26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bupati Karo KO

Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti
Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti

MEDAN-Masa jabatan Kena Ukur Karo Jambi sebagai bupati akhirnya segera berakhir. Hal ini dipastikan setelah DPRD Karo menggelar rapat paripurna sebagai lanjutan dari keluarnya putusan kabul Mahkamah Agung terkait pemakzulan sang bupati. Karo Jambi knock out (KO) dan Wakil Bupati Karo Terkelin Brahmana bersiap menggantikannya.

Rapat paripurna pemakzulan yang digelar kemarin di DPRD Karo Jalan Veteran Kabanjahe sejatinya harus melalui voting. Pasalnya, ada  satu anggota dewan, Eka Jaya Sitepu dari Fraksi Karya Peduli Bangsa, menolak pengambilan keputusan pemakzulan secara aklamasi. “Saya akan tetap bersikap jika tidak sesuai dengan yang berlangsung. Harus dicatat ini menyangkut nama baik dan harga diri seseorang,” ujar Eka.

Hasilnya, ketika divoting, hanya Eka yang menolak pemberhentian Karo Jambi dari 31 anggota DPRD Karo yang hadir. Dalam sidang yang digelar sekira pukul 13.34 WIB itu, ada tiga anggota dewan yang absen alias tidak hadir. Maka tanpa ragu, Ketua DPRD Karo Effendi Sinukaban langsung mengetuk palu tanda DPRD berkeputusan memberhentikan Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Karo lewat keputusan no 1 tahun 2014 DPRD Karo. Palu ‘keramat’ ini lantas disambut tepuk tangan dari sebahagian besar anggota DPRD dan perwakilan massa yang tergabung dalam Gerakan Penyelamatan Tanah Karo Simalem ( GPTKS).

Sidang paripurna DPRD Karo merupakan amanat dari rapat pimpinan dan rapat badan musyawarah yang berlangsung di ruang kerja Ketua DPRD Karo beberapa jam sebelum gelar rapat akhir yang menentukan nasib Karo Jambi tadi. Sidang ini menurut Effendi Sinukaban adalah tindaklanjut dari turunnya salinan putusan Mahkamah Agung nomor 12/P.PTS/III/2014/01 P/KHS/2014 yang di dalamnya terdapat putusan Mahkamah Agung no 01 P/KHS/2014. Keputusan MA itu merupakan jawaban atas permohonan DPRD Karo no 172/P/09/I/2014 tanggal 10 Januari 2014 yang memuat keputusan DPRD Karo no 13 tahun 2013 tertanggal 20 Desember 2013 tentang pendapat DPRD Karo terhadap dugaan pelanggaran etika dan perundang-undangan yang dilakukan oleh DR ( HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Karo.

Di salinan itu, tambah Effendi yang membacakannya bergantian dengan wakil ketua Ferianta Purba, dilampirkan pertimbangan para hakim MA menilai dugaan pelanggaran etika dan peraturan antara lain yang menyangkut keterlibatan dan keberadaan Endang Rimenda Molek br Ginting dalam Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Karo, keikutsertaan Karo Jambi sebagai pengurus di Yayasan Pendidikan SMA Plus Karo Jambi.

Berikutnya, tidak merespon surat DPRD Karo, bertindak tidak sesuai aturan dalam pengangkatan jabatan struktural di lingkungan Pemkab Karo, kerja sama yang tidak patut dengan pihak ketiga. Atas ini semua, pemohon disebut MA sebagaimana dibacakan Effendi dalam mengambil keputusan pemberhentian yang menjadi objek permohonan sudah sesuai dengan mekanisme. Apalagi disebutkan, termohon (Bupati Karo) terindikasi tidak menghargai eksistensi lembaga DPRD Karo sebagai perwakilan masyarakat Karo.

