27.8 C
Medan
Sunday, May 26, 2024

15 Hari Sekali Kereta Api Tabrakan

kereta-api
Sumut butuh ratusan pintu neng-nong.

MEDAN, SUMUTPOS.CO–Tragedi Bintaro II di Jakarta yang menewaskan sembilan orang menyentak Indonesia. Beberapa daerah mulai memperhatikan perlintasan kereta api yang ada di kawasan mereka sebagai antisipasi agar ‘Tragedi Bintaro’ tak mampir. Dan, dari 347 perlintasan Kereta Api di Wilayah Sumut-NAD, 249 perlintasan tanpa pintu neng-nong alias tanpa palang pintu. Dengan keadaan itu, dalam 2013 ini sudah terjadi 34 kecelakaan. Dengan kata lain, setiap 15 hari, kereta api di Sumut Pasti alami kecelakaan.

Setidaknya hal ini diungkapkan kepala Humas PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional Sumut-NAD. Dikatakannya, dari 249  perlintasan tanpa pintu neng-nong itu, perlintasan resmi tidak dijaga sebanyak 136, perlintasan liar sebanyak 109, dan perlintasan tidak sebidang sebanyak 4n
Dia tak membantah kalau kondisi tersebut sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Apalagi perlintasan ilegal itu, sudah tentu tidak dilengkapi dengan penjaga, palang pintu, apalagi lampu peringatan.

Rapino mengaku, pembukaan perlintasan yang membelah jalur kereta api saat ini sulit dielakkan. Khususnya akibat perluasan wilayah pembangunan. Di mana pada umumnya, pembukaan perlintasan itu, untuk membuka akses jalan ke lokasi-lokasi tertentu, khususnya lokasi pemukiman baru. Namun ia menegaskan, jika berdasarkan ketentuan perundang-undang, menyiapkan penjagaan, pintu perlintasan maupun lampu peringatan, bukanlah tanggung jawab PT KAI. Melainkan tanggung jawab pemerintah daerah selaku pemilik wilayah.

“Kami sudah membantu menyediakan palang pintu dan penyediaan penjaga perlintasan. Namun tentunya PT KAI tak sanggup menyediakan seluruh sarana dan personel tersebut untuk keseluruhan perlintasan . Oleh karena itu, PT KAI meminta agar pemerintah segera melengkapi sarana dan prasarana perlintasan itu, guna menghindari konflik antara masyarakat dan kereta api,” jelasnya.

Ketika ditanya mengenai pernah atau tidaknya pihak PT KAI mengimbau atau memberitahukan langsung kepada pihak Pemko/Pemkab terkait, Rapino mengatakan bahwasanya tanggung jawab tugas dan moral dari pemerintah setempat untuk memenuhi sarana tersebut.

“Kita hanya sering mengimbau melalui media. Soalnya bagaimana pihak pemerintah terkait tak memahami tanggung jawabnya,”ujarnya.

Terkait berapa jumlah kasus serta korban meninggal dan luka-luka sepanjang 4 tahun terakhir, Rapino mengatakan pihak PT KAI mempunyai data resmi soal itu, tetapi berhubung dia tidak sedang berada di kantornya karena sedang mengerjakan suatau urusan di Kisaran dia belum dapat memberikan rekap data tersebut.

“Tetapi kalau kasus kecelakaannya, untuk periode Januari hingga Desember (kemarin) 2013 ada sebanyak 34 kasus,” ujarnya.

“Kami tidak menginginkan itu (kecelakaan), tapi kami punya keterbatasan. Anggaran kami belum ada dan di UU juga sudah diatur, prasarana itu adalah tugas pemerintah,” jelasnya.

Selain ketersediaan prasarana, Rapino juga menilai terjadinya kecelakaan lalu lintas khususnya di perlintasan juga disebabkan karakter masyarakat yang masih tak peduli. “Kereta api itu tidak bisa berhenti mendadak, paling 1.000 meter baru bisa berhenti. Para pengendara kadang masa bodoh saja, dia pikir bisa berhenti seperti kendaraan biasa. Karakter bangsa kita ini kan begitu, mau buru-buru dan tidak mempertimbangkan bahayanya,” tambahnya.

Terkit itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan, Rendward Parapat mengaku pihaknya tidak pernah memasukkan pemasangan palang pintu dalam anggaran di instansinya. Menurut pengalamannya, anggaran untuk memasang sinyal tanda kereta api tiba ditampung oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara. “ Waktu saya menjabat Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Sumut memang ada anggaran untuk pemasangan sinyal, namun tidak untuk pemasangan palang pintu,” katanya di Balai Kota, Rabu (11/12).

