SUMUTPOS.CO – Sebanyak 67 persen masyarakat Kabupaten Dairi, merupakan penerima bantuan pemerintah, baik dari pusat, provinsi, maupun kabupaten. Adapun bantuan pemerintah yang diterima, yakni bantuan pada bidang kesehatan, pendidikan, dan pangan.
Ratusan warga Desa Riaria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbanghasundutan (Humbahas), menuntut Pemkab dan DPRD Humbahas mengembalikan tanah adat mereka, sesuai SK Nomor: 138/KPTS/1979, tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Siriaria atas Areal Sigende, Parandaliman, Parhutaan, Adian Padang, dan Sipiuan. Tuntutan ini, disampaikan melalui aksi unjuk rasa di Kantor Bupati dan DPRD Humbahas, secara terpisah, Selasa (6/2).
Dari amatan wartawan, aksi yang mendapat penjagaan ketat dari pihak kepolisian tersebut, dimulai pada pukul 10.15 WIB di depan Kantor Bupati Humbahas. Adapun warga yang mengikuti aksi ini, terdiri dari lansia, serta para pemuda yang datang membawa belasan poster berukuran kecil.
Sebagian poster bertuliskan, ‘Kembalikan tanah adat kami berdasarkan SK No: 138/ KPTS/ 1979’, ‘Hentikan segala aktivitas di wilayah adat kami yang sedang bermasalah’. Ada juga ‘KLHK segera melepaskan wilayah kami dari kawasan perhutanan negara’, ‘Meminta yang berwenang untuk segera memproses pengaduan kami terkait pengrusakan di Sigende pada 2022 dan penebangan pohon’.
Kordinator aksi, Tua Siregar, dalam orasinya menyampaikan, ratusan hektare lahan di Desa Riaria sejatinya merupakan milik warga setempat, berdasarkan warisan dari leluhur mereka. Hal itu juga dikuatkan melalui SK Nomor: 138/KPTS/1979, tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Siriaria Atas Areal Sigende, Parandaliman, Parhutaan, Adian Padang, dan Sipiuan.
Namun belakangan ini, lanjut Tua, pemerintah merampas kembali sebagian lahan tersebut, dan dinyatakan sebagai lokasi proyek pengembangan lahan food estate.
“Padahal kami berjuang selama sembilan tahun dari program reboisasi 1971. Pada 1979, tanah itu telah dikembalikan kepada kami. Kenapa sekarang pemerintah malah mengklaim itu tanah negara?” ungkap Tua.
Menurut Tua, kehadiran program food estate adalah menjadi titik awal pengetahuan masyarakat, wilayah tanah adat mereka sudah kembali dirampas negara, untuk dijadikan kawasan hutan. Sebagian wilayah masuk ke areal food estate, sementara sebagian lagi malah masuk menjadi wilayah administratif Desa Parsingguran 1.
“Sejak saat itu, berbagai konflik terkait tanah adat kembali muncul, dan mengganggu ketenteraman di wilayah adat kami,” tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebelumnya lembaga adat Riaria sudah melakukan berbagai upaya agar pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan upaya menyurati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Dinas Kehutanan Sumut, dan Bupati Humbahas. Namun, Tua menilai, pemerintah sepertinya tidak ada melakukan upaya dalam usaha menyelesaikan konflik tanah adat tersebut.
Sementara itu, Asisten 1 Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Humbahas, Jaulim Simanullang, yang menerima aksi massa itu, menyampaikan, Pemkab Humbahas akan menyurati dengan mengundang masyarakat untuk duduk bersama demi mencari solusi dari permasalahan tersebut. “Kami akan menyurati mereka (masyarakat Desa Riaria), akan kami undang nantinya, agar duduk bersama untuk mencari solusi dari permasalahan ini,” jelasnya.
Di sisi lain, Ketua DPRD Humbahas Ramses Lumbangaol, didampingi Wakil Ketua Marolop Manik, dan anggota Poltak Purba, menjelaskan, sekaitan tanah adat itu, pihaknya sudah mengetahui, tanah adat tersebut sudah diserahkan kepada masyarakat Desa Riaria pada 1979.
“Kami akan menindaklanjuti SKPT pengambilan kayu pinus tersebut, dari mana keluarnya, dan siapa yang mengeluarkan,” ujarnya.
Dia juga mengatakan, DPRD Humbahas segera memanggil bupati, dinas kehutanan, dan dinas terkait lainnya setelah Pemilu 2024.
“Tiga hari setelah Pemilu, kami akan mengadakan rapat untuk membahas permasalahan ini. Percayakan kepada kami sebagai DPRD Humbahas, untuk menyelesaikan masalah ini,” harap Ramses. (des/saz)