SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Harusnya ikut ujian, LP (17) justru memilih menenggak racun. Beruntung, nyawa siswa kelas III salah satu SMA swasta di Siantar itu, terselamatkan.
Ditemui di RS Harapan Siantar, Rabu (10/12) sekira pukul 10.00 Wib, tubuh LP terbaring lemas di kasur rumah sakit dengan muka pucat.
Sesekali terdengar rintihan kesakitannya. Tangan LP juga coba membuka baju sembari mengelus dada dan perutnya seakan mengurangi rasa panas di tubuhnya akibat racun dan obat yang sudah mulai beraksi. Ibu LP yang mengaku boru Situmorang terus meneteskan air mata sembari mengusuk kaki LP yang masih menggunakan pakaian putih abu-abu tersebut.
Raut wajah ibu 8 anak itu terlihat muram seakan menyimpan banyak cerita duka yang tak bisa diungkapkan. Dengan berlinang air mata, boru Situmorang hanya mengungkapkan kekesalan terhadap sikap LP tanpa menceritakan alasan LP nekad minum racun.
“Aku juga bingung mengapa anakku tega melakukan ini. Uang sekolah sudah kubayar, masalah sekolah juga bukan, masalah pacar juga bukan. Pagi tadi, dia (LP) tiba-tiba ungkapkan pamit tapi tak seperti biasanya,” jelas wanita yang kesehariannya mengaku sebagai petani tersebut.
Sembari terus berjaga di samping anak ketujuh dari delapan bersaudara tersebut, boru Situmorang dengan nada terbata-bata menceritakan bahwa sejak pagi hari saat dibangunkan mau ke sekolah, LP sudah terlihat menunjukkan sikap yang aneh. “Dung marpahean sikkola didokkon ma, lao ma au oma. Alai dang tu sikkola. Nga hu inum be racun i (Setelah berpakaian sekolah, dibilangnya aku pergi ibu. Tapi bukan ke sekolah. Sudah ku minum racun itu),” jelas boru Situmorang menirukan perkataan anaknya yang membuat suasana rumahnya heboh.
Pasalnya, tak berselang lama, LP langsung tidak sadarkan diri dan akhirnya dibawa ke puskesmas terdekat. Namun petugas puskesmas tak ambil risiko dan sarankan dibawa ke rumah sakit. Alasan LP minum racun tak terjawab dari cerita sang ibu. Ditemui di sekolah, teman-teman LP justru tidak mengetahui kejadian yang menimpa LP.
“Ya memang hari ini LP tidak masuk sekolah tanpa ada pemberitahuan padahal hari ini ujian semester. Setahuku tidak masalahnya bahkan LP tergolong anak yang rajin sekolah. Bahkan LP siswa yang bisa diandalkan di sekolah karena selalu bisa peringkat 5 besar. Setiap hari LP biasanya berangkat ke sekolah dengan naik bus angkutan pedesaan (angdes),” jelas R, teman sekelas LP usai pulang sekolah.
Ditemui di kampung halamannya di Kecamatan Panei, beberapa warga juga mengaku tidak mengetahui kejadian itu. Namun, seorang sumber yang meminta namanya tidak disebutkan, menduga kenekatan LP akibat tak dibelikan sepeda motor.
Diceritakannya, dia sempat mendengar LP cekcok dengan orangtuanya terkait rencana pembelian sepedamotor. Pagi itu, salah seorang abang LP yang berada di Kalimantan, melalui telepon selulernya meminta dibelikan sepedamotor. Dan permintaan sang abang diamini orangtuanya.
Mendengar hal itu, LP yang juga sudah sering meminta agar dibelikan sepedamotor spontan kecewa karena permintaannya justru tidak dikabulkan. “Kalau abang dibelikan sepedamotor maka aku juga harus dibelikan sepedamotor,” jelas warga tersebut menirukan awal perdebatan antara anak dan ayah tersebut yang berujung pada frustasi anak mengakhiri hidup dengan meneguk racun.
Sementara, Direktur Minauli Consulting Dra Irna Minauli MSi Psi melalui telepon selulernya mengatakan, remaja biasanya memiliki emosi yang labil sehingga menjadi mudah terpancing untuk melakukan hal-hal yang sifatnya nekad. “Remaja terkadang sensitif dengan perlakuan berbeda yang dirasakannya. Mereka menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pilih kasih dan favoritisme sehingga mereka tidak diperhatikan atau tidak dipedulikan orangtuanya. Kadang mereka tidak bisa memahami bahwa orangtua memiliki prioritas atau pertimbangan lain yang juga harus diatasi,” jelas psikolog alumni Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung tersebut.
“Saat permintaan itu ditolak, mereka kemudian diliputi dengan perasaan marah, sedih, frustrasi, malu dan putus asa yang kemudian mengarahkan mereka untuk melakukan bunuh diri. Bunuh diri dianggap sebagai bentuk kemarahan yang diarahkan ke dalam dirinya, karena mereka tidak bisa melampiaskannya kepada orangtua,” tambahnya.
“Itu sebabnya, sebagai orangtua dan pendidik, kita harus mengajarkan anak untuk bisa menunda keinginannya. Tidak semua kemauan mereka harus dituruti. Mereka harus menunggu hingga saat tepat. Dan hal ini juga harus dibangun dengan komunikasi yang baik antara anak dan orangtua,” jelasnya.
Terakhir, Irna berpesan, mereka yang pernah melakukan usaha bunuh diri harus mendapat pengawasan dan perhatian yang lebih. Karena mereka cenderung untuk mengulangi hal tersebut ketika mereka dihadapkan pada kesulitan. Itu sebabnya, teman-teman dan lingkungannya harus memberi perhatian dan bukannya mengolok-oloknya yang membuat pelaku menjadi malu dan putus asa lagi.(rah-smg/trg)