MEDAN, SUMUTPOS.CO – Andaliman, kini menjadi usaha yang menjanjikan dalam bidang kuliner. Bumbu khas tanah Batak dari tanaman buah bermarga zanthoxylum atau jeruk-jerukan itu, sudah memiliki pasar tersendiri. Baik pasar domestyk maupun internasional.
Andaliman juga yang mengantar Koad Chamdi menjadi pelaku UMKM profesional dan mandiri. Sukses menjadi pengusaha kuliner suksesn
“Saat sudah 9 tahun terakhir menggeluti bisnis kuliner. Namun baru dua tahun terakhir fokus dengan produk kuliner ‘Sambal Andaliman’. Kini ‘Sambal Andaliman’sudah dipasok ke seantero nusantara hingga ekspor ke Taiwan,” katanya saat menjadi pembicara pada Fokus Grup Discussion (FGD) Hubungan Kelembagaan ‘Penyebarluasan Informasi Manfaat Kerjasama Pengembangan Ekspor Bagi Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha Di Provinsi Sumatera Utara’, di Hotel Le Polonia, Medan, Selasa (30/4).
Andaliman yang memiliki aroma menyerupai citrus yang kuat, biasa dijual dalam bentuk utuh maupun bubuk, bisa disesuaikan dengan kebutuhan. “Sambal banyak di Indonesia dan banyak ragamnya, terutama dari Jawa. Namun Sambal Andaliman memiliki cita rasa yang sangat berbeda dengan sambal-sambal mereka,” sebut Koad.
Ide mengembangkan andaliman sebagai salah satu bahan bisnis kuliner, diperoleh Koad saat dirinya berkeliling Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Tanaman Andaliman menarik minatnya, setelah mencicipi bumbu khas Tanah Batak ini pada salah satu perjalanannya ke daerah Tobasa.
“Ada citarasa yang unik pada sambal yang menggunakan Andaliman sebagai salah satu bahan pembuatannya. Di Tobasa, pembuatannya sangat sederhana. Bumbu itu akhirnya saya pelajari, kemudian saya kembangkan,” sebutnya.
Dua tahun menekuni pembuatan Sambal Andaliman, Koad mengaku menerima permintaan dari berbagai daerah di Indonesia, mulai Sumatera hingga ke Papua. Bahkan belakangan, permintaan juga datang dari Taiwan, yakni dari warga Indonesia yang bekerja di sana. “Andaliman ini adalah bisnis yang sangat menjanjikan,” ungkapnya.
Saat ini yang menjadi kendala baginya mengembangkan pasar ke luar negeri adalah aturan yang sangat ketat. Salahsatunya adalah sertifikat organik, agar sambal miliknya bisa lolos aturan ekspor di luar negeri.
“Jujur saja ini berat. Karena pengurusan sertifikat organik saya belum sanggup. Untuk 1 jenis tanaman saja biayanya hampir Rp 100 juta. Kalau sambal saya komponennya 9 macam, semua harus dilengkapi sertifikat organik,” cetusnya.
Jika menggunaan 9 komponen, maka biaya yang harus dikeluarkan Koad untuk sambalnya agar lolos sertifikat organik, mencapai Rp 900 juta. Kondisi ini membuat Koad mengurungkan niat untuk ekspor Sambal Andaliman ke luar negeri. Sementara ini, ia mengalihkan fokusnya untuk pasar di dalam negeri saja.
“Toh permintaan Sambal Andaliman di dalam negeri juga sangat tinggi. Tinggal berinovasi untuk membuat produknya lebih menarik, seperti peningkatan kualitas kemasan,” katanya.
Ia menyebut, kekalahan UMKM di Sumatera Utara bukan dari kualitas produk, melainkan dari kemasan.
“Di Jawa itu ada rumah kemasan. Pelaku UKM tinggal bawa produknya ke sana, pihak rumah kemasan yang memikirkan kemasannya. Kalau cocok, dibayar. Begitulah mereka berinovasi,” pungkasnya.
Lewat FGD yang difasilitasi oleh pihak Kementerian Perdagangan RI tersebut, Koad berharap seluruh pelaku UMKM mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan informatif, yang dapat digunakan untuk mengembangkan bisnis UKM di Sumatera Utara. (gus)