30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Pantai Timur dan Sumteng Dinilai Paling Maju

Prof Dr HM Arif Nasution-Ahmad Taufan Damanik-HM Affan SS
Prof Dr HM Arif Nasution-Ahmad Taufan Damanik-HM Affan SS

SUMUTPOS.CO – Bakal terbelahnya Sumatera Utara (Sumut) menjadi lima provinsi dianggap wajar. Namun demikian, diperkirakan bakal ada provinsi baru yang kesulitan membiayai wilayahnya karena sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang kurang mumpuni.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU), Prof DR HM Arif Nasution MA menyatakan, pemekaran wilayah bukanlah hal yang baru di Indonesia, dengan alasan pemekaran digunakan sebagai bagian untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

“Saya melihat bila provinsi Sumut menjadi lima, maka yang maju ada di Provinsi Pantai Timur Sumatera dan Sumatera Tenggara (Sumteng). Dua wilayah itu memiliki SDA dan SDM yang cukup baik,” katanya, Selasa (3/6).

Dia menyebutkan, kedua provinsi ini nantinya paling cepat dan membiayai dirinya secara maksimal. Selain SDA dan SDM yang dimiliki, secara strategis kedua wilayah tersebut juga sangat mudah dijangkau dari wilayah lainnya.

Sedangkan dua provinsi lainnya seperti Tapanuli dan Nias, Arif menyatakan, ada persoalan besar yang secepatnya perlu dituntaskan, yakni masalah SDM. Secara kasat mata, Nias cenderung tertutup dari suku lainnya. Begitu juga, pengusaha dari luar Nias cenderung kurang bersedia masuk ke Nias. Sementara itu, Provinsi Tapanuli cenderung memiliki SDM yang banyak dan tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Hanya saja, dari ketersediaan SDA di wilayah tersebut sepertinya SDM-nya perlu kerja lebih keras dalam membangun kawasan tersebut.

“Seharusnya setiap provinsi yang nantinya terbentuk wajib memberikan program pendidikan untuk rakyat dan kebijakan anggaran serta pembangunan wajib pro rakyat,” ucapnya.

Terpisah, Ahmad Taufan Damanik menyatakan, dari tiga tujuan utama pemekaran seperti desentralisasi fiskal, perpendek jarak layanan publik dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan wilayah.

Dosen Fisipol USU itu menyebutkan, dari tiga poin di puluhan wilayah yang dimekarkan sudah dinilai United Nations Development Programme (UNDP) badan PBB tentang program pembangunan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sejumlah kampus. Hasilnya sudah disampaikan ke publik.

“Saya sudah membaca hasil pemekaran dari sejumlah lembaga, negatif. Seharusnya inilah yang dipikirkan pemerintah untuk masalah pemekaran. Ketika Kemendagri melakukan moratorium pada 2010, 2011 dan presiden juga melakukan moratorium pada 2012, tapi anehnya pada 2013 DPR RI menyetujui lagi. Saat ini saya melihat ada ketidakjelasan dalam kebijakan melakukan pemekaran wilayah,” katanya.

Ketika disinggung apa sebenarnya tujuan pemekaran, dia menyebutkan, pemekaran yang ada saat ini hanya dilatarbelakangi kepentingan politik segelintir kelompok demi mendapatkan kedudukan. Buktinya, pada 2004 nilai APBN sebesar Rp350 triliun, kini beban APBN pada 2014 mencapai Rp1.800 triliun. Hal ini dikarenakan adanya beban biaya untuk mendanai wilayah pemekaran seperti operasional gedung pemerintahan dan gaji pegawai.

“Inilah yang seharusnya dipikirkan, jangan sampai kepentingan politik saja yang dituruti sedangkan wilayah pemekaran tak kunjung mampu membiayai wilayahnya sendiri,” sebutnya.

Lebih lanjut, Taufan menyatakan, pemekaran di Sumut cenderung dikarenakan kelompok etnisitas. Seperti di lihat sendiri Nias, Tapanuli dan Sumteng. Sangat kental urusannya dengan etnisitas. “Jika ini terbentuk dikhawatirkan konflik yang meningkat di setiap wilayah pemekaran,” ujarnya.

Dia juga menambahkan, ada persoalan lainnya dalam hal pemekaran yakni hasil studi kelayakan pembentukan provinsi ini cenderung diakal-akali, baik oleh tim pemekaran hingga perguruan tinggi. Bahkan, paparnya seperti Nias, dari sisi SDM dan SDA cenderung belum memiliki kelayakan, tapi oleh tim-nya dilakukan pemaksaan dan cenderung rekayasa, akhirnya disetujui. Begitu juga di Provinsi Tapanuli, dari sisi SDA apa yang bisa diandalkan.

“Bila dibandingkan dengan Sumteng, maka Provinsi Tapanuli masih tertinggal jauh dari sisi fasilitas, ketersediaan SDA-nya. Jadi saya pikir pemekaran hanya ego politik kelompok tertentu saja,” katanya.

