabrak pembatas jalan dan lalu terjun mengarah air Danau Toba yang biru.

Tidak bisa dibilang beruntung, namun pohon-pohon telah menghambat lajunya, dia tidak mencapai air. Tapi, delapan dari dua belas manusia yang berada di dalamnya langsung tewas, sementara empat lainnya harus dirawat. Subuh, Kamis (28/6), sebuah catatan kelam terukir lagi. Di sana, di jalan berliku di kawasan Danau Toba.

Dari kasus itu patut saya mencatat ada beberapa hal penting. Pertama, kecelakaan akibat kondisi jalan yang tidak memadai. Kedua, hilangnya nyawa manusia. Ketiga, penggunaan plat hitam untuk kendaraan umum. Keempat, human error. Dan, kelima, Danau toba. Soal kondisi jalan yang tidak memadai juga terbagi beberapa bagian. Pertama, jalan sempit. Kedua, perbaikan jalan yang tak tuntas hingga mengakibatkan gundukan tanah. Dan ketiga, pembatas jalan. Tentang jalan sempit tampaknya tak perlu panjang dibahas. Sejak dulu kala, jalan berkelok yang menghubungkan Pematangsiantar dan Parapat itu memang seperti itu. Sejarah mencatat tidak ada perkembangan jalan yang signifikan. Jalan (dari sisi lebar) tersebut seakan tak berubah sejak pertama kali dibuka oleh Belanda. Untuk memperlebar jalan hingga mempersedikit tikungan memang bukan kerja gampang mengingat medan yang berbukit tersebut. Maka, jalan yang sempit tidak bisa disalahkan.  Lalu, tentang gundukan tanah. Nah, ini yang patut diperhatikan. Bagaimana tidak, kok bisa Dinas Pekerjaan Umum pemerintah daerah setempat membiarkan ada gundukan tanah di jalan yang sempit itu? Apalagi gundukan itu akibat pekerjaan mereka dalam usaha membenahi jalan. Nah, mengapa tidak dibersihkan? Apakah tidak terpikir kalau gundukan tanah itu bisa menyulitkan pengguna jalan?

Kalau soal pembatas jalan, tampaknya persis dengan jalan yang sempit tadi. Ya, keduanya cenderung pasif. Masalah jalan sempit dan pembatas jalan yang tak kuat menahan laju minibus, tentunya soal lain. Mungkin bisa disalahkan, ya, kenapa pembatas jalan itu tidak kuat, apakah bahannya tidak tepat? Jika dilihat dari foto, pembatas jalan itu terbuat dari beton. Hm, sayang, dia tidak begitu tinggi. Tapi, seandainya dia tinggi, minibus tentunya bisa menembusnya bukan? Apalah arti sebuah tembok dibanding laju minibus yang tak terkontrol akibat gundukan tanah?

Bagian kedua yang saya catat adalah soal kehilangan nyawa. Pada kecelakaan tersebut yang tewas bisa dikatakan cukup banyak. Kmatian delapan orang itu pun cukup tragis. Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika mengalami benturan pertama. Lalu, ketika mereka sadar kalau minibus yang mereka tumpangi terjun ke jurang di Kawasan Danau Toba. Dan, seperti apa korban selamat melihat keluarga mereka terhimpit minibus yang telah menjadi bangkai di subuh yang gelap dan udara dingin yang menyergap. Saya tak sanggup mencatat lebih banyak soal itu. Maaf.

Bagian ketika yang saya catat adalah plat hitam. Setahu saya, yang namanya angkutan umum, haruslah plat kuning. Nah, minibus milik Taksi Kita Bersama yang naas itu jelas-jelas berplat hitam? Tentu pertanyaannya adalah, kok bisa? Jawabnya, ya, bisa saja. Bukan rahasia lagi kalau banyak ‘taksi gelap’ dan itu sudah sangat sering dilihat berseliweran di jalan-jalan. Bahkan, mereka bebas mengangut penumpang layaknya mobil berplat kuning. Menariknya, mereka tetap aman tanpa diberangus. Ada apa? Pasti ada apa-apanya kan? Hal-hal ini seakan memaklumi sesuatu yang berhubungan dengan humam error – bagian penting lainnya yang saya catat juga. Maksudnya, ketika sebuah peraturan saja bisa dilanggar, maka sebuah kesalahan manusi kan bisa dimaafkan. Maka, sopir yang ngantuk menjadi kambing hitam. Saya sepakat jika sopir yang ikut tewas itu, mungkin tidak dalam kondisi prima, tapi bukankah itu memang pekerjaannya. Ya, melihat rute Taksi Kita Bersama, bukankah jalan itu sudah biasa dia lalui. Tentunya dia tahu di mana titik-titik rawan. Dan, tentunya ketika mendekat ke titik rawan dia akan lebih awas. Intinya, apakah dia ingin tewas?

Lalu, kenapa saya harus mencatatkan begian penting lainnya: Danau Toba? Bayangkan kecelakaan itu terjadi di pedalaman Dairi atau Pakpak Bharat, adakah akan seheboh ini? Bisa saja heboh karena ini menyangkut nyawa, tapi coba perhatikan kalimat ini: Ternyata jalan menuju ke Danau Toba tidak aman, padahal Danau Toba kan tujuan wisata yang terkenal. Hm, bagaimana, sudah melihat perbedaannya? (*)

Minibus itu tak bisa dikontrol. Di tikungan yang sempit, dia harus menghindari sebuah truk. Dia menabrak gundukan tanah. Dia terbang, menabrak pembatas jalan dan lalu terjun mengarah air Danau Toba yang biru.

