30.1 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

Sumut Masih Terkorup

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Provinsi Sumut dan Aceh diprediksi bakal terus berada di peringkat atas dalam hal daerah terkorup di Indonesia. Menurut Abdullah Dahlan dari Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), hal ini disebabkan hingga saat ini belum ada agenda pemberantasan korupsi yang terlihat riil di wilayah Sumut dan Aceh.

Kantor Gubernur Sumatera Utara
Kantor Gubernur Sumatera Utara

“Selama ini hanya jargon-jargon saja yang nampak. Tapi tidak pernah ada tindakan riil yang menunjukkan bahwa daerah-daerah yang menduduki peringkat teratas itu mau berubah untuk serius memberantas korupsi,” ujar Abdullah Dahlan kepada koran ini, kemarin (8/12).

Pernyataan Abdullah berkaitan dengan peringatan Hari Anrikorupsi Sedunia yang jatuh hari ini (9/12). Seperti sering diberitakan, Sumut dan Aceh selalu menempati posisi terburuk dalam hal pemberantasan korupsi. Ambil contoh hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang dilansir 19 Juli 2013. Dimana peringkat teratas daerah terkorup ditempati Sumut, disusul di peringkat kedua, Aceh. Tahun-tahun sebelumnya, Sumut dan Aceh juga selalu berada di posisi atas terburuk.

Abdullah mengatakan, memang berdasar hasil survei sejumlah lembaga, peringkat daerah terkorup dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan. Selalu saja, daerah-daerah terburuk ya itu-itu terus.

“Ya itu tadi, karena tidak ada upaya progresif dalam memberantas korupsi di jajaran pemdanya,” kata dia.

Apa faktor penyebabnya? Abdullah menyebut sejumlah hal. Yang pertama faktor kepemimpinan. Menurutnya, selama pimpinan daerah setempat tidak membangun sistem yang mapan yang antikorupsi, maka korupsi di daerah tersebut akan terus terjadi. “Jadi leadership sangat berpengaruh,” ujar alumnus UGM Jogjakarta itu.

Yang kedua, elemen gerakan antikorupsi di daerah. Diakui Abdullah, ada penurunan jumlah organisasi gerakan antikorupsi. Dia menduga, penurunan jumlah ini disebabkan sejumlah aktivis yang putus asa dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi. “Karena korupsi terus saja terjadi,” katanya.

Faktor ketiga, aparat penegak hukum yang juga belum mau serius. “Banyak kasus korupsi di daerah mandeg tak dituntaskan. Ini memberikan efek para pejabat yang lain masih berani korupsi,” kata Abdullah.

Bagaimana kira-kira kondisi tahun depan? Apakah akan membaik? “Kita tak bisa banyak berharap. Sebenarnya kuncinya leadership. Jika pimpinan mau membangun sistem antikorupsi, maka ketika pimpinannya berganti pun, jajaran birokrasi akan sulit melakukan korupsi,” jelasnya.

Mental Penegak Hukum Mengkhawatirkan
Terkait dengan itu, Direktur FITRA Sumut Rurita Ningrum mengatakan virus korupsi telah menyebar ke segala lini. Berdasarkan data yang dirangkum FITRA Sumut, setidaknya Sumatera Utara menempati posisi pertama jumlah kasus korupsi yang tinggi dengan 278 kasus. Tingginya kasus korupsi di Sumut tak terlepas dari institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang bermental korup. Bahkan akibatnya kepercayaan rakyat terhadap penegak hukum juga semakin rendah.

“Semua ini tak terlepas dari kinerja aparat penegak hukum yang juga bermetal korup. Apalagi korupsi sudah memasuki semua lini. Lembaga peradilan, sebagai benteng terakhir penjaga keadilan dan supremasi hukum juga tidak steril dari korupsi,” kata Rurita Ningrum, Minggu (8/12).

Menurutnya para koruptor bahkan tidak lagi memiliki rasa malu di depan umum, walaupun banyak pihak telah mencibirnya sebagai pencuri uang rakyat. Lembaga Perwakilan Rakyat dalam segala jenjang -mulai tingkat pusat hingga ke daerah, mendapat indeks Persepsi Korupsi yang tinggi. Hal itu ditandai dengan banyaknya wakil rakyat yang menjadi pesakitan di Pengadilan Tipikor.

“Menjadi pantas kiranya bila kepercayaan rakyat terhadap partai politik dan para politisinya selalu rendah. Mafia hukum dan perilaku korup banyak dilakukan oleh mereka yang memutus perkara demi keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.

