26 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Pengungsi Sinabung Terjangkit Campak & Cacar Air

AFP PHOTO / ADEK BERRY Anak-anak bermain di tenda pengungsian di Karo, 7 Februari 2014. Lebih dari 30,000 jiwa mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung. Setelah lima bulan, pengungsi mulai terjangkit campak dan cacar air.
AFP PHOTO / ADEK BERRY
Anak-anak bermain di tenda pengungsian di Karo, 7 Februari 2014. Lebih dari 30,000 jiwa mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung. Setelah lima bulan, pengungsi mulai terjangkit campak dan cacar air.

KABAHANJAHE, SUMUTPOS.CO – Wabah cacar air mulai menjangkiti sejumlah anak di pos pengungsian bencana Sinabung, Karo. Anggota Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Tomi Hendrawan mengatakan dari hasil pembukaan pos pelayanan kesehatan semalam, di pos gedung serbaguna KNPI, Kabanjahe, Karo ditemukan sejumlah anak yang menderita cacar air.

Bahkan, masih dari keterangannya, satu anak berumur 5 tahun sudah mengidap campak.

“Kami buka layanan kesehatan di pos itu, dan ternyata sudah ada yang kena, artinya ada wabah,” kata Tomi, Selasa (11/2).

Dokter yang ikut bertugas bersama tim relawan Palang Merah Indonesia (PMI) ini mengatakan, tidak ada ruang khusus pemisah antara anak sehat dengan penderita cacar air. Namun, untuk penderita campak sudah dilarikan ke rumah sakit.

Selain harus mendapat perawatan intens, kata dia, dikhawatirkan penyakit ini menulari anak lainnya. “Terpaksa yang cacar air juga bersatu dengan pengungsi lainnya,” kata dia.

Tomi melanjutkan, sampai saat ini ia dan PMI masih menunggu sikap pemerintah setempat untuk membuat ruang pemisah bagi penderita penyakit menular dengan yang lainnya. Selain itu, ditemukannya wabah ini, artinya tim deteksi dini penyakit belum optimal memantau kondisi kesehatan pengungsi.

“Ini pos yang dekat dengan pusat posko utama, lalu seperti apa dengan pos di wilayah terpencil ?” ujar dokter murah senyum ini.

Dikatakan dia, pos-pos pengungsian bencana Gunung Sinabung yang tersebar di 43 titik di Kabupaten Karo dan Langkatbelum dilengkapi dengan sumber daya pendeteksi penyakit. Akibatnya, para pengungsi yang menderita sakit cacar air dan campak tidak terdeteksi sejak dini.

Tomi, yang dalam tugasnya bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabanjahe, mengatakan, sumber daya medis belum memadai di tiap pos.

“Jadi kita tidak tahu di suatu pos ada pengungsi yang sedang sakit apa, sejak kapan dan sudah menyebar seperti apa,” katanya.

Untuk mengetahui situasi di setiap pos pengungsian, Tomi mengingatkan, tim medis baru akan mendapat data bila melakukan kunjungan pelayanan kesehatan. Dari gelaran pengobatan gratis itu, baru diketahui apa yang diderita oleh para pengungsi.

“Tidak ada laporan intensif setiap harinya, penyakit pengungsi baru diketahui kalau ada kunjungan kesehatan saja,” tukas Tomi.

Imbas dari tidak adanya sumber daya manusia yang melakukan deteksi dini itu pun terlihat dari baru diketemukannya wabah cacar air dan campak di salah satu pos pengungsian. “Artinya ini ada wabah tapi tidak terdeteksi dari awal,” dia menguatkan.

Untuk itu, ia dan tim PMI pun akan terus mendesak Dinas Kesehatan Kabupaten Karo untuk segera membuat sistem deteksi dini agar tidak ada lagi kecolongan.

Dalam laporan akhir pekan lalu, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) terus menghinggapi pengungsi di sejumlah pos pengungsian. Di pos yang berlokasi di Losd Maka Heuli, Kabanjahe tercatat mayoritas dari 644 pengungsi di sana menderita sesak nafas.

Koordinator Palang Merah Indonesia (PMI), Junaedi, mengatakan pos pelayanan kesehatan yang digelar sejak pagi hingga sore Sabtu ini menerima banyak keluhan ISPA di pos itu.

