BATANGTORU, SUMUTPOS.CO – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut terus melibatkan masyarakat setempat dalam upaya menjaga kelestarian kawasan Batangtoru.
Hal ini karena masyarakat setempat telah memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutan dan habitatnya sejak 100 tahun lalu, yang juga telah diadopsi menjadi landasan hukum yang disahkan Bupati Tapsel sejak tahun 1994.
Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi mengatakan, pihaknya sudah sejak lama menetapkan kawasan konservasi Cagar Alam (CA) Dolok Sibualbuali sebagai situs pemantau terhadap keberadaan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Saat ini diperkirakan orangutan di dalam area konservasi itu sebanyak 15 individu di kawasan yang mampu mendukung kehidupan 47 individu orangutan.
Monitoring pun dilakukan BBKSDA di dua lokasi areal penggunaan lain (APL) di Kecamatan Sipirok dan Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapsel. Pelibatan masyarakat dalam langkah ini diperkuat dengan sosialisasi dan penyadartahuan.
“Petugas Balai Besar KSDA Sumatera Utara juga terus menyosialisasikan dan penyadartahuan bagi masyarakat sekitar kawasan Batangtoru dan para pemangku kepentingan untuk menjaga lansekap Batangtoru,” kata Hotmauli Sianturi kepada wartawan, Kamis (11/10).
Diakuinya, keterlibatan masyarakat dalam menjaga kelestarian alam sangat penting. Keberadaan orangutan Tapanuli sebagai spesies baru dinilai juga berkat kepedulian masyarakat dalam merawat hutan dengan baik.
Hukum adat yang telah berjalan selama satu abad ini sudah mendapat legalitas itu kini diterapkan di empat desa di Kecamatan Marandar, yakni Haunatas, Tanjung Rompa, Siranap dan Bonan Dolok. Hukum itu turut mengatur kawasan CA Dolok Sibualbuali yang menjadi habitat orangutan tapanuli dan bagian dari lansekap Batangtoru.
“Selama ini yang bekerja sama dan terlibat dalam pengelolan hutan adalah masyarakat lokal atau tempatan. Masyarakat diupayakan memiliki kontribusi dalam pengelolaan kawasan hutan dengan pengembangan program pembinaan daerah penyangga,” jelas Hotmauli.
Sebagai langkah mengantisipasi konflik Orangutan dengan manusia, BBKSDA jauh-jauh hari sudah dibekali SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/535/KPTS/2011 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar Provinsi Sumatera Utara dan SK Gubernur Sumut Nomor 188.44/536/KPTS/2011 tentang Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar Provinsi Sumatera Utara.
Sebelumnya BBKSDA juga melakukan pemetaan daerah rawan dan mengimbau masyarakat tidak melintasi daerah rawan sendirian di atas pukul 17.30 WIB, serta menghindari konversi lahan berhutan yang menjadi habitat satwa liar.
“Kami juga memberikan pemahaman tentang cara penggiringan atau pengusiran satwa liar dengan membuat sumber bunyi-bunyian seperti mercon, meriam karbit, pemasangan obor dan lainnya,” jelasnya.
Inovasi yang dilakukan BBKSDA Sumut dalam menjaga kelestarian hutan tidak berhenti di sini. Dengan menggandeng pemerintah daerah, mereka menyusun tata ruang dan mengalokasikan areal yang menjadi habitat Orangutan tapanuli dan koridor hidupan liar sebagai areal bernilai konservasi tinggi (ABKT) yang akan mendapatkan perhatian dan program khusus.
Program lainnya yang dilakukan bersama sejumlah mitra ialah menyusun tim yang berfungsi untuk monitoring satwa liar dan penaggulangan konflik satwa liar di lansekap Batangtoru khususnya di Tapsel. (rel/ila)