29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Suami-Istri Buta Divonis 35 Tahun Kasus Ganja oleh PN Labuhanbatu

Bebaskanlah,Kasihan Anak-anaknya

PONIEM, warga Jalan Batu Dusun Lorong IV Desa Sidorukun Kecamatan Bilahhulu Kabupaten Labuhanbatu itu masih terlihat tegar walau usianya sudah 70 tahun. Saat disambangi Sumut Pos, Rabu (14/11) di kediamannya, ibu dari Warsiah (53) terpidana kasus kepemilikan perantara jual beli ganja yang divonis 15 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat itu nampak ramah.

TUNJUKKAN SURAT: Poniem, orang tua Warsiah, terpidana  divonis 15 tahun penjara, saat memperlihatkan fotokopi surat grasi dari Presiden RI  SBY.//Joko/Sumut Pos
TUNJUKKAN SURAT: Poniem, orang tua Warsiah, terpidana yang divonis 15 tahun penjara, saat memperlihatkan fotokopi surat grasi dari Presiden RI SBY.//Joko/Sumut Pos

Saat wartawan Koran ini membuka pembicaraan terkait anak dan menantunya Muhamad Nur (51) yang juga diovonis 18 tahun penjara tersebut, wanita yang memiliki suami Jono (75) dan dikaruniai anak 7 itu mulai memperlihatkan wajah kesedihannya. “Oh, masalah yang dulu itu ya,” katanya saat ditemani dua anaknya yakni Ngadinem (42) dan Panut (47).

Mulailah mereka menceritakan awal kisah kehidupan Warsiah. Sejak usia dua tahun, Warsiah anak pertamanya tersebut dibawa oleh dirinya dan suaminya ke Kabupaten Labuhanbatu. Baru sebulan berdiam di desa kecamatan itu, Warsiah mengalami gangguan mata, bahkan sempat mengeluarkan darah. “Kayaknya sakitnya sejak umur dua tahun,” kenangnya mulai membuka pembicaraan.

Anak pertamanya yang kini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II-A, Rantauprapat itu lahir di Ketowimangun, Kebumen, Jawa Tengah. Akibat ketiadaan biaya, warsiah terkesan kurang perobatan hingga mengalami buta total. Namun dirinya tetap berusaha untuk melakukan perobatan, hingga akhirnya saat berusia sekitar 30 tahun, anaknya yang dituduh ikut menjadi perantara penjualan ganja dikirim ke sekolah khusus Pijat Tuna Netra di Tebing Tinggi.

Di sanalah berawal pertemuan Warsiah dengan suaminta Muhammad Nur warga kelahiran Aceh Utara. Selaku sesama penghuni sekolah khusus, mungkin keduanya serng bertemu dan berbicara hingga akhirnya Warsiah memberitahukan bahwa dirinya akan menikah. Selang beberapa tahun, Warsiah dan suaminya Muhammad Nur balik ke Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu dan membuka pijat tuna netra yang dilakoninya suaminya.

Kediaman kedua terpidana yang hanya berjarak sekitar 15 meter dengan Poniem ternyata membuat hubungan yang manis mulai meningkat, terlebih saat itu pasangan tuna netra tersebut sudah dikaruniai anak lelaki yang kini sedang menimba ilmu di SMA. Ternyata, sebelum berumah tangga, Warsiah selalu mengirimkan uang kepada Poniem.

“Uang simpanan kirimannya kepada saya itulah yang kami bangun rumah untuk orang itu dan sebagiannya dibantu sanak saudara. Makanya waktu orang itu pulang kampung, rumahnya sudah terbangun. Dia itu anak yang rajin bekerja dan pantang menyerah,” ujar Poniem sembari menyuguhkan segelas air putih dengan sepiring makanan ringan Bakwan goreng.

Waktu pun terus berjalan. Dikarenakan tidak terlalu mematok harga untuk memijat, langganan Warsiah dan Muhammad Nur terus bertambah. Kehidupan keduanya saat itu masih dalam kategori tidak kekurangan, walaupun keduanya tidak dapat melihat sama sekali. “Ya lumayanlah hasilnya, kalau untuk makan saja cukuplah,” tambah adik lelaki terpidana, Panut.