Tidak bisa dibilang beruntung, namun pohon-pohon telah menghambat lajunya, dia tidak mencapai air. Tapi, delapan dari dua belas manusia yang berada di dalamnya langsung tewas, sementara empat lainnya harus dirawat. Subuh, Kamis (28/6), sebuah catatan kelam terukir lagi. Di sana, di jalan berliku di kawasan Danau Toba.

Dari kasus itu patut saya mencatat ada beberapa hal penting. Pertama, kecelakaan akibat kondisi jalan yang tidak memadai. Kedua, hilangnya nyawa manusia. Ketiga, penggunaan plat hitam untuk kendaraan umum. Keempat, human error. Dan, kelima, Danau toba. Soal kondisi jalan yang tidak memadai juga terbagi beberapa bagian. Pertama, jalan sempit. Kedua, perbaikan jalan yang tak tuntas hingga mengakibatkan gundukan tanah. Dan ketiga, pembatas jalan. Tentang jalan sempit tampaknya tak perlu panjang dibahas. Sejak dulu kala, jalan berkelok yang menghubungkan Pematangsiantar dan Parapat itu memang seperti itu. Sejarah mencatat tidak ada perkembangan jalan yang signifikan. Jalan (dari sisi lebar) tersebut seakan tak berubah sejak pertama kali dibuka oleh Belanda. Untuk memperlebar jalan hingga mempersedikit tikungan memang bukan kerja gampang mengingat medan yang berbukit tersebut. Maka, jalan yang sempit tidak bisa disalahkan.  Lalu, tentang gundukan tanah. Nah, ini yang patut diperhatikan. Bagaimana tidak, kok bisa Dinas Pekerjaan Umum pemerintah daerah setempat membiarkan ada gundukan tanah di jalan yang sempit itu? Apalagi gundukan itu akibat pekerjaan mereka dalam usaha membenahi jalan. Nah, mengapa tidak dibersihkan? Apakah tidak terpikir kalau gundukan tanah itu bisa menyulitkan pengguna jalan?

Kalau soal pembatas jalan, tampaknya persis dengan jalan yang sempit tadi. Ya, keduanya cenderung pasif. Masalah jalan sempit dan pembatas jalan yang tak kuat menahan laju minibus, tentunya soal lain. Mungkin bisa disalahkan, ya, kenapa pembatas jalan itu tidak kuat, apakah bahannya tidak tepat? Jika dilihat dari foto, pembatas jalan itu terbuat dari beton. Hm, sayang, dia tidak begitu tinggi. Tapi, seandainya dia tinggi, minibus tentunya bisa menembusnya bukan? Apalah arti sebuah tembok dibanding laju minibus yang tak terkontrol akibat gundukan tanah?

Bagian kedua yang saya catat adalah soal kehilangan nyawa. Pada kecelakaan tersebut yang tewas bisa dikatakan cukup banyak. Kmatian delapan orang itu pun cukup tragis. Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika mengalami benturan pertama. Lalu, ketika mereka sadar kalau minibus yang mereka tumpangi terjun ke jurang di Kawasan Danau Toba. Dan, seperti apa korban selamat melihat keluarga mereka terhimpit minibus yang telah menjadi bangkai di subuh yang gelap dan udara dingin yang menyergap. Saya tak sanggup mencatat lebih banyak soal itu. Maaf.

Bagian ketika yang saya catat adalah plat hitam. Setahu saya, yang namanya angkutan umum, haruslah plat kuning. Nah, minibus milik Taksi Kita Bersama yang naas itu jelas-jelas berplat hitam? Tentu pertanyaannya adalah, kok bisa? Jawabnya, ya, bisa saja. Bukan rahasia lagi kalau banyak ‘taksi gelap’ dan itu sudah sangat sering dilihat berseliweran di jalan-jalan. Bahkan, mereka bebas mengangut penumpang layaknya mobil berplat kuning. Menariknya, mereka tetap aman tanpa diberangus. Ada apa? Pasti ada apa-apanya kan? Hal-hal ini seakan memaklumi sesuatu yang berhubungan dengan humam error – bagian penting lainnya yang saya catat juga. Maksudnya, ketika sebuah peraturan saja bisa dilanggar, maka sebuah kesalahan manusi kan bisa dimaafkan. Maka, sopir yang ngantuk menjadi kambing hitam. Saya sepakat jika sopir yang ikut tewas itu, mungkin tidak dalam kondisi prima, tapi bukankah itu memang pekerjaannya. Ya, melihat rute Taksi Kita Bersama, bukankah jalan itu sudah biasa dia lalui. Tentunya dia tahu di mana titik-titik rawan. Dan, tentunya ketika mendekat ke titik rawan dia akan lebih awas. Intinya, apakah dia ingin tewas?

Lalu, kenapa saya harus mencatatkan begian penting lainnya: Danau Toba? Bayangkan kecelakaan itu terjadi di pedalaman Dairi atau Pakpak Bharat, adakah akan seheboh ini? Bisa saja heboh karena ini menyangkut nyawa, tapi coba perhatikan kalimat ini: Ternyata jalan menuju ke Danau Toba tidak aman, padahal Danau Toba kan tujuan wisata yang terkenal. Hm, bagaimana, sudah melihat perbedaannya? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/