Diakuinya saat ini masih banyak perlintasan yang tidak dijaga dan tidak berpintu, di mana titik itu rawan terjadi kecelakaan lalu lintas. Disinggung apakah pihaknya akan mempertimbangkan adanya anggaran untuk pemasangan palang pintu, Rendward mengaku belum bisa memastikannya.

“Kita pertimbangkan dahulu, dan Dinas Perhubungan Medan juga harus kordinasi terlebih dahulu dengan PT KAI,” ujar pria berkacamata ini.

Selain itu dirinya juga harus membicarakan ini kepada pimpinan yakni Sekda dan Plt Wali Kota. “ Saya tidak bisa ambil keputusan secara sepihak, harus ada izin dari atasan,” tambahnya.

Seperti diketahui, kecelakaan di perlintasan kereta api baru-baru ini terjadi di Jakarta. Adalah KRL yang bertabrakan dengan truk tangki Pertamina yang mengangkut BBM di perlintasan Pesanggrahan, Bintaro, Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013. Kerasnya tabrakan yang berlangsung pukul 11.13 di perlintasan Bintaro Permai itu membuat truk tangki berukuran jumbo (24 ribu liter) terseret sekitar 30 meter. Begitu kereta berhenti, terjadi ledakan dengan suara cukup keras, mirip adegan di film-film Hollywood.

Informasi yang dihimpun, KRL tersebut baru saja berangkat dari stasiun Pondok Ranji, Tangsel, hendak menuju ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menjelang TKP, tampak truk tangki pertamina sudah berada di tengah rel dari arah timur ke Barat. Tabrakan tidak terhindarkan, dan truk tersebut diseruduk dari bagian kiri.

Selain truk yang terseret 30 meter hingga terguling dan meledak, rangkaian gerbong KRL juga anjlok dan nyaris terguling. Gerbong pertama tampak miring hingga sekitar 45 derajat ke arah kanan. Gerbong kedua juga ikut terangkat. Selebihnya anjlok dan sebagian keluar jalur.

Penyebab tabrakan masih ada dua versi. Versi pertama, palang pintu perlintasan macet atau Pamuji, sang petugas palang pintu terlambat menutup jalur. Warga Bintaro itu diamankan polisi beberapa saat usai kejadian. Versi kedua, truk tangki Pertamina menerobos bersamaan dengan penutupan palang pintu perlintasan. Saat itu, kecepatan KRL diperkirakan 70 kilometer per jam. (tri/rud/dik)

kereta-api
Sumut butuh ratusan pintu neng-nong.

MEDAN, SUMUTPOS.CO–Tragedi Bintaro II di Jakarta yang menewaskan sembilan orang menyentak Indonesia. Beberapa daerah mulai memperhatikan perlintasan kereta api yang ada di kawasan mereka sebagai antisipasi agar ‘Tragedi Bintaro’ tak mampir. Dan, dari 347 perlintasan Kereta Api di Wilayah Sumut-NAD, 249 perlintasan tanpa pintu neng-nong alias tanpa palang pintu. Dengan keadaan itu, dalam 2013 ini sudah terjadi 34 kecelakaan. Dengan kata lain, setiap 15 hari, kereta api di Sumut Pasti alami kecelakaan.

Setidaknya hal ini diungkapkan kepala Humas PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional Sumut-NAD. Dikatakannya, dari 249  perlintasan tanpa pintu neng-nong itu, perlintasan resmi tidak dijaga sebanyak 136, perlintasan liar sebanyak 109, dan perlintasan tidak sebidang sebanyak 4n
Dia tak membantah kalau kondisi tersebut sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Apalagi perlintasan ilegal itu, sudah tentu tidak dilengkapi dengan penjaga, palang pintu, apalagi lampu peringatan.

Rapino mengaku, pembukaan perlintasan yang membelah jalur kereta api saat ini sulit dielakkan. Khususnya akibat perluasan wilayah pembangunan. Di mana pada umumnya, pembukaan perlintasan itu, untuk membuka akses jalan ke lokasi-lokasi tertentu, khususnya lokasi pemukiman baru. Namun ia menegaskan, jika berdasarkan ketentuan perundang-undang, menyiapkan penjagaan, pintu perlintasan maupun lampu peringatan, bukanlah tanggung jawab PT KAI. Melainkan tanggung jawab pemerintah daerah selaku pemilik wilayah.

“Kami sudah membantu menyediakan palang pintu dan penyediaan penjaga perlintasan. Namun tentunya PT KAI tak sanggup menyediakan seluruh sarana dan personel tersebut untuk keseluruhan perlintasan . Oleh karena itu, PT KAI meminta agar pemerintah segera melengkapi sarana dan prasarana perlintasan itu, guna menghindari konflik antara masyarakat dan kereta api,” jelasnya.