Dasar itu pulalah yang membuat MA kemudian mengadili dengan mengabulkan permohonan DPRD Karo nomor 172/P/09/1/2014 tanggal 10 Januari 2014. Kemudian menyatakan keputusan DPRD Karo nomor 13 tanggal 20 Desember 2013 tentang pendapat DPRD Karo terhadap dugaan pelanggaran etika dan peraturan perundang undangan yang dilakukan oleh DR ( HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Karo sudah berdasarkan hukum.

Usai sidang, Ketua DPRD Karo, Effendi Sinukaban didampingi sejumlah pimpinan dan anggota DPRD Karo menyatakan keputusan yang dihasilkan dalam rapat paripurna pemberhentian Karo Jambi akan diantar paling lambat hari Senin (17/3) secara bersamaan, baik ke gubsu, mendagri, dan presiden.

Selain itu, dampak dari transisi politik yang terjadi ini, Sinukaban juga mengimbau kepada Karo Jambi agar tidak lagi melangsungkan kebijakan strategis seperti mutasi sembari menunggu turunnya keputusan dari presiden melalui mendagri dalam tiga puluh hari kedepan sejak tanggal penyerahan hasil paripurna DPRD Karo. “Tidak hanya imbauan belaka, kita juga akan sampaikan surat langsung kepada yang bersangkutan agar tidak mengambil kebijakan strategis demi menjaga kondusifitas di Karo,” tegas Effendi.

Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho mengaku menunggu surat putusan DPRD Karo tersebut. “Ya kalau pun kami menerimanya maka kami akan meneruskan pada menteri dalam negeri,” ujar Gatot.

Kemendagri Siap Tindak Lanjuti

Dari Jakarta, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan siap memproses pelengseran Bupati Karo, begitu nantinya DPRD Karomenyampaikan hasil rapat paripurna yang memutuskan pelengseran dimaksud, kemarin (13/3).

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan menjelaskan, hasil paripurna DPRD harus disampaikan ke Mendagri Gamawan Fauzi melalui Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

“Begitu nanti kita terima, maka akan kita kaji prosedurnya, substansinya, apakah sudah memenuhi ketentuan atau belum. Kalau sudah ya sudah, kita keluarkan pengesahan pemberhentian lewat Keputusan Presiden,” ujar Djohermansyah Djohan kepada koran ini di Jakarta, kemarin.

Sekadar catatan, kasus Karo ini memang kurang mendapat perhatian dari media nasional. Ini bisa dilihat dari reaksi Djohermansyah Djohan, yang tidak tahu bahwa ada proses pelengseran Bupati Karo.

“Karo ya? Apakah sudah ada putusan MA? Wah, kalau sudah ya ini yang kedua, karena baru ada kasus Garut (pelengseran bupati Aceng Fikri, Red),” ujar birokrat bergelar profesor itu saat menerima pertanyaan koran ini.

Dibeberkan mantan Deputi Bidang Politik Kantor Seswapres era Jusuf Kalla itu, aturan pelengseran kepala daerah seperti diatur di UU Nomor 32 Tahun 2004, sebenarnya sudah dibuat sangat ketat.

Pengetatan prosedur dilakukan agar jangan sampai kepala daerah yang dipilih lewat pilkada langsung, dengan biaya yang cukup besar, begitu mudah dilengserkan oleh DPRD.

Ketatnya aturan itu antara lain bahwa usulan pemberhentian harus disetujui 2/3 jumlah anggota dewan. Jika sudah terpenuhi, harus diuji lagi lewat proses hukum di Mahkamah Agung (MA). “Begitu sudah keluar putusan hukum, balik lagi ke proses politik, yakni ke DPRD. Kalau ternyata semua tahapan yang ketat itu sudah bisa dilewati, ya sudah, tidak ada pilihan lain, berakhir lah sudah jabatan kepala daerah itu,” pungkas mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) itu. (nng/smg/sam/rud/rbb)

Terkelin Dua Bulan Lagi Definitif

Pelengseran Bupati Kena Ukur Surbakti merupakan kasus pelengseran kepala daerah yang kedua kalinya pernah terjadi sejak digelarnya pilkada langsung 2005 silam. Kasus yang pertama dialami Bupati Garut, Aceng Fikri.