“Lalu sakit mata menjadi yang paling dikeluhkan. Sepertinya abu vulkanik yang menyebabkan dua penyakit ini,” ujar Junaedi.

Junaedi mengatakan, dalam pelayanan kesehatan tadi, PMI didampingi oleh dua dokter dan enam perawat. Kedatangan mereka pun disambut antusias oleh para pengungsi.

“Ada juga yang menderita masuk angin karena mereka sehari-hari kan tidur lantai yang hanya beralaskan tikar,” ujar dia.

Pos pengungsian Losd ini berisikan pengungsi dari dua desa yakni, Desa Kuta Rayat dan Desa Gung Pinto. Mereka sudah berada di sana sejak dua bulan lalu ketika dua desa ini dihujani abu vulkanik dengan intensitas yang tinggi.

Sehari sebelumnya, PMI juga menggelar pelayanan kesehatan di Pos Losd Tanjung Pulo, Desa Tanjung Pulo. Ratusan dari 720 pengungsi di sana juga menderita ISPA dan sakit mata akibat udara di sana yang sudah terkontaminasi abu vulkanik Gunung Sinabung.

Menurut pengungsi, selain dengan obat, mereka juga mengandalkan masker untuk menghindarkan diri dari debu vulkanik. “Kami juga rajin sapu-sapu dan beres-beres agar debu tidak menempel lama di pengungsian,” ujar salah satu pengungsi, Nova Tarigan.

Dalam hasil rekap tiga bulan terakhir, Selasa (11/2), pos kesehatan bencana Sinabung mengumumkan pula jumlah pengungsi yang meninggal selama berada di pengungsian. Total 40 pengungsi meninggal dunia karena penyakit yang diderita.

Dari catatan yang ada, ke-40  orang ini meninggal dari kurun waktu bulan Desember 2013 hingga 11 Februari 2014. Diketahui, mereka meninggal akibat penyakit bawaan sejak sebelum mengungsi.

“Tapi sebelum wafat, para pengungsi ini sempat dirawat terlebih dulu di rumah sakit-rumah sakit terdekat,” ujar Koordinator media center Sinabung, Jhonson Tarigan.

 

PENGUNGSI DEPRESI

Sebelumnya, tim gabungan pakar berbagai bidang keilmuan yang dikirimkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, ke wilayah sekitar Gunung Sinabung, melaporkan bahwa tingkat stress dan depresi di kalangan pengungsi cukup tinggi.

Dalam pemaparan kepada wartawan di Jogjakarta, sepekan lalu, tim tersebut mengatakan pemerintah memerlukan perencanaan jangka panjang untuk para pengungsi, serta program bantuan yang harus disusun dengan tinjauan multi-disiplin ilmu.

Kajian harus dilakukan dari sisi kebencanaan sendiri, ekonomi, pertanian, sosiologi, hingga psikologi. Bencana ini, meskipun tidak ditetapkan berskala nasional, menurut mereka, sebenarnya memiliki dimensi yang sangat kompleks. Masyarakat Karo dan sekitarnya mengalami guncangan emosional luar biasa, karena dalam ingatan mereka, Gunung Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana.

Menurut salah satu tim pakar dari UGM, Prof Dr Langkah Sembiring, masyarakat dan Pemkab Karo sama sekali tidak siap menghadapi bencana ini. Jumlah pengungsi pun kini telah mencapai lebih 30.000 orang karena banyak warga yang tinggal di zona aman juga mengungsi karena ketakutan.

“Akibatnya, pengungsi ini banyak karena takut. Apalagi masyarakat Karo tidak punya ingatan kolektif tentang nomenklatur-nomenklatur tentang letusan gunung api. Istilah awan panas itu tidak dikenal di sana, begitupun istilah lava pijar, istilah lahar dingin, mereka tidak kenal,” katanya.

Menurut Prof Sembiring, para pengungsi sebenarnya dari segi kecukupan pangan mungkin tidak ada masalah, termasuk kebutuhan selimut, pakaian, obat-obatan, maupun tempat.

”Masalah mereka adalah karena sudah tinggal di pengungsian masuk bulan kelima. Jadi tingkat kejenuhan di pengungsian itu sudah cukup tinggi, sehingga stress, sensitif bahkan di antara mereka ada yang saling berkelahi,” katanya.

