31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Ancam Bunuh Belanda, bila Turunkan Bendera Indonesia

Mengenang Sejarah Pengibaran Bendera Merah Putih di Labuhanbatu (Habis)

Sebelumnya: Dilakukan Pemuda, Dipenjara karena Memberontak

Abdul Roni Hasibuan, merupakan satu di antara pemuda di Labuhanbaatu yang berjuang mengibarkan bendera merah putih di Pekan Sigambal Kabupaten Labuhanbatu. Kendati sempat dipenjara bersama rekan-rekan seangkatannya, tokoh Muhammadiyah yang lahir 19 Pebruari 1924 di Kota Pinang itu tak menuyurutkan semangatnya untuk terus berjuang.

Joko Gunawan, Labuhanbatu

Seperti diberitakan sebelumnya, Sumut Pos menyambangi keluarga almarhum Abdul Roni, Samsul Fahri Hasibuan (65) dan istrinya, Sawiyah serta Karya Reskinta Hasibuan (47) anak almarhum di Gang Sosial, Pekan Sigambal. Mereka mengatakan, ayah mereka saat itu mengajak seluruh pemuda di Labuhanbatu di antaranya Jalaluddin Pane, Firman Ritonga, Bahrum Nahar, Abdul Karim Hasibuan, Aminuddin Munthe, Lambert, Parjo untuk mengibarkan sang Saka Merah Putih, usai pidato Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Presiden Soekarno dan Wakil, Bung Hatta.

Pada Jum’at 22 September 1945 sekitar pukul 09.00 WIB, sebuah mobil yang dipenuhi puluhan warga Belanda, bekas tawanan diberhentikan di sekitar pekan Sigambal. Dua orang turun menuju bendera yang sedang berkibar gagah. Melihat ada sekumpulan warga, orang Belanda tersebut memanggil dengan bahasanya, namun tidak ada yang mau datang.

Abdul Roni Hasibuan mantan didikan Jepang dan Belanda mengerti apa maksudnya penjajah itu. Dia pun menghampiri si Meneer (julukan Belanda) lalu bertanya maksud kedatangan mereka.

Menggunakan Bahasa Belanda, Abdul Roni disarankan menurunkan Bendera Merah Putih itu. Dengan santunnya Abdul Roni mengatakan bahwa penaikan bendera dilakukan dengan upacara, begitu seharusnya jika ingin diturunkan. Alasannya, masyarakat sudah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Mereka sempat bersitegang. Kemarahan pun terjadi. Memuncak hingga caci maki dan menghardik. Dengan sombongnya Belanda mengatakan bahwa Indonesia tidak akan merdeka. Orang Indonesia tidak bisa merdeka dan masih bertuankan Nippon. Jika Nippon kalah dengan sendirinya Indonesia juga bakal kalah. Parahnya lagi, orang Belanda itu menegaskan bahwa Indonesia adalah jajahan Kerajaan Belanda dan harus menerima apa saja yang diberikan serta diperintahkan.

Kemarahan Abdul Roni Hasibuan semakin menjadi hingga akhirnya dirinya mengatakan bahwa Belanda adalah orang tanah rendahan (ejekan) dan tidak mempunyai tanah dan air di Indonesia serta anak-anaknya sudah mengungsi ke Kanada karena Nederland sudah diduduki Jerman.

Di sanalah kembali Abdul Roni menegaskan siapa yang menurunkan merah putih, dirinya siap membunuhnya. Akhirnya Belandapun pergi menuju ke Aeknabara.Sejak saat itu pengawalan bendera merah putih setiap harinya diperketat dengan menambah jumlah pasukan/warga yang dikomandoi piket oleh Jalaluddin, Aminuddin, Karim, Parjo, Bahrum Nahar, Lamber dan lainnya. Sejalan dengan cepatnya waktu, dibeberapa daerah mulai  mengibarkan bendera merah putih termasuk kota Rantauprapat.