Namun kejadian yang sangat memilukan mereka sekaluarga itupun terjadi. Pada 4 Juni tahun 2007 lalu, seperti biasanya kediaman kedua terpidana didatangi seorang pria dan meminta untuk dipijat, setelah dipijat pria itupun permisi pulang. Tidak lama berselang, sejumlah polisi dari Mapolsek Aeknabara, Kecamatan Bilahhulu, Polres Labuhanbatu datang dan mengutarakan niat untuk melakukan penggeledahan di dalam rumah pasangan tuna netra tersebut.

Ternyata, aparat penegak hukum itu menemukan 10 bungkus besar ganja dibalut lakban di dalam kardus, Muhammad Nur dan Warsiah pun terkejut dan akhirnya diboyong untuk diperiksa. Setelah menjalani persidangan beberapa kali di PN Rantauprapat, tepatnya 4 Pebruari 2008 keduanya divonis dengan masing-masing hukuman untuk Warsiah 15 tahun dan suaminya 18 tahun.

Saat Sumut Pos bertanya apakah selama ini kehidupan Warsiah dan suaminya selalu berhubungan dengan orang-orang yang selalu dicurigai dan selalu ramai dikunjungi warga hingga berlarut-larut malam, baik Panut, Ngadinem dan Poniem mengakui hal itu tidak pernah terjadi. “Kehidupannya biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, makanya kami heran waktu digerebek polisi,” jelas Panut lagi.

Sejak saat itulah, bahtera rumah tangga kedua pasutri tuna netra itu berjalan dari balik jeruji besi. Sementara tiga anaknya yang kini sudah bersekolah di SMA, SMP dan SD diasuh oleh keluarga Warsah. Sembari mengusap air matanya, Poniem masih terus berharap kalau anak dan menantunya itu secepatnya dibebaskan demi kelangsungan hidup ketiga cucucunya itu. “Ya kalau bisa cepat dibebaskanlah, kasihan anak-anaknya,” harapnya sembari mengusap matanya.

Saat disinggung tentang upaya Grasi atas putusan 15 tahun buat Warsiah dan 18 tahun untuk Muhammad Nur itu, Ngadinem selaku adik terpidana mengaku sempat mendengar keterangan dari kepala LP Lobusona beberapa tahun lalu bahwa Grasi kakaknya hanya tinggal menunggu putusan dari Mahkamah Agung. “Katanya tinggal nunggu putusan MA, kalau sekarang kami kurang tahu perkembangannya,” akunya.

Selang beberapa menit berbincang-bincang, Ngadinem teringat satu rangkap surat yang diterimanya dari seorang rekannya di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Ternyata, surat lima lembar tersebut adalah keputusan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono yang ditetapkan di Jakarta tanggal 9 Maret 2011 dengan nomor 5/G tentang pemberian Grasi kepada Warsiah dan suaminya dengan pengurangan hukuman masing-masing  5 tahun, sedangkan Nomor 6/G penolakan Grasi yang diajukan Muhammad Nur.

Ditanya apakah mereka tidak mengetahui kalau surat itu adalah sangat berharga, mereka mengaku tidak paham . “Surat fotokopi ini saja kami dapat dari kawan yang di Medan, kalau perkembangan selanjutnya kurang tahu pula kami. Makanya kami juga berharap ada yang menolong urusan ini, mana tahu bisa cepat dibebaskan. Lagian kasihan dia dipenjara itu,” ungkap mereka kembali berharap. (mag-16)

Bebaskanlah,Kasihan Anak-anaknya

PONIEM, warga Jalan Batu Dusun Lorong IV Desa Sidorukun Kecamatan Bilahhulu Kabupaten Labuhanbatu itu masih terlihat tegar walau usianya sudah 70 tahun. Saat disambangi Sumut Pos, Rabu (14/11) di kediamannya, ibu dari Warsiah (53) terpidana kasus kepemilikan perantara jual beli ganja yang divonis 15 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat itu nampak ramah.

