Sementara terkait adanya bencana banjir yang menimpa sejumlah daerah di Sumut, ia menyebutkan, yang terkena dampaknya hanya sekitar 87,8 hektare. Dari keseluruhannya, untuk lahan pertanian padi, yang terkena dampaknya sebesar 18 hektare yang ada di Langkat, Serdangbedagai, dan Asahan. Dari angka itu pula, Azhar menyebutkan, tidak ada kendala begitu berarti, karena banjir terjadi saat masih memasuki masa tanam. “Yang gagal panen sekitar 18 hektare. Seluar 14,7 hektare baru masa penanaman. Sedangkan 4 hektare lebih masih menyemai (pembibitan). Sehingga kalaupun ada kendala, hanya penundaan produksi (masa panen) selama sebulan. Untuk kerugian pembibitan itu, kita juga sudah memberikan gantinya berupa bantuan benih kepada petani yang tertimpa bencana banjir,” jelasnya, seraya mengatakan, untuk 2018 Pemprov Sumut menargetkan peningkatan produksi padi hingga 5-10 persen dibanding tahun lalu.
Selain padi lanjutnya, komoditi pertanian yang tidak mengalami surplus bahkan kekurangan pasokan dari petani lokal di Sumut, yakni produksi bawang. Dalam hal ini, jumlah produksi hasil tanaman pangan tersebut di seluruh daerah penghasil hanya mencapai 13 ribu ton selama 2017. Sedangkan kebutuhan lebih dari jumlah tersebut. Karena itu harus ada pasokan dari luar provinsi. “Karena ini kan sifatnya seperti subsidi silang, mana daerah yang surplus dibagikan ke daerah lain yang membutuhkan. Begitu juga sebaliknya, seperti bawang, kita dapat pasokan dari luar daerah,” kata Azhar.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mencatat, selama kurun Desember 2017 lalu, harga tertinggi gabah berada pada kisaran Rp6.260 per kilogram, berasal dari gabah kering giling (GKG) varietas Ciherang di Deliserdang. Sedangkan harga terendah senilai Rp3.950 per kilogram berasal dari gabah kering panen (GKP) varietas Sibatubara di Mandailingnatal. Sedangkan harga gabah rata-rata selama Desember 2017 di tingkat petani senilai Rp5.544 per kilogram untuk GKG. Untuk gabah kualitas GKP sebesar Rp4.946 per kilogram. (bal/saz)
Sementara terkait adanya bencana banjir yang menimpa sejumlah daerah di Sumut, ia menyebutkan, yang terkena dampaknya hanya sekitar 87,8 hektare. Dari keseluruhannya, untuk lahan pertanian padi, yang terkena dampaknya sebesar 18 hektare yang ada di Langkat, Serdangbedagai, dan Asahan. Dari angka itu pula, Azhar menyebutkan, tidak ada kendala begitu berarti, karena banjir terjadi saat masih memasuki masa tanam. “Yang gagal panen sekitar 18 hektare. Seluar 14,7 hektare baru masa penanaman. Sedangkan 4 hektare lebih masih menyemai (pembibitan). Sehingga kalaupun ada kendala, hanya penundaan produksi (masa panen) selama sebulan. Untuk kerugian pembibitan itu, kita juga sudah memberikan gantinya berupa bantuan benih kepada petani yang tertimpa bencana banjir,” jelasnya, seraya mengatakan, untuk 2018 Pemprov Sumut menargetkan peningkatan produksi padi hingga 5-10 persen dibanding tahun lalu.
Selain padi lanjutnya, komoditi pertanian yang tidak mengalami surplus bahkan kekurangan pasokan dari petani lokal di Sumut, yakni produksi bawang. Dalam hal ini, jumlah produksi hasil tanaman pangan tersebut di seluruh daerah penghasil hanya mencapai 13 ribu ton selama 2017. Sedangkan kebutuhan lebih dari jumlah tersebut. Karena itu harus ada pasokan dari luar provinsi. “Karena ini kan sifatnya seperti subsidi silang, mana daerah yang surplus dibagikan ke daerah lain yang membutuhkan. Begitu juga sebaliknya, seperti bawang, kita dapat pasokan dari luar daerah,” kata Azhar.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mencatat, selama kurun Desember 2017 lalu, harga tertinggi gabah berada pada kisaran Rp6.260 per kilogram, berasal dari gabah kering giling (GKG) varietas Ciherang di Deliserdang. Sedangkan harga terendah senilai Rp3.950 per kilogram berasal dari gabah kering panen (GKP) varietas Sibatubara di Mandailingnatal. Sedangkan harga gabah rata-rata selama Desember 2017 di tingkat petani senilai Rp5.544 per kilogram untuk GKG. Untuk gabah kualitas GKP sebesar Rp4.946 per kilogram. (bal/saz)