Pasangan suami istri, Dario (50) dan Mariana (48), tak bisa menutupi rasa senang. Wajah mereka sumringah. Bagaimana tidak, orangtua dari sebelas (11) itu sebentar lagi akan meninggalkan rumah mereka yang hanya berukuran 5×4 meter.
Sopian, Tebingtinggi
Ya, warga Tebingtinggi yang tinggal di Lingkungan III Jalan Gunung Sorek Merapi Kelurahan Mekar Sentosa Kecamatan Rambutan itu tahun ini mendapat bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) atau yang disebut Aladin (atap, lantai dan dinding) dari Pemerintah Kota Tebingtinggi melalui dana APBD tahun 2013.
“Sudah tiga tahun saya tinggal di sini, Pak. Yah memang kondisi rumah yang saya tempati sekarang sangat tidak memunginkan untuk ditinggali dengan ukuran 5×4 meter,” jelas Dario dengan polos sembari menunggu peletakan batu pertama oleh Wali Kota Tebingtinggi Ir Umar Zunaidi Hasibuan, Selasa (4/6).
Tiga anak Dario memang sudah menikah. Namun, untuk menghidupi anaknya yang lain, Dario bekerja menjadi tukang pacul di ladang petani. Sehari dia mendapat upah Rp45 ribu. “Pencarian satu hari hanya cukup untuk makan satu hari,” ujar Dario.
Sang istri, Mariana, bekerja sebagai buruh cuci di kampung dengan honor yang pas-pasan. “Kami berdua bekerja, hasilnya untuk pas makan anak-anak serta biaya sekolah anak,” cetus Dario.
Menurut Dario, rumah beratapkan seng, dinding tepas dan lantai tanah dengan ukuran 5×4 meter ini tidak ada ruangan kamar tidur dan belum juga ada jaringan listrik. Setiap malam listrik menyambung dari tetangga samping rumah hanya untuk penerangan lampu 10 watt dan televisi ukuran 14 inci. “Di kampung ini rumah kami yang paling tak layak. Sudah hampir tumbang. Kalau ada angin kencang, kemungkinan rumah ini akan ambruk,” papar Dario.
Dario menjelaskan, empat orang anaknya masih sekolah setingkat SMA, SMP dan SD. Biaya setiap hari untuk anak-anaknya harus dipersedikit. Caranya, tidak ada uang jajan dan pagi hari wajib sarapan nasi gar tak kelaparan di sekolah. “Anak-anak kita latih untuk hidup sederhana menyadari kondisi kehidupan orangtua,” cetusnya.
Cerita Dario sebelumnya mereka tinggal di Rantauparapat menjadi buruh tukang panen sawit. Tapi, karena tidak tahan dengan hidup di dalam kebun yang jauh dari perkotaan, mereka memutuskan untuk kembali ke Kota Tebingtinggi. Sekembalinya, sekitar tahun 2009 lalu, Dario bersama istri dan anaknya tinggal di tanah sengketa milik Perkebunan PTPN 3 Kebun Ramputan atas tanah penguripan di Desa Penguripan Kecamatan Tebingtinggi Kabupaten Sergai.
“Di sana kami memulai hidup kembali, saya bekerja sebagai tukang pacul dan buruh upah membuat batu bata untuk pesanan orang,” paparnya.
Masih kata Dario, waktu berjalan, pada saat perkebunan memenangkan perkara tersebut, para penduduk yang tinggal di tanah sengketa pindah. “Akhirnya kami tinggal di tanah ini. Tanah warisan orangtua. Ya, hanya rumah seperti inilah yang bisa kami bangun,” katanya.
Dario kemudian menjelaskan luas tanah warisan yang dia miliki. “Luasnya sekitar satu rante (20×20 meter). Tanah pemberian orangtua saya itu, dia sudah meninggal dan ini sudah menjadi hak milik kami. Kecamatan sudah mengeluarkan surat atas nama pemilik tanah yang menjadi syarat menerima bantuan Aladin,” cetusnya.
Rencananya bangunan baru bantuan RTLH dari Pemko Tebingtinggi ini dibangun dengan ukuran 6×5 meter. Rumah itu akan terdiri atas dua kamar tidur dan satu ruang dapur. Menurut Dario, rumah lamanya yang hanya 5×4 meter tidak akan dibongkar. “Sebagai kenang-kenangan hidup menjalani kesusahan selama tiga tahun tinggal di sini,” kata Dario.
Terkait anaknya sebanyak 11 orang, Dario mengaku hal itu adalah titipan Allah. Dia mengaku tidak takut tidak bisa memberi makan anak-anaknya. Dia berprinsip, selama rezeki itu halal, pasti akan datang dengan sendiirinya. “Banyak anak kan banyak rezeki Pak,” kata Dario.
Anaknya yang telah menikah adalah Muliadi (25), Erni (22) dan Lilis Suriani (20). Sementara delapan anaknya yang lain masih tinggal di rumah 5×4 meter bersama Dario dan istrinya. Delapan anaknya itu adalah Kasiadi (16) pelajar SMK, Suhendri (14) tidak sekolah karena tergolong orang yang berkebutuhan khusus, Pujiono (12), Mai Saroh (10), Julaida Fatmawati (8), Halimah (7), Bunga (4) dan Wildan si bungsu baru berumur 1 tahun. “Kalau ditanya nama asli anak saya, banyak yang tidak ingat. Ya, kalau memanggil dengan nama sebutan sehari-hari saja,” bebernya.
Bantuan yang diberikan Pemko Tebingtinggi cukup membantu. “Bantuan yang kami terima adalah batu bata sebanyak 5.500 buah, semen 35 sak, seng 3 kodi, kosen pintu dan jendela 6 buah serta tambahan biaya untuk ongkos tukang sebanyak Rp3 juta,” ungkap Mariana.Dia pun berharap pembangunan rumah itu akan selesai dalam waktu tiga pekan dan bisa ditempati sebelum datangnya bulan Ramadan.
Walikota Tebingtinggi Ir Umar Zunaidi Hasibuan mengatakan bahwa Pemko Tebingtinggi melalui Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Disnaker) telah menganggarkan dana yang ditampung di APBD tahun 2013 sebanyak 75 RTLH yang siap dibantu untuk pengentasan rumah tidak layak huni. “Ini sifatnya stimulan diharapkan para keluarga dan kerabat untuk lebih peduli membangun panguyuban dan kekompakan untuk membantu penerima RTLH itu sendiri,” jelasnya.
Sementara di Kota Tebingtinggi menurut data tahun 2011 telah tercatat sebanyak 8.292 rumah tidak layak huni, jadi pada tahun ini, Pemko Tebingtinggi akan meminta sekaligus mengajukan proposal ke Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk meminta bantuan sebanyak 1.000 rumah. “Saya akan ke Jakarta memintanya, kita doakan semua ini berhasil. Saya tulus ingin mengetaskan jumlah angka kemiskinan terutama masuk kedalam RTLH di Kota Tebingtinggi semangkin tahun semangkin berkurang,” ungkap Umar Zunaidi.
Anggota DPRD Kota Tebingtinggi, Ir Pahala Sitorus mengatakan tetap akan mendukung program Pemerintah Pemko Tebingtinggi yang mau peduli dengan kondisi masyarakat golongan kurang mampu. “Selama program Pemko Tebingtinggi peduli kondisi rakyat miskin, Saya selaku anggota DPRD seratus persen akan mendukungnya,”kata Pahala.
Tampak hadir Sekdako Johan Samose Harahap, SKPD, Muspida, Camat dan Lurah se Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi. (*)