“Saat ini hampir mustahil mendapati institusi penyelenggara pelayanan publik yang nihil dari korupsi, gratifikasi, suap dan sebagainya. Kenyataannya korupsi telah menjadi penyakit ganas menahun yang sukar disembuhkan dengan prevalensi penularan yang tinggi. Kita tidak bisa mengingkari bahwa korupsi di Indonesia adalah sesuatu yang bersifat sistemik dan menjalar ke segala lini,” tambahnya.

KPK Awasi Tipikor Poldasu
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata juga ikut melakukan pengawasan terhadap kinerja Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sumut, khususnya di Subdit Tindakan Korupsi (Tipikor). Hal ini, dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan dan penanganan kasus korupsi, yang dinilai jalan di tempat.

“Setiap kasus korupsi yang ditangani dilaporkan KPK, dengan demikian KPK sudah setuju kami yang kami lakukan,”ungkap Kepala Unit (Kanit) I Subdit III/Tipikor Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrimsus), AKP Bram Wahyu, akhir pecan lalu.

Dengan itu, seluruh apa yang dilakukan Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sumut, dalam penanganan kasus korupsi, semua dilaporkan kepada KPK. “Setiap kita menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik), kasus korupsi, selalu kita kirimkan (laporkan) ke KPK. Otomatis, KPK secara rutin akan meninjau kasus yang kami tangani,” jelas perwira balok tiga emas ini.

Artinya, setiap kasus korupsi, KPK melakukan pengawasan dan peninjau langsung untuk proses hukum, proses penyidikan, hingga proses persidangan, dalam menangani kasus korupsi. “Kita diawasi dan ditinjau, jadi kita ‘gak bisa macam-macam,” kata Wahyu.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prakoso mengatakan kasus yang ditangani Poldasu harus segera diselesai pada akhir tahun 2013 ini. “Ada sekitar 20 kasus korupsi yang sedang ditangani, 5 di antaranya adalah kasus korupsi terhadap Alkes dan KB di 5 Kabupaten Kota di Sumatera Utara (Sumut). Semua kasus korupsi ini ditargetkan akan tuntas di tahun 2013 ini,” ujar Heru.(sam/far/gus)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Provinsi Sumut dan Aceh diprediksi bakal terus berada di peringkat atas dalam hal daerah terkorup di Indonesia. Menurut Abdullah Dahlan dari Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), hal ini disebabkan hingga saat ini belum ada agenda pemberantasan korupsi yang terlihat riil di wilayah Sumut dan Aceh.

Kantor Gubernur Sumatera Utara
Kantor Gubernur Sumatera Utara

“Selama ini hanya jargon-jargon saja yang nampak. Tapi tidak pernah ada tindakan riil yang menunjukkan bahwa daerah-daerah yang menduduki peringkat teratas itu mau berubah untuk serius memberantas korupsi,” ujar Abdullah Dahlan kepada koran ini, kemarin (8/12).

Pernyataan Abdullah berkaitan dengan peringatan Hari Anrikorupsi Sedunia yang jatuh hari ini (9/12). Seperti sering diberitakan, Sumut dan Aceh selalu menempati posisi terburuk dalam hal pemberantasan korupsi. Ambil contoh hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang dilansir 19 Juli 2013. Dimana peringkat teratas daerah terkorup ditempati Sumut, disusul di peringkat kedua, Aceh. Tahun-tahun sebelumnya, Sumut dan Aceh juga selalu berada di posisi atas terburuk.

Abdullah mengatakan, memang berdasar hasil survei sejumlah lembaga, peringkat daerah terkorup dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan. Selalu saja, daerah-daerah terburuk ya itu-itu terus.

“Ya itu tadi, karena tidak ada upaya progresif dalam memberantas korupsi di jajaran pemdanya,” kata dia.

Apa faktor penyebabnya? Abdullah menyebut sejumlah hal. Yang pertama faktor kepemimpinan. Menurutnya, selama pimpinan daerah setempat tidak membangun sistem yang mapan yang antikorupsi, maka korupsi di daerah tersebut akan terus terjadi. “Jadi leadership sangat berpengaruh,” ujar alumnus UGM Jogjakarta itu.

Yang kedua, elemen gerakan antikorupsi di daerah. Diakui Abdullah, ada penurunan jumlah organisasi gerakan antikorupsi. Dia menduga, penurunan jumlah ini disebabkan sejumlah aktivis yang putus asa dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi. “Karena korupsi terus saja terjadi,” katanya.