“Iya, Karo ini yang kedua. Yang pertama kasus Garut itu,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan kepada koran ini di Jakarta, kemarin.

Dengan demikian, wajar sekiranya memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk tahapan pelengseran bupati Karo hingga tuntas, dengan kasus Garut.

Untuk jeda waktu antara keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) hingga digelarnya paripurna DPRD, sudah mirip.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan DPRD Garut untuk pelengseran Aceng pada 26 Desember 2012. Selanjutnya, DPRD Garut menggelar paripurna pelengseran Aceng pada 1 Februari 2013.  Ada jeda sekitar sebulan lebih sedikit.

Mirip dengan kasus Karo, MA membuat putusan 13 Februari 2014 dan DPRD Karo menggelar paripurna pada 13 Maret 2014. Selang pas satu bulan.

Mari kita lihat tahapan di Garut selanjutnya, untuk memperkirakan berapa lama lagi pelengseran bupati Karo bisa tuntas, hingga Wakil Bupati Karo Terkelin Brahmana dilantik sebagai bupati Karo definitif.

Setelah DPRD Garut menggelar paripurna 1 Februari 2013, pada 4 Februari 2013, keputusan paripurna disampaikan ke presiden melalui mendagri. Lantas, Kepres pengesahan pelengseran Aceng diteken Presiden SBY pada 20 Februari 2013.

Meski pasal 123 huruf (e) PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepada daerah mengatur bahwa presiden punya waktu 30 hari untuk memprosesnya, namun ternyata dalam kasus Garut, Kepres pengesahan pelengseran Aceng sudah keluar dalam waktu 16 hari.

Setelah keluar Kepres pelengseran Aceng, terhitung sejak 25 Februari 2013 tugas-tugas Aceng dialihtugaskan kepada Wakil Bupati Agus Hamdani yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Garut. Jadi, Agus tidak langsung menjadi bupati Garut definitif.Mendagri Gamawan Fauzi pernah menjeaslan, pengangkatan wakil bupati itu tidak lantas langsung tetap, melainkan hannya sementara alias plt.

“Sebab, dalam aturannya, pengangkatan wakil menjadi bupati definitif bisa dilakukan setelah ada rekomendasi dari DPRD,” ujar Gamawan. Usulan pengangkatan Plt bupati menjadi bupati definitif, disampaikan ke mendagri melalui gubernur.

Nah, setelah DPRD Garut menggelar paripurna lagi untuk mengusulkan pengangkatan Plt bupati dan meneruskannya ke mendagri, lantas Mendagri menerbitkan SK pengangkatan Plt bupati menjadi bupati Garut definitif.

Selanjutnya, pada 4 April 2013, Plt Bupati Garut Agus Hamdani dilantik menjadi sebagai bupati Garut definitif.

Dengan demikian, jeda waktu antara DPRD Garut menggelar paripurna (1 Februari 2013) hingga dilantiknya bupati definitif pengganti Aceng, sekitar dua bulan.

Jika kasus Garut itu dijadikan acuan perkiraan waktu, maka kemungkinan Terkelin Brahmana baru akan menyandang jabatan sebagai bupati Karo definitif, pada sekitar pertengahan Mei 2014. Atau dua bulan sejak DPRD Karo menggelar paripurna 13 Maret 2014.

Sekadar catatan, pengambilan keputusan di paripurna DPRD untuk proses pelengseran kepala daerah, tidak harus aklamasi. Yang penting, 2/3 dari jumlah anggota dewan yang hadir dan sudah memenuhi kuorum (yakni 2/3 jumlah anggota dewan), sudah menyetujui pelengseran.

Hal ini diatur di PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepada daerah, Pasal 123 huruf d.