Hal lainnya, tambahnya ada persoalan yang bertambah unik di negeri ini, moratorium tidak jelas siapa yang bisa menentukannya. Karena lihat saja Kepeluan Riau malah diputuskan Mahkamah Agung (MA) yang membuat terbentuknya wilayah tersebut, kemudian Provinsi Tapanuli malah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menentukannya. Padahal, sesuai aturannya DPR dan Kemendagri yang bisa menentukan pemekaran tersebut.

“Saya hanya ingatkan, lihatlan pada PP 129/2000 yang digantikan PP No 78/2007 Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Di dalam pasalnya tidak ada satupun tentang penyatuan wilayah. Maka bagi daerah yang tidak mampu membiayainya, maka tidak bisa disatukan. Dampaknya adalah masyarakatnya bisa miskin jika daerahnya tak mampu membiayai sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Muhammad Affan mengatkan sejak awal pihaknya tidak mempersoalkan adanya pemekaran, bahkan mendorong untuk dilakukan selama tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Bagaimana kesiapan untuk pembentukannya kemudian dapat dikaji lebih jauh agar benar-benar siap terutama bagaimana mengelola potensi yang ada.

“Kita dari awal tidak ada masalah, bahkan mendorong untuk kesejahteraan masyarakat. Intinya kan bagaimana seluruh daerah yang ada itu bersinergis,” sebutnya.

Dirinya juga meyakini kelayakan pembentukan provinsi Aslab dari segi jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, letak geografis serta luas wilayah. Namun kesemuanya dikembalikan lagi kepada masing-masing kepala daerah yang masuk wilayah rencana pembentukan provinsi Aslab itu. Menurutnya hal tersebut sangat mempengaruhi bagaimana kedepan provinsi baru bisa mandiri dan berkembang setelah terpisah dari provinsi induknya yakni Sumut.

“Provinsi Aslab (wacana) ini sangat berpotensi. Jadi tidak ada masalah sebenarnya untuk pemekaran, kawan-kawan kan sedang mengkaji hal itu. Apalai jika seluruh (kepala) daerah itu kompak dan satu suara menginginkan pemekaran. Sebab dari lokasinya saja (seperti Labuhan Batu Selatan) merupakan pintu masuk dari provinsi lain (luar Sumut). Yang penting adalah sasarannya kesejahteraan rakyat, pelayanan serta fasilitas publik,” tandasnya. (ril/bal)

Prof Dr HM Arif Nasution-Ahmad Taufan Damanik-HM Affan SS
Prof Dr HM Arif Nasution-Ahmad Taufan Damanik-HM Affan SS

SUMUTPOS.CO – Bakal terbelahnya Sumatera Utara (Sumut) menjadi lima provinsi dianggap wajar. Namun demikian, diperkirakan bakal ada provinsi baru yang kesulitan membiayai wilayahnya karena sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang kurang mumpuni.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU), Prof DR HM Arif Nasution MA menyatakan, pemekaran wilayah bukanlah hal yang baru di Indonesia, dengan alasan pemekaran digunakan sebagai bagian untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

“Saya melihat bila provinsi Sumut menjadi lima, maka yang maju ada di Provinsi Pantai Timur Sumatera dan Sumatera Tenggara (Sumteng). Dua wilayah itu memiliki SDA dan SDM yang cukup baik,” katanya, Selasa (3/6).

Dia menyebutkan, kedua provinsi ini nantinya paling cepat dan membiayai dirinya secara maksimal. Selain SDA dan SDM yang dimiliki, secara strategis kedua wilayah tersebut juga sangat mudah dijangkau dari wilayah lainnya.

Sedangkan dua provinsi lainnya seperti Tapanuli dan Nias, Arif menyatakan, ada persoalan besar yang secepatnya perlu dituntaskan, yakni masalah SDM. Secara kasat mata, Nias cenderung tertutup dari suku lainnya. Begitu juga, pengusaha dari luar Nias cenderung kurang bersedia masuk ke Nias. Sementara itu, Provinsi Tapanuli cenderung memiliki SDM yang banyak dan tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Hanya saja, dari ketersediaan SDA di wilayah tersebut sepertinya SDM-nya perlu kerja lebih keras dalam membangun kawasan tersebut.

“Seharusnya setiap provinsi yang nantinya terbentuk wajib memberikan program pendidikan untuk rakyat dan kebijakan anggaran serta pembangunan wajib pro rakyat,” ucapnya.

Terpisah, Ahmad Taufan Damanik menyatakan, dari tiga tujuan utama pemekaran seperti desentralisasi fiskal, perpendek jarak layanan publik dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan wilayah.

Dosen Fisipol USU itu menyebutkan, dari tiga poin di puluhan wilayah yang dimekarkan sudah dinilai United Nations Development Programme (UNDP) badan PBB tentang program pembangunan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sejumlah kampus. Hasilnya sudah disampaikan ke publik.