Ketika ditanya mengenai pernah atau tidaknya pihak PT KAI mengimbau atau memberitahukan langsung kepada pihak Pemko/Pemkab terkait, Rapino mengatakan bahwasanya tanggung jawab tugas dan moral dari pemerintah setempat untuk memenuhi sarana tersebut.

“Kita hanya sering mengimbau melalui media. Soalnya bagaimana pihak pemerintah terkait tak memahami tanggung jawabnya,”ujarnya.

Terkait berapa jumlah kasus serta korban meninggal dan luka-luka sepanjang 4 tahun terakhir, Rapino mengatakan pihak PT KAI mempunyai data resmi soal itu, tetapi berhubung dia tidak sedang berada di kantornya karena sedang mengerjakan suatau urusan di Kisaran dia belum dapat memberikan rekap data tersebut.

“Tetapi kalau kasus kecelakaannya, untuk periode Januari hingga Desember (kemarin) 2013 ada sebanyak 34 kasus,” ujarnya.

“Kami tidak menginginkan itu (kecelakaan), tapi kami punya keterbatasan. Anggaran kami belum ada dan di UU juga sudah diatur, prasarana itu adalah tugas pemerintah,” jelasnya.

Selain ketersediaan prasarana, Rapino juga menilai terjadinya kecelakaan lalu lintas khususnya di perlintasan juga disebabkan karakter masyarakat yang masih tak peduli. “Kereta api itu tidak bisa berhenti mendadak, paling 1.000 meter baru bisa berhenti. Para pengendara kadang masa bodoh saja, dia pikir bisa berhenti seperti kendaraan biasa. Karakter bangsa kita ini kan begitu, mau buru-buru dan tidak mempertimbangkan bahayanya,” tambahnya.

Terkit itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan, Rendward Parapat mengaku pihaknya tidak pernah memasukkan pemasangan palang pintu dalam anggaran di instansinya. Menurut pengalamannya, anggaran untuk memasang sinyal tanda kereta api tiba ditampung oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara. “ Waktu saya menjabat Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Sumut memang ada anggaran untuk pemasangan sinyal, namun tidak untuk pemasangan palang pintu,” katanya di Balai Kota, Rabu (11/12).

Diakuinya saat ini masih banyak perlintasan yang tidak dijaga dan tidak berpintu, di mana titik itu rawan terjadi kecelakaan lalu lintas. Disinggung apakah pihaknya akan mempertimbangkan adanya anggaran untuk pemasangan palang pintu, Rendward mengaku belum bisa memastikannya.

“Kita pertimbangkan dahulu, dan Dinas Perhubungan Medan juga harus kordinasi terlebih dahulu dengan PT KAI,” ujar pria berkacamata ini.

Selain itu dirinya juga harus membicarakan ini kepada pimpinan yakni Sekda dan Plt Wali Kota. “ Saya tidak bisa ambil keputusan secara sepihak, harus ada izin dari atasan,” tambahnya.

Seperti diketahui, kecelakaan di perlintasan kereta api baru-baru ini terjadi di Jakarta. Adalah KRL yang bertabrakan dengan truk tangki Pertamina yang mengangkut BBM di perlintasan Pesanggrahan, Bintaro, Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013. Kerasnya tabrakan yang berlangsung pukul 11.13 di perlintasan Bintaro Permai itu membuat truk tangki berukuran jumbo (24 ribu liter) terseret sekitar 30 meter. Begitu kereta berhenti, terjadi ledakan dengan suara cukup keras, mirip adegan di film-film Hollywood.

Informasi yang dihimpun, KRL tersebut baru saja berangkat dari stasiun Pondok Ranji, Tangsel, hendak menuju ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menjelang TKP, tampak truk tangki pertamina sudah berada di tengah rel dari arah timur ke Barat. Tabrakan tidak terhindarkan, dan truk tersebut diseruduk dari bagian kiri.

Selain truk yang terseret 30 meter hingga terguling dan meledak, rangkaian gerbong KRL juga anjlok dan nyaris terguling. Gerbong pertama tampak miring hingga sekitar 45 derajat ke arah kanan. Gerbong kedua juga ikut terangkat. Selebihnya anjlok dan sebagian keluar jalur.

Penyebab tabrakan masih ada dua versi. Versi pertama, palang pintu perlintasan macet atau Pamuji, sang petugas palang pintu terlambat menutup jalur. Warga Bintaro itu diamankan polisi beberapa saat usai kejadian. Versi kedua, truk tangki Pertamina menerobos bersamaan dengan penutupan palang pintu perlintasan. Saat itu, kecepatan KRL diperkirakan 70 kilometer per jam. (tri/rud/dik)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/