Bunyinya: Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden. (sam/rbb)

Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti
Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti

MEDAN-Masa jabatan Kena Ukur Karo Jambi sebagai bupati akhirnya segera berakhir. Hal ini dipastikan setelah DPRD Karo menggelar rapat paripurna sebagai lanjutan dari keluarnya putusan kabul Mahkamah Agung terkait pemakzulan sang bupati. Karo Jambi knock out (KO) dan Wakil Bupati Karo Terkelin Brahmana bersiap menggantikannya.

Rapat paripurna pemakzulan yang digelar kemarin di DPRD Karo Jalan Veteran Kabanjahe sejatinya harus melalui voting. Pasalnya, ada  satu anggota dewan, Eka Jaya Sitepu dari Fraksi Karya Peduli Bangsa, menolak pengambilan keputusan pemakzulan secara aklamasi. “Saya akan tetap bersikap jika tidak sesuai dengan yang berlangsung. Harus dicatat ini menyangkut nama baik dan harga diri seseorang,” ujar Eka.

Hasilnya, ketika divoting, hanya Eka yang menolak pemberhentian Karo Jambi dari 31 anggota DPRD Karo yang hadir. Dalam sidang yang digelar sekira pukul 13.34 WIB itu, ada tiga anggota dewan yang absen alias tidak hadir. Maka tanpa ragu, Ketua DPRD Karo Effendi Sinukaban langsung mengetuk palu tanda DPRD berkeputusan memberhentikan Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Karo lewat keputusan no 1 tahun 2014 DPRD Karo. Palu ‘keramat’ ini lantas disambut tepuk tangan dari sebahagian besar anggota DPRD dan perwakilan massa yang tergabung dalam Gerakan Penyelamatan Tanah Karo Simalem ( GPTKS).

Sidang paripurna DPRD Karo merupakan amanat dari rapat pimpinan dan rapat badan musyawarah yang berlangsung di ruang kerja Ketua DPRD Karo beberapa jam sebelum gelar rapat akhir yang menentukan nasib Karo Jambi tadi. Sidang ini menurut Effendi Sinukaban adalah tindaklanjut dari turunnya salinan putusan Mahkamah Agung nomor 12/P.PTS/III/2014/01 P/KHS/2014 yang di dalamnya terdapat putusan Mahkamah Agung no 01 P/KHS/2014. Keputusan MA itu merupakan jawaban atas permohonan DPRD Karo no 172/P/09/I/2014 tanggal 10 Januari 2014 yang memuat keputusan DPRD Karo no 13 tahun 2013 tertanggal 20 Desember 2013 tentang pendapat DPRD Karo terhadap dugaan pelanggaran etika dan perundang-undangan yang dilakukan oleh DR ( HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Karo.

Di salinan itu, tambah Effendi yang membacakannya bergantian dengan wakil ketua Ferianta Purba, dilampirkan pertimbangan para hakim MA menilai dugaan pelanggaran etika dan peraturan antara lain yang menyangkut keterlibatan dan keberadaan Endang Rimenda Molek br Ginting dalam Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Karo, keikutsertaan Karo Jambi sebagai pengurus di Yayasan Pendidikan SMA Plus Karo Jambi.

Berikutnya, tidak merespon surat DPRD Karo, bertindak tidak sesuai aturan dalam pengangkatan jabatan struktural di lingkungan Pemkab Karo, kerja sama yang tidak patut dengan pihak ketiga. Atas ini semua, pemohon disebut MA sebagaimana dibacakan Effendi dalam mengambil keputusan pemberhentian yang menjadi objek permohonan sudah sesuai dengan mekanisme. Apalagi disebutkan, termohon (Bupati Karo) terindikasi tidak menghargai eksistensi lembaga DPRD Karo sebagai perwakilan masyarakat Karo.

