MEDAN, SUMUTPOS.CO – Permasalahan bangkai babi masih menjadi perhatian pemerintah daerah Sumatera Utara (Sumut). Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Sumatera Utara mencatat, hingga Jumat (13/12), sebanyak 27.070 ekor babi di Sumut mati akibat virus hog cholera atau kolera babi.
Kepala Balai Veteriner Medan Agustia mengatakan, kematian ternak babi ini sangat cepat. Yang terlapor rata-rata 1.000-2.000 ekor per harin
Pihaknya sudah menyatakan babi yang mati terindikasi African Swine Fever (ASF), namun Menteri Pertanian hingga saat ini belum menyatakannya (declare).
Menurut Agustia, virus hog cholera sudah pernah dinyatakan tak lama setelah kematian ribuan babi di Sumut terjadi pada kurun 1993-1995. Saat itu, kasusnya juga bermula dari Dairi. “Berdasarkan ilmunya, ini (babi) kemungkinan akan habis semua. Karena pemain di case ini hog cholera ada, penyakit bakterial ada, ASF juga terindikasi,” katanya.
Angka 27.070 babi yang mati tersebut menyebar di 16 Kabupaten, yakni di Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Tebing Tinggi, Siantar, dan Langkat.
Pihaknya meyakini masih ada warga yang tidak melaporkan kematian babinya karena faktor jarak atau lokasi dan menguburnya secara swadaya. “Enam belas kabupaten/kota itu memang kantong ternak babi atau populasi babi di Sumut,” katanya.
Distanak: Bukan Dairi Pertama Terserang Hog Cholera
Sementara, kematian ternak babi di Kabupaten dairi hingga 10 Desember 2019 lalu, mencapai 5.547 ekor. Namun hingga kini, Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kabupaten Dairi belum mengetahui, jenis penyakit apa yang menyebabkan ternak-ternak babi ini mati.
Kepala Bidang (Kabid) Peternakan pada Distanak Dairi, John Manurung mengatakan, kalau hog cholera yang menyerang ternak babi saat ini, tentu sudah ada vaksinnya. “Kemungkinan besar yang mewabah sekarang ini bukan cholera,” kata John.
Karenanya, upaya yang dilakukan Distanak Dairi dengan menghambat penyebaran virus agar tidak meluas. Misalnya dengan melakukan biosekurity kandang, mengubur ternak yang mati. “Distanak juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat, penyakit ini tidak menular ke manusia. Distanak juga mengkampayekan kepada masyarakat, daging babi yang sehat aman di konsumsi,” tandasnya.
Dia juga menepis adanya anggapan bahwa virus hog cholera pertama kali terjadi di Dairi. Diakuinya, penyakit ini pernah terjadi di Kabupaten Dairi sekitar tahun 1998, tetapi bukan Dairi yang pertama. “Tapi kita yang lebih aktif dalam melaporkan setiap kejadian menimpa peternak,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, mewabahnya penyakit ternak babi di wilayah Dairi membuat ekonomi masyarakat merosot. Warga Dairi banyak menggantungkan sumber pencarian untuk kebutuhan hidup sehari-hari serta untuk menyekolahkan anak mereka dari beternak babi. Sejumlah peternak babi, Rey Sihombing dan Alexander Simamora mengaku merugi ratusan juta karena ratusan ekor ternak babi mereka mati.
Hal senada disampaikan Renty boru Situmorang (36) peternak babi di Desa Sitinjo 2 Kecamatan Sitinjo, babi miliknya yang masih hidup hingga saat ini sebanyak 9 ekor tidak laku dijual. Sebab, masyarakat sudah enggan makan daging babi baik dirumah makan maupun pesta membuat ternak itu tidak laku dijual dipasaran.
Padahal lanjut ibu muda itu, uang hasil menjual ternak babi diharapkan untuk membeli perlengkapan perayaan Natal tahun ini seperti beli baju anak-anaknya serta menyambut tahun baru 2020. Tetapi harapan itu semua sirna, ternak babi miliknya tidak menghasilkan uang, tandasnya. (jpnn/rud)