26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Cuan PCR Tembus Rp23 Triliun, Dinilai Sarat Kepentingan Bisnis

SUMUTPOS.CO – Pemerintah mengeluarkan aturan wajib tes PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat. Kebijakan tersebut dinilai kental bermuat bisnis. Apalagi, saat ini menjamur penyedia layanan tes PCR di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis, tergantung pada kecepatan hasil tes.

TES PCR: Petugas medis mengambil sampel untuk tes PCR terhadap seorang wanita. Saat ini, tes PCR menjadi syarat wajib bagi calon penumpang pesawat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menilai, penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah memandang, ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta.

“Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000. Bahkan, 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp275.000 – Rp300.000,” kata Wana dalam keterangannya, Minggu (31/10).

Perlu diingat, ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900.000/test yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. Meskipun sebulan setelahnya, turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir ini pada Rabu (27/10) lalu, terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.

“Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi,” tegas Wana.

Dia mengungkapkan, dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih.

“Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga,” papar Wana.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar, Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. “Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat,” pungkas Wana.

Terpisah, Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta menyebut, kebijakan wajib PCR bagi pelaku perjalanan udara cukup aneh dan terlalu jelas motifnya. “Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar,” kata Sukamta.

“Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Dalam keterangan resminya ini, Anggota Badan Anggaran DPR RI itu kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. Dari perhitungan yang dibuat, Sukamta menilai bisnis tes PCR itu memang menggiurkan. “Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu-200 ribu kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp300 ribu saja, potensinya mencapai Rp800 milliar sampai Rp1,6 triliun per bulan. Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu,” ujarnya.

Sukamta kemudian membeberkan data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini. Pertama yang diuntungkan menurutnya, negara eksportir. Dia lantas mengacu pada data BPS impor reagent untuk tes PCR. Pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun. Tiongkok dan Korea, dalam keterangan Sukamta, disebut menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dollar, disusul AS sebesar USD 45 juta dollar, Jerman USD 33 juta dollar.

Pihak lain yang diuntungkan, kata Sukamta, yakni perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta—menurutnya—entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.

Oleh karena itulah, anggota Komisi I DPR ini menilai kebijakan mewajibkan PCR karena motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan. “Persyaratan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh dan di duga motif ekonomi lebih kuat dibandingkan alasan kesehatan,” ujarnya.

Sukamta lalu membeberkan kejanggalan di balik kebijakan ini. Pertama, kondisi di Indonesia status Covid telah menjadi pandemi. Kasusnya menyebar merata di semua wilayah. “Test PCR juga bukan jaminan bahwa penumpang benar-benar terbebas dari virus Covid-19. Maka mewajibkan PCR dengan kondisi persebaran massif tidak akan berdampak signifikan,” ujarnya.

Kejanggalan lain, menurut Sukamta, syarat PCR dibarengi dengan syarat sudah vaksinasi. Kebijakan dinilai kontraproduktif dengan kebijakan vaksinasi. “Syarat PCR tes membuat rakyat berpikir ulang ikut vaksinasi yang harus susah payah, panas-panasan, antrian panjang. Namun setelah vaksin tetap saja harus PCR untuk melakukan perjalanan dan kegiatan secara normal. Setelah edaran ini dijalankan rakyat menjadi malas untuk ikut vaksinasi,” ujarnya.

“Vaksin telah terbukti membuat resiko kematian lebih rendah bagi orang yang terpapar Covid-19 namun vaksinasi masih jauh dari target. Seharusnya pemerintah lebih gencar mendorong pencapaian target vaksinasi bukan membuat kegaduhan,” ujar Sukamta. (jpc/dtc)

SUMUTPOS.CO – Pemerintah mengeluarkan aturan wajib tes PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat. Kebijakan tersebut dinilai kental bermuat bisnis. Apalagi, saat ini menjamur penyedia layanan tes PCR di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis, tergantung pada kecepatan hasil tes.

TES PCR: Petugas medis mengambil sampel untuk tes PCR terhadap seorang wanita. Saat ini, tes PCR menjadi syarat wajib bagi calon penumpang pesawat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menilai, penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah memandang, ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta.

“Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000. Bahkan, 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp275.000 – Rp300.000,” kata Wana dalam keterangannya, Minggu (31/10).

Perlu diingat, ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900.000/test yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. Meskipun sebulan setelahnya, turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir ini pada Rabu (27/10) lalu, terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.

“Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi,” tegas Wana.

Dia mengungkapkan, dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih.

“Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga,” papar Wana.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar, Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. “Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat,” pungkas Wana.

Terpisah, Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta menyebut, kebijakan wajib PCR bagi pelaku perjalanan udara cukup aneh dan terlalu jelas motifnya. “Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar,” kata Sukamta.

“Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Dalam keterangan resminya ini, Anggota Badan Anggaran DPR RI itu kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. Dari perhitungan yang dibuat, Sukamta menilai bisnis tes PCR itu memang menggiurkan. “Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu-200 ribu kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp300 ribu saja, potensinya mencapai Rp800 milliar sampai Rp1,6 triliun per bulan. Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu,” ujarnya.

Sukamta kemudian membeberkan data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini. Pertama yang diuntungkan menurutnya, negara eksportir. Dia lantas mengacu pada data BPS impor reagent untuk tes PCR. Pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun. Tiongkok dan Korea, dalam keterangan Sukamta, disebut menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dollar, disusul AS sebesar USD 45 juta dollar, Jerman USD 33 juta dollar.

Pihak lain yang diuntungkan, kata Sukamta, yakni perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta—menurutnya—entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.

Oleh karena itulah, anggota Komisi I DPR ini menilai kebijakan mewajibkan PCR karena motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan. “Persyaratan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh dan di duga motif ekonomi lebih kuat dibandingkan alasan kesehatan,” ujarnya.

Sukamta lalu membeberkan kejanggalan di balik kebijakan ini. Pertama, kondisi di Indonesia status Covid telah menjadi pandemi. Kasusnya menyebar merata di semua wilayah. “Test PCR juga bukan jaminan bahwa penumpang benar-benar terbebas dari virus Covid-19. Maka mewajibkan PCR dengan kondisi persebaran massif tidak akan berdampak signifikan,” ujarnya.

Kejanggalan lain, menurut Sukamta, syarat PCR dibarengi dengan syarat sudah vaksinasi. Kebijakan dinilai kontraproduktif dengan kebijakan vaksinasi. “Syarat PCR tes membuat rakyat berpikir ulang ikut vaksinasi yang harus susah payah, panas-panasan, antrian panjang. Namun setelah vaksin tetap saja harus PCR untuk melakukan perjalanan dan kegiatan secara normal. Setelah edaran ini dijalankan rakyat menjadi malas untuk ikut vaksinasi,” ujarnya.

“Vaksin telah terbukti membuat resiko kematian lebih rendah bagi orang yang terpapar Covid-19 namun vaksinasi masih jauh dari target. Seharusnya pemerintah lebih gencar mendorong pencapaian target vaksinasi bukan membuat kegaduhan,” ujar Sukamta. (jpc/dtc)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/