Dasar itu pulalah yang membuat MA kemudian mengadili dengan mengabulkan permohonan DPRD Karo nomor 172/P/09/1/2014 tanggal 10 Januari 2014. Kemudian menyatakan keputusan DPRD Karo nomor 13 tanggal 20 Desember 2013 tentang pendapat DPRD Karo terhadap dugaan pelanggaran etika dan peraturan perundang undangan yang dilakukan oleh DR ( HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Karo sudah berdasarkan hukum.

Usai sidang, Ketua DPRD Karo, Effendi Sinukaban didampingi sejumlah pimpinan dan anggota DPRD Karo menyatakan keputusan yang dihasilkan dalam rapat paripurna pemberhentian Karo Jambi akan diantar paling lambat hari Senin (17/3) secara bersamaan, baik ke gubsu, mendagri, dan presiden.

Selain itu, dampak dari transisi politik yang terjadi ini, Sinukaban juga mengimbau kepada Karo Jambi agar tidak lagi melangsungkan kebijakan strategis seperti mutasi sembari menunggu turunnya keputusan dari presiden melalui mendagri dalam tiga puluh hari kedepan sejak tanggal penyerahan hasil paripurna DPRD Karo. “Tidak hanya imbauan belaka, kita juga akan sampaikan surat langsung kepada yang bersangkutan agar tidak mengambil kebijakan strategis demi menjaga kondusifitas di Karo,” tegas Effendi.

Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho mengaku menunggu surat putusan DPRD Karo tersebut. “Ya kalau pun kami menerimanya maka kami akan meneruskan pada menteri dalam negeri,” ujar Gatot.

Kemendagri Siap Tindak Lanjuti

Dari Jakarta, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan siap memproses pelengseran Bupati Karo, begitu nantinya DPRD Karomenyampaikan hasil rapat paripurna yang memutuskan pelengseran dimaksud, kemarin (13/3).

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan menjelaskan, hasil paripurna DPRD harus disampaikan ke Mendagri Gamawan Fauzi melalui Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

“Begitu nanti kita terima, maka akan kita kaji prosedurnya, substansinya, apakah sudah memenuhi ketentuan atau belum. Kalau sudah ya sudah, kita keluarkan pengesahan pemberhentian lewat Keputusan Presiden,” ujar Djohermansyah Djohan kepada koran ini di Jakarta, kemarin.

Sekadar catatan, kasus Karo ini memang kurang mendapat perhatian dari media nasional. Ini bisa dilihat dari reaksi Djohermansyah Djohan, yang tidak tahu bahwa ada proses pelengseran Bupati Karo.

“Karo ya? Apakah sudah ada putusan MA? Wah, kalau sudah ya ini yang kedua, karena baru ada kasus Garut (pelengseran bupati Aceng Fikri, Red),” ujar birokrat bergelar profesor itu saat menerima pertanyaan koran ini.

Dibeberkan mantan Deputi Bidang Politik Kantor Seswapres era Jusuf Kalla itu, aturan pelengseran kepala daerah seperti diatur di UU Nomor 32 Tahun 2004, sebenarnya sudah dibuat sangat ketat.

Pengetatan prosedur dilakukan agar jangan sampai kepala daerah yang dipilih lewat pilkada langsung, dengan biaya yang cukup besar, begitu mudah dilengserkan oleh DPRD.

Ketatnya aturan itu antara lain bahwa usulan pemberhentian harus disetujui 2/3 jumlah anggota dewan. Jika sudah terpenuhi, harus diuji lagi lewat proses hukum di Mahkamah Agung (MA). “Begitu sudah keluar putusan hukum, balik lagi ke proses politik, yakni ke DPRD. Kalau ternyata semua tahapan yang ketat itu sudah bisa dilewati, ya sudah, tidak ada pilihan lain, berakhir lah sudah jabatan kepala daerah itu,” pungkas mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) itu. (nng/smg/sam/rud/rbb)

Terkelin Dua Bulan Lagi Definitif

Pelengseran Bupati Kena Ukur Surbakti merupakan kasus pelengseran kepala daerah yang kedua kalinya pernah terjadi sejak digelarnya pilkada langsung 2005 silam. Kasus yang pertama dialami Bupati Garut, Aceng Fikri.