Tim pakar dari UGM juga merekomendasikan program padat karya bagi pengungsi tidak meninggalkan profesi asal mereka sebagai petani. ”Pemerintah sebaiknya tidak mempekerjakan pengungsi ini dalam proyek pembuatan gorong-gorong, membersihkan selokan atau membuat kerajinan,” ujar mereka.

Para pengungsi telah mengajukan penolakan karena keahlian mereka adalah bertani sehingga program padat karya harus dipilihkan di sektor pertanian.

Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof Supra Wimbarti, menekankan, pemerintah harus segera memberikan perhatian kepada para pengungsi dari sisi psikologis. Tim UGM telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban. Tanpa penanganan lebih serius, kasus semacam ini akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

“Ini yang terjadi sekarang adalah masalah psikososial yang sudah lima bulan dan mencakup 30 ribu pengungsi. Dari bayi, anak-anak, remaja, orang tua, sangat tua, itu ada semua. Itu permasalahannya yang sudah kami tengarai adalah gejala stress karena banyak yang kehilangan,” dia menambahkan.

Menurut Prof Supra, pegangan mereka yang bisa untuk hidup itu tanah pertanian, ternak, itu sudah tidak ada semua. Rumah tidak tahu bisa ditinggali lagi atau tidak. Keluarga ada yang meninggal. Kemudian gejala depresi juga sudah ditengarai oleh psikolog di sana.

”Bahwa ada yang sudah melakukan percobaan bunuh diri karena tidak bisa menerima cobaan yang mereka rasakan sangat amat berat,” ujarnya.

Dalam waktu dekat, UGM juga akan mengirimkan sejumlah mahasiswa psikologi untuk melakukan pendampingan selama satu bulan di lokasi bencana. Tidak hanya para pengungsi, tim UGM juga akan memberikan pendampingan psikologis kepada para relawan dan aparat Pemkab Karo.

Hal ini diperlukan, menurut mereka, karena penelitian awal menunjukkan, hampir seluruh pihak di kawasan bencana mengalami stress akibat  erupsi Sinabung yang telah berlangsung selama lima bulan.  (bbs/val)

AFP PHOTO / ADEK BERRY Anak-anak bermain di tenda pengungsian di Karo, 7 Februari 2014. Lebih dari 30,000 jiwa mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung. Setelah lima bulan, pengungsi mulai terjangkit campak dan cacar air.
AFP PHOTO / ADEK BERRY
Anak-anak bermain di tenda pengungsian di Karo, 7 Februari 2014. Lebih dari 30,000 jiwa mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung. Setelah lima bulan, pengungsi mulai terjangkit campak dan cacar air.

KABAHANJAHE, SUMUTPOS.CO – Wabah cacar air mulai menjangkiti sejumlah anak di pos pengungsian bencana Sinabung, Karo. Anggota Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Tomi Hendrawan mengatakan dari hasil pembukaan pos pelayanan kesehatan semalam, di pos gedung serbaguna KNPI, Kabanjahe, Karo ditemukan sejumlah anak yang menderita cacar air.

Bahkan, masih dari keterangannya, satu anak berumur 5 tahun sudah mengidap campak.

“Kami buka layanan kesehatan di pos itu, dan ternyata sudah ada yang kena, artinya ada wabah,” kata Tomi, Selasa (11/2).

Dokter yang ikut bertugas bersama tim relawan Palang Merah Indonesia (PMI) ini mengatakan, tidak ada ruang khusus pemisah antara anak sehat dengan penderita cacar air. Namun, untuk penderita campak sudah dilarikan ke rumah sakit.

Selain harus mendapat perawatan intens, kata dia, dikhawatirkan penyakit ini menulari anak lainnya. “Terpaksa yang cacar air juga bersatu dengan pengungsi lainnya,” kata dia.

Tomi melanjutkan, sampai saat ini ia dan PMI masih menunggu sikap pemerintah setempat untuk membuat ruang pemisah bagi penderita penyakit menular dengan yang lainnya. Selain itu, ditemukannya wabah ini, artinya tim deteksi dini penyakit belum optimal memantau kondisi kesehatan pengungsi.

“Ini pos yang dekat dengan pusat posko utama, lalu seperti apa dengan pos di wilayah terpencil ?” ujar dokter murah senyum ini.

