Samosir-Salah satu perhatian etnomusikologi dalam mempelajari ekspresi kebudayaan musikal suatu tradisi adalah tehnik memainkan dan konstruksi instrumen musik dalam fungsi menyajikan (menghasilkan) produk musikal. Dalam tradisi memainkan gendang, umumnya alat musik ini berfungsi sebagai pengiring melodi/lagu yang dimainkan oleh alat musik lain atau vokal melalui berbagai bentuk dan pola ritmis yang diciptakan; tetapi ada pula gendang yang fungsi dan perannya adalah memainkan melodi (membawa lagu) di dalam suatu komposisi musik. Gendang seperti ini disebut dengan drum chime (gendang pembawa melodi).
Menurut catatan para ahli sejauh ini tradisi gendang jenis ini hanya terdapat di tiga tempat, satu di Uganda (Afrika Timur) dengan nama entenga, sedangkan dua lagi berada di Asia Tenggara, yaitu, di Myanmar dengan nama hsaing waing, dan di Indonesia, persisnya di tengah-tengah masyarakat Batak yang hidup di tepian Danau Toba. Yang menarik, di kawasan Danau Toba variannya banyak dan masing-masing dipelihara oleh lima sub-etnik Batak (Toba, Simalungun, Pakpak/Dairi, Karo, dan Mandailing). Drum chime yang terdapat di Toba disebut taganing, di Simalungun disebut Gondrang Sipitu-pitu, di Pakpak/Dairi disebut Genderang Merkata Si Siba, di Karo disebut Gendang Indung dan Gendang Anak, dan di Mandailing disebut Gordang Sambilan dan Gordang Lima.
Dalam sejarah tradisi drum chime di tiga tempat ini: di Afrika Timur tradisi ini pernah mengalami kepunahan dan menurut The New Grove Dictionary Music and Musician, baru direvitalisasi pada tahun 1993 yang lalu. Di tanah Batak, terutama di paroh akhir abad dua puluh, keberadaan taganing pernah dianggap sebagai “tradisi haram” sehingga tidak diperkenan untuk ditampilkan di gereja; sementara itu tradisi gordang sambilan di Mandailing sempat menghilang dari kegiatan masyarakat karena dianggap “haram” juga. Tradisi Gordang Lima, oleh karena fungsinya untuk upacara-upacara terkait kepercayaan asli dan status pemimpin spiritualnya(yang sering dituduh “dukun”) saat ini sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat Mandailing.
Atas dasar keunikan dan pentingnya tradisi ini dalam konteks kehidupan kekinian dan fenomena globalisasi yang pada intinya sangat bergantung kepada potensi keunikan dan kearifan lokal, maka gagasan untuk menyelenggarakan Lake Toba’s World Drum Festival menjadi masuk akal dan sangat layak dilakukan di kawasan Danau Toba. Dengan cara ini diharapkan program pengembangan pariwisata budaya di kawasan Danau Toba ini bisa sekaligus menjadi sumbangan yang penting bagi pelestarian pusaka tradisi gendang dunia yang memainkan melodi ini. Kita berharap di masa depan kawasan Danau Toba bisa menjadi “rumah” bagi tradisi gendang dunia, sekaligus menjadi tempat para maestro berbagi pengalaman kebudayaan musikal yang sangat penting dalam konteks globalisasi sekarang ini. (mea/kl)