“Iya, Karo ini yang kedua. Yang pertama kasus Garut itu,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan kepada koran ini di Jakarta, kemarin.

Dengan demikian, wajar sekiranya memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk tahapan pelengseran bupati Karo hingga tuntas, dengan kasus Garut.

Untuk jeda waktu antara keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) hingga digelarnya paripurna DPRD, sudah mirip.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan DPRD Garut untuk pelengseran Aceng pada 26 Desember 2012. Selanjutnya, DPRD Garut menggelar paripurna pelengseran Aceng pada 1 Februari 2013.  Ada jeda sekitar sebulan lebih sedikit.

Mirip dengan kasus Karo, MA membuat putusan 13 Februari 2014 dan DPRD Karo menggelar paripurna pada 13 Maret 2014. Selang pas satu bulan.

Mari kita lihat tahapan di Garut selanjutnya, untuk memperkirakan berapa lama lagi pelengseran bupati Karo bisa tuntas, hingga Wakil Bupati Karo Terkelin Brahmana dilantik sebagai bupati Karo definitif.

Setelah DPRD Garut menggelar paripurna 1 Februari 2013, pada 4 Februari 2013, keputusan paripurna disampaikan ke presiden melalui mendagri. Lantas, Kepres pengesahan pelengseran Aceng diteken Presiden SBY pada 20 Februari 2013.

Meski pasal 123 huruf (e) PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepada daerah mengatur bahwa presiden punya waktu 30 hari untuk memprosesnya, namun ternyata dalam kasus Garut, Kepres pengesahan pelengseran Aceng sudah keluar dalam waktu 16 hari.

Setelah keluar Kepres pelengseran Aceng, terhitung sejak 25 Februari 2013 tugas-tugas Aceng dialihtugaskan kepada Wakil Bupati Agus Hamdani yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Garut. Jadi, Agus tidak langsung menjadi bupati Garut definitif.Mendagri Gamawan Fauzi pernah menjeaslan, pengangkatan wakil bupati itu tidak lantas langsung tetap, melainkan hannya sementara alias plt.

“Sebab, dalam aturannya, pengangkatan wakil menjadi bupati definitif bisa dilakukan setelah ada rekomendasi dari DPRD,” ujar Gamawan. Usulan pengangkatan Plt bupati menjadi bupati definitif, disampaikan ke mendagri melalui gubernur.

Nah, setelah DPRD Garut menggelar paripurna lagi untuk mengusulkan pengangkatan Plt bupati dan meneruskannya ke mendagri, lantas Mendagri menerbitkan SK pengangkatan Plt bupati menjadi bupati Garut definitif.

Selanjutnya, pada 4 April 2013, Plt Bupati Garut Agus Hamdani dilantik menjadi sebagai bupati Garut definitif.

Dengan demikian, jeda waktu antara DPRD Garut menggelar paripurna (1 Februari 2013) hingga dilantiknya bupati definitif pengganti Aceng, sekitar dua bulan.

Jika kasus Garut itu dijadikan acuan perkiraan waktu, maka kemungkinan Terkelin Brahmana baru akan menyandang jabatan sebagai bupati Karo definitif, pada sekitar pertengahan Mei 2014. Atau dua bulan sejak DPRD Karo menggelar paripurna 13 Maret 2014.

Sekadar catatan, pengambilan keputusan di paripurna DPRD untuk proses pelengseran kepala daerah, tidak harus aklamasi. Yang penting, 2/3 dari jumlah anggota dewan yang hadir dan sudah memenuhi kuorum (yakni 2/3 jumlah anggota dewan), sudah menyetujui pelengseran.

Hal ini diatur di PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepada daerah, Pasal 123 huruf d.

Bunyinya: Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden. (sam/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/