“Saya sudah membaca hasil pemekaran dari sejumlah lembaga, negatif. Seharusnya inilah yang dipikirkan pemerintah untuk masalah pemekaran. Ketika Kemendagri melakukan moratorium pada 2010, 2011 dan presiden juga melakukan moratorium pada 2012, tapi anehnya pada 2013 DPR RI menyetujui lagi. Saat ini saya melihat ada ketidakjelasan dalam kebijakan melakukan pemekaran wilayah,” katanya.

Ketika disinggung apa sebenarnya tujuan pemekaran, dia menyebutkan, pemekaran yang ada saat ini hanya dilatarbelakangi kepentingan politik segelintir kelompok demi mendapatkan kedudukan. Buktinya, pada 2004 nilai APBN sebesar Rp350 triliun, kini beban APBN pada 2014 mencapai Rp1.800 triliun. Hal ini dikarenakan adanya beban biaya untuk mendanai wilayah pemekaran seperti operasional gedung pemerintahan dan gaji pegawai.

“Inilah yang seharusnya dipikirkan, jangan sampai kepentingan politik saja yang dituruti sedangkan wilayah pemekaran tak kunjung mampu membiayai wilayahnya sendiri,” sebutnya.

Lebih lanjut, Taufan menyatakan, pemekaran di Sumut cenderung dikarenakan kelompok etnisitas. Seperti di lihat sendiri Nias, Tapanuli dan Sumteng. Sangat kental urusannya dengan etnisitas. “Jika ini terbentuk dikhawatirkan konflik yang meningkat di setiap wilayah pemekaran,” ujarnya.

Dia juga menambahkan, ada persoalan lainnya dalam hal pemekaran yakni hasil studi kelayakan pembentukan provinsi ini cenderung diakal-akali, baik oleh tim pemekaran hingga perguruan tinggi. Bahkan, paparnya seperti Nias, dari sisi SDM dan SDA cenderung belum memiliki kelayakan, tapi oleh tim-nya dilakukan pemaksaan dan cenderung rekayasa, akhirnya disetujui. Begitu juga di Provinsi Tapanuli, dari sisi SDA apa yang bisa diandalkan.

“Bila dibandingkan dengan Sumteng, maka Provinsi Tapanuli masih tertinggal jauh dari sisi fasilitas, ketersediaan SDA-nya. Jadi saya pikir pemekaran hanya ego politik kelompok tertentu saja,” katanya.

Hal lainnya, tambahnya ada persoalan yang bertambah unik di negeri ini, moratorium tidak jelas siapa yang bisa menentukannya. Karena lihat saja Kepeluan Riau malah diputuskan Mahkamah Agung (MA) yang membuat terbentuknya wilayah tersebut, kemudian Provinsi Tapanuli malah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menentukannya. Padahal, sesuai aturannya DPR dan Kemendagri yang bisa menentukan pemekaran tersebut.

“Saya hanya ingatkan, lihatlan pada PP 129/2000 yang digantikan PP No 78/2007 Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Di dalam pasalnya tidak ada satupun tentang penyatuan wilayah. Maka bagi daerah yang tidak mampu membiayainya, maka tidak bisa disatukan. Dampaknya adalah masyarakatnya bisa miskin jika daerahnya tak mampu membiayai sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Muhammad Affan mengatkan sejak awal pihaknya tidak mempersoalkan adanya pemekaran, bahkan mendorong untuk dilakukan selama tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Bagaimana kesiapan untuk pembentukannya kemudian dapat dikaji lebih jauh agar benar-benar siap terutama bagaimana mengelola potensi yang ada.

“Kita dari awal tidak ada masalah, bahkan mendorong untuk kesejahteraan masyarakat. Intinya kan bagaimana seluruh daerah yang ada itu bersinergis,” sebutnya.

Dirinya juga meyakini kelayakan pembentukan provinsi Aslab dari segi jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, letak geografis serta luas wilayah. Namun kesemuanya dikembalikan lagi kepada masing-masing kepala daerah yang masuk wilayah rencana pembentukan provinsi Aslab itu. Menurutnya hal tersebut sangat mempengaruhi bagaimana kedepan provinsi baru bisa mandiri dan berkembang setelah terpisah dari provinsi induknya yakni Sumut.

“Provinsi Aslab (wacana) ini sangat berpotensi. Jadi tidak ada masalah sebenarnya untuk pemekaran, kawan-kawan kan sedang mengkaji hal itu. Apalai jika seluruh (kepala) daerah itu kompak dan satu suara menginginkan pemekaran. Sebab dari lokasinya saja (seperti Labuhan Batu Selatan) merupakan pintu masuk dari provinsi lain (luar Sumut). Yang penting adalah sasarannya kesejahteraan rakyat, pelayanan serta fasilitas publik,” tandasnya. (ril/bal)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/