Disinggung di mana tugu tempat pertama kalinya bendera dikibarkan, Samsul dan Kinta mengutarakan tepatnya di pertengahan Jalan Pekan Sigambal yang ada saat ini. “Kalau dulu seingat kami ada tugu kecilnya, tapi sekarang sudah jadi pembatas jalan Pekan Sigambal. Kalau dipemakaman ayah kami itu sudah ada dibuat bendera merah putih dari besi, itu sekitar tahun 1990-an sesudah reformasi, selain itu memang tidak,” aku mereka. (*)

Mengenang Sejarah Pengibaran Bendera Merah Putih di Labuhanbatu (Habis)

Sebelumnya: Dilakukan Pemuda, Dipenjara karena Memberontak

Abdul Roni Hasibuan, merupakan satu di antara pemuda di Labuhanbaatu yang berjuang mengibarkan bendera merah putih di Pekan Sigambal Kabupaten Labuhanbatu. Kendati sempat dipenjara bersama rekan-rekan seangkatannya, tokoh Muhammadiyah yang lahir 19 Pebruari 1924 di Kota Pinang itu tak menuyurutkan semangatnya untuk terus berjuang.

Joko Gunawan, Labuhanbatu

Seperti diberitakan sebelumnya, Sumut Pos menyambangi keluarga almarhum Abdul Roni, Samsul Fahri Hasibuan (65) dan istrinya, Sawiyah serta Karya Reskinta Hasibuan (47) anak almarhum di Gang Sosial, Pekan Sigambal. Mereka mengatakan, ayah mereka saat itu mengajak seluruh pemuda di Labuhanbatu di antaranya Jalaluddin Pane, Firman Ritonga, Bahrum Nahar, Abdul Karim Hasibuan, Aminuddin Munthe, Lambert, Parjo untuk mengibarkan sang Saka Merah Putih, usai pidato Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Presiden Soekarno dan Wakil, Bung Hatta.

Pada Jum’at 22 September 1945 sekitar pukul 09.00 WIB, sebuah mobil yang dipenuhi puluhan warga Belanda, bekas tawanan diberhentikan di sekitar pekan Sigambal. Dua orang turun menuju bendera yang sedang berkibar gagah. Melihat ada sekumpulan warga, orang Belanda tersebut memanggil dengan bahasanya, namun tidak ada yang mau datang.

Abdul Roni Hasibuan mantan didikan Jepang dan Belanda mengerti apa maksudnya penjajah itu. Dia pun menghampiri si Meneer (julukan Belanda) lalu bertanya maksud kedatangan mereka.

Menggunakan Bahasa Belanda, Abdul Roni disarankan menurunkan Bendera Merah Putih itu. Dengan santunnya Abdul Roni mengatakan bahwa penaikan bendera dilakukan dengan upacara, begitu seharusnya jika ingin diturunkan. Alasannya, masyarakat sudah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Mereka sempat bersitegang. Kemarahan pun terjadi. Memuncak hingga caci maki dan menghardik. Dengan sombongnya Belanda mengatakan bahwa Indonesia tidak akan merdeka. Orang Indonesia tidak bisa merdeka dan masih bertuankan Nippon. Jika Nippon kalah dengan sendirinya Indonesia juga bakal kalah. Parahnya lagi, orang Belanda itu menegaskan bahwa Indonesia adalah jajahan Kerajaan Belanda dan harus menerima apa saja yang diberikan serta diperintahkan.

Kemarahan Abdul Roni Hasibuan semakin menjadi hingga akhirnya dirinya mengatakan bahwa Belanda adalah orang tanah rendahan (ejekan) dan tidak mempunyai tanah dan air di Indonesia serta anak-anaknya sudah mengungsi ke Kanada karena Nederland sudah diduduki Jerman.

Di sanalah kembali Abdul Roni menegaskan siapa yang menurunkan merah putih, dirinya siap membunuhnya. Akhirnya Belandapun pergi menuju ke Aeknabara.Sejak saat itu pengawalan bendera merah putih setiap harinya diperketat dengan menambah jumlah pasukan/warga yang dikomandoi piket oleh Jalaluddin, Aminuddin, Karim, Parjo, Bahrum Nahar, Lamber dan lainnya. Sejalan dengan cepatnya waktu, dibeberapa daerah mulai  mengibarkan bendera merah putih termasuk kota Rantauprapat.

Disinggung di mana tugu tempat pertama kalinya bendera dikibarkan, Samsul dan Kinta mengutarakan tepatnya di pertengahan Jalan Pekan Sigambal yang ada saat ini. “Kalau dulu seingat kami ada tugu kecilnya, tapi sekarang sudah jadi pembatas jalan Pekan Sigambal. Kalau dipemakaman ayah kami itu sudah ada dibuat bendera merah putih dari besi, itu sekitar tahun 1990-an sesudah reformasi, selain itu memang tidak,” aku mereka. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/