Dikatakan dia, pos-pos pengungsian bencana Gunung Sinabung yang tersebar di 43 titik di Kabupaten Karo dan Langkatbelum dilengkapi dengan sumber daya pendeteksi penyakit. Akibatnya, para pengungsi yang menderita sakit cacar air dan campak tidak terdeteksi sejak dini.

Tomi, yang dalam tugasnya bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabanjahe, mengatakan, sumber daya medis belum memadai di tiap pos.

“Jadi kita tidak tahu di suatu pos ada pengungsi yang sedang sakit apa, sejak kapan dan sudah menyebar seperti apa,” katanya.

Untuk mengetahui situasi di setiap pos pengungsian, Tomi mengingatkan, tim medis baru akan mendapat data bila melakukan kunjungan pelayanan kesehatan. Dari gelaran pengobatan gratis itu, baru diketahui apa yang diderita oleh para pengungsi.

“Tidak ada laporan intensif setiap harinya, penyakit pengungsi baru diketahui kalau ada kunjungan kesehatan saja,” tukas Tomi.

Imbas dari tidak adanya sumber daya manusia yang melakukan deteksi dini itu pun terlihat dari baru diketemukannya wabah cacar air dan campak di salah satu pos pengungsian. “Artinya ini ada wabah tapi tidak terdeteksi dari awal,” dia menguatkan.

Untuk itu, ia dan tim PMI pun akan terus mendesak Dinas Kesehatan Kabupaten Karo untuk segera membuat sistem deteksi dini agar tidak ada lagi kecolongan.

Dalam laporan akhir pekan lalu, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) terus menghinggapi pengungsi di sejumlah pos pengungsian. Di pos yang berlokasi di Losd Maka Heuli, Kabanjahe tercatat mayoritas dari 644 pengungsi di sana menderita sesak nafas.

Koordinator Palang Merah Indonesia (PMI), Junaedi, mengatakan pos pelayanan kesehatan yang digelar sejak pagi hingga sore Sabtu ini menerima banyak keluhan ISPA di pos itu.

“Lalu sakit mata menjadi yang paling dikeluhkan. Sepertinya abu vulkanik yang menyebabkan dua penyakit ini,” ujar Junaedi.

Junaedi mengatakan, dalam pelayanan kesehatan tadi, PMI didampingi oleh dua dokter dan enam perawat. Kedatangan mereka pun disambut antusias oleh para pengungsi.

“Ada juga yang menderita masuk angin karena mereka sehari-hari kan tidur lantai yang hanya beralaskan tikar,” ujar dia.

Pos pengungsian Losd ini berisikan pengungsi dari dua desa yakni, Desa Kuta Rayat dan Desa Gung Pinto. Mereka sudah berada di sana sejak dua bulan lalu ketika dua desa ini dihujani abu vulkanik dengan intensitas yang tinggi.

Sehari sebelumnya, PMI juga menggelar pelayanan kesehatan di Pos Losd Tanjung Pulo, Desa Tanjung Pulo. Ratusan dari 720 pengungsi di sana juga menderita ISPA dan sakit mata akibat udara di sana yang sudah terkontaminasi abu vulkanik Gunung Sinabung.

Menurut pengungsi, selain dengan obat, mereka juga mengandalkan masker untuk menghindarkan diri dari debu vulkanik. “Kami juga rajin sapu-sapu dan beres-beres agar debu tidak menempel lama di pengungsian,” ujar salah satu pengungsi, Nova Tarigan.

Dalam hasil rekap tiga bulan terakhir, Selasa (11/2), pos kesehatan bencana Sinabung mengumumkan pula jumlah pengungsi yang meninggal selama berada di pengungsian. Total 40 pengungsi meninggal dunia karena penyakit yang diderita.

Dari catatan yang ada, ke-40  orang ini meninggal dari kurun waktu bulan Desember 2013 hingga 11 Februari 2014. Diketahui, mereka meninggal akibat penyakit bawaan sejak sebelum mengungsi.

“Tapi sebelum wafat, para pengungsi ini sempat dirawat terlebih dulu di rumah sakit-rumah sakit terdekat,” ujar Koordinator media center Sinabung, Jhonson Tarigan.