Faktor ketiga, aparat penegak hukum yang juga belum mau serius. “Banyak kasus korupsi di daerah mandeg tak dituntaskan. Ini memberikan efek para pejabat yang lain masih berani korupsi,” kata Abdullah.

Bagaimana kira-kira kondisi tahun depan? Apakah akan membaik? “Kita tak bisa banyak berharap. Sebenarnya kuncinya leadership. Jika pimpinan mau membangun sistem antikorupsi, maka ketika pimpinannya berganti pun, jajaran birokrasi akan sulit melakukan korupsi,” jelasnya.

Mental Penegak Hukum Mengkhawatirkan
Terkait dengan itu, Direktur FITRA Sumut Rurita Ningrum mengatakan virus korupsi telah menyebar ke segala lini. Berdasarkan data yang dirangkum FITRA Sumut, setidaknya Sumatera Utara menempati posisi pertama jumlah kasus korupsi yang tinggi dengan 278 kasus. Tingginya kasus korupsi di Sumut tak terlepas dari institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang bermental korup. Bahkan akibatnya kepercayaan rakyat terhadap penegak hukum juga semakin rendah.

“Semua ini tak terlepas dari kinerja aparat penegak hukum yang juga bermetal korup. Apalagi korupsi sudah memasuki semua lini. Lembaga peradilan, sebagai benteng terakhir penjaga keadilan dan supremasi hukum juga tidak steril dari korupsi,” kata Rurita Ningrum, Minggu (8/12).

Menurutnya para koruptor bahkan tidak lagi memiliki rasa malu di depan umum, walaupun banyak pihak telah mencibirnya sebagai pencuri uang rakyat. Lembaga Perwakilan Rakyat dalam segala jenjang -mulai tingkat pusat hingga ke daerah, mendapat indeks Persepsi Korupsi yang tinggi. Hal itu ditandai dengan banyaknya wakil rakyat yang menjadi pesakitan di Pengadilan Tipikor.

“Menjadi pantas kiranya bila kepercayaan rakyat terhadap partai politik dan para politisinya selalu rendah. Mafia hukum dan perilaku korup banyak dilakukan oleh mereka yang memutus perkara demi keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.

“Saat ini hampir mustahil mendapati institusi penyelenggara pelayanan publik yang nihil dari korupsi, gratifikasi, suap dan sebagainya. Kenyataannya korupsi telah menjadi penyakit ganas menahun yang sukar disembuhkan dengan prevalensi penularan yang tinggi. Kita tidak bisa mengingkari bahwa korupsi di Indonesia adalah sesuatu yang bersifat sistemik dan menjalar ke segala lini,” tambahnya.

KPK Awasi Tipikor Poldasu
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata juga ikut melakukan pengawasan terhadap kinerja Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sumut, khususnya di Subdit Tindakan Korupsi (Tipikor). Hal ini, dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan dan penanganan kasus korupsi, yang dinilai jalan di tempat.

“Setiap kasus korupsi yang ditangani dilaporkan KPK, dengan demikian KPK sudah setuju kami yang kami lakukan,”ungkap Kepala Unit (Kanit) I Subdit III/Tipikor Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrimsus), AKP Bram Wahyu, akhir pecan lalu.

Dengan itu, seluruh apa yang dilakukan Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sumut, dalam penanganan kasus korupsi, semua dilaporkan kepada KPK. “Setiap kita menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik), kasus korupsi, selalu kita kirimkan (laporkan) ke KPK. Otomatis, KPK secara rutin akan meninjau kasus yang kami tangani,” jelas perwira balok tiga emas ini.

Artinya, setiap kasus korupsi, KPK melakukan pengawasan dan peninjau langsung untuk proses hukum, proses penyidikan, hingga proses persidangan, dalam menangani kasus korupsi. “Kita diawasi dan ditinjau, jadi kita ‘gak bisa macam-macam,” kata Wahyu.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prakoso mengatakan kasus yang ditangani Poldasu harus segera diselesai pada akhir tahun 2013 ini. “Ada sekitar 20 kasus korupsi yang sedang ditangani, 5 di antaranya adalah kasus korupsi terhadap Alkes dan KB di 5 Kabupaten Kota di Sumatera Utara (Sumut). Semua kasus korupsi ini ditargetkan akan tuntas di tahun 2013 ini,” ujar Heru.(sam/far/gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/