 

PENGUNGSI DEPRESI

Sebelumnya, tim gabungan pakar berbagai bidang keilmuan yang dikirimkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, ke wilayah sekitar Gunung Sinabung, melaporkan bahwa tingkat stress dan depresi di kalangan pengungsi cukup tinggi.

Dalam pemaparan kepada wartawan di Jogjakarta, sepekan lalu, tim tersebut mengatakan pemerintah memerlukan perencanaan jangka panjang untuk para pengungsi, serta program bantuan yang harus disusun dengan tinjauan multi-disiplin ilmu.

Kajian harus dilakukan dari sisi kebencanaan sendiri, ekonomi, pertanian, sosiologi, hingga psikologi. Bencana ini, meskipun tidak ditetapkan berskala nasional, menurut mereka, sebenarnya memiliki dimensi yang sangat kompleks. Masyarakat Karo dan sekitarnya mengalami guncangan emosional luar biasa, karena dalam ingatan mereka, Gunung Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana.

Menurut salah satu tim pakar dari UGM, Prof Dr Langkah Sembiring, masyarakat dan Pemkab Karo sama sekali tidak siap menghadapi bencana ini. Jumlah pengungsi pun kini telah mencapai lebih 30.000 orang karena banyak warga yang tinggal di zona aman juga mengungsi karena ketakutan.

“Akibatnya, pengungsi ini banyak karena takut. Apalagi masyarakat Karo tidak punya ingatan kolektif tentang nomenklatur-nomenklatur tentang letusan gunung api. Istilah awan panas itu tidak dikenal di sana, begitupun istilah lava pijar, istilah lahar dingin, mereka tidak kenal,” katanya.

Menurut Prof Sembiring, para pengungsi sebenarnya dari segi kecukupan pangan mungkin tidak ada masalah, termasuk kebutuhan selimut, pakaian, obat-obatan, maupun tempat.

”Masalah mereka adalah karena sudah tinggal di pengungsian masuk bulan kelima. Jadi tingkat kejenuhan di pengungsian itu sudah cukup tinggi, sehingga stress, sensitif bahkan di antara mereka ada yang saling berkelahi,” katanya.

Tim pakar dari UGM juga merekomendasikan program padat karya bagi pengungsi tidak meninggalkan profesi asal mereka sebagai petani. ”Pemerintah sebaiknya tidak mempekerjakan pengungsi ini dalam proyek pembuatan gorong-gorong, membersihkan selokan atau membuat kerajinan,” ujar mereka.

Para pengungsi telah mengajukan penolakan karena keahlian mereka adalah bertani sehingga program padat karya harus dipilihkan di sektor pertanian.

Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof Supra Wimbarti, menekankan, pemerintah harus segera memberikan perhatian kepada para pengungsi dari sisi psikologis. Tim UGM telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban. Tanpa penanganan lebih serius, kasus semacam ini akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

“Ini yang terjadi sekarang adalah masalah psikososial yang sudah lima bulan dan mencakup 30 ribu pengungsi. Dari bayi, anak-anak, remaja, orang tua, sangat tua, itu ada semua. Itu permasalahannya yang sudah kami tengarai adalah gejala stress karena banyak yang kehilangan,” dia menambahkan.

Menurut Prof Supra, pegangan mereka yang bisa untuk hidup itu tanah pertanian, ternak, itu sudah tidak ada semua. Rumah tidak tahu bisa ditinggali lagi atau tidak. Keluarga ada yang meninggal. Kemudian gejala depresi juga sudah ditengarai oleh psikolog di sana.

”Bahwa ada yang sudah melakukan percobaan bunuh diri karena tidak bisa menerima cobaan yang mereka rasakan sangat amat berat,” ujarnya.

Dalam waktu dekat, UGM juga akan mengirimkan sejumlah mahasiswa psikologi untuk melakukan pendampingan selama satu bulan di lokasi bencana. Tidak hanya para pengungsi, tim UGM juga akan memberikan pendampingan psikologis kepada para relawan dan aparat Pemkab Karo.

Hal ini diperlukan, menurut mereka, karena penelitian awal menunjukkan, hampir seluruh pihak di kawasan bencana mengalami stress akibat  erupsi Sinabung yang telah berlangsung selama lima bulan.  (bbs/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/