TUNJUKKAN SURAT: Poniem, orang tua Warsiah, terpidana  divonis 15 tahun penjara, saat memperlihatkan fotokopi surat grasi dari Presiden RI  SBY.//Joko/Sumut Pos
TUNJUKKAN SURAT: Poniem, orang tua Warsiah, terpidana yang divonis 15 tahun penjara, saat memperlihatkan fotokopi surat grasi dari Presiden RI SBY.//Joko/Sumut Pos

Saat wartawan Koran ini membuka pembicaraan terkait anak dan menantunya Muhamad Nur (51) yang juga diovonis 18 tahun penjara tersebut, wanita yang memiliki suami Jono (75) dan dikaruniai anak 7 itu mulai memperlihatkan wajah kesedihannya. “Oh, masalah yang dulu itu ya,” katanya saat ditemani dua anaknya yakni Ngadinem (42) dan Panut (47).

Mulailah mereka menceritakan awal kisah kehidupan Warsiah. Sejak usia dua tahun, Warsiah anak pertamanya tersebut dibawa oleh dirinya dan suaminya ke Kabupaten Labuhanbatu. Baru sebulan berdiam di desa kecamatan itu, Warsiah mengalami gangguan mata, bahkan sempat mengeluarkan darah. “Kayaknya sakitnya sejak umur dua tahun,” kenangnya mulai membuka pembicaraan.

Anak pertamanya yang kini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II-A, Rantauprapat itu lahir di Ketowimangun, Kebumen, Jawa Tengah. Akibat ketiadaan biaya, warsiah terkesan kurang perobatan hingga mengalami buta total. Namun dirinya tetap berusaha untuk melakukan perobatan, hingga akhirnya saat berusia sekitar 30 tahun, anaknya yang dituduh ikut menjadi perantara penjualan ganja dikirim ke sekolah khusus Pijat Tuna Netra di Tebing Tinggi.

Di sanalah berawal pertemuan Warsiah dengan suaminta Muhammad Nur warga kelahiran Aceh Utara. Selaku sesama penghuni sekolah khusus, mungkin keduanya serng bertemu dan berbicara hingga akhirnya Warsiah memberitahukan bahwa dirinya akan menikah. Selang beberapa tahun, Warsiah dan suaminya Muhammad Nur balik ke Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu dan membuka pijat tuna netra yang dilakoninya suaminya.

Kediaman kedua terpidana yang hanya berjarak sekitar 15 meter dengan Poniem ternyata membuat hubungan yang manis mulai meningkat, terlebih saat itu pasangan tuna netra tersebut sudah dikaruniai anak lelaki yang kini sedang menimba ilmu di SMA. Ternyata, sebelum berumah tangga, Warsiah selalu mengirimkan uang kepada Poniem.

“Uang simpanan kirimannya kepada saya itulah yang kami bangun rumah untuk orang itu dan sebagiannya dibantu sanak saudara. Makanya waktu orang itu pulang kampung, rumahnya sudah terbangun. Dia itu anak yang rajin bekerja dan pantang menyerah,” ujar Poniem sembari menyuguhkan segelas air putih dengan sepiring makanan ringan Bakwan goreng.

Waktu pun terus berjalan. Dikarenakan tidak terlalu mematok harga untuk memijat, langganan Warsiah dan Muhammad Nur terus bertambah. Kehidupan keduanya saat itu masih dalam kategori tidak kekurangan, walaupun keduanya tidak dapat melihat sama sekali. “Ya lumayanlah hasilnya, kalau untuk makan saja cukuplah,” tambah adik lelaki terpidana, Panut.

Namun kejadian yang sangat memilukan mereka sekaluarga itupun terjadi. Pada 4 Juni tahun 2007 lalu, seperti biasanya kediaman kedua terpidana didatangi seorang pria dan meminta untuk dipijat, setelah dipijat pria itupun permisi pulang. Tidak lama berselang, sejumlah polisi dari Mapolsek Aeknabara, Kecamatan Bilahhulu, Polres Labuhanbatu datang dan mengutarakan niat untuk melakukan penggeledahan di dalam rumah pasangan tuna netra tersebut.

Ternyata, aparat penegak hukum itu menemukan 10 bungkus besar ganja dibalut lakban di dalam kardus, Muhammad Nur dan Warsiah pun terkejut dan akhirnya diboyong untuk diperiksa. Setelah menjalani persidangan beberapa kali di PN Rantauprapat, tepatnya 4 Pebruari 2008 keduanya divonis dengan masing-masing hukuman untuk Warsiah 15 tahun dan suaminya 18 tahun.

Saat Sumut Pos bertanya apakah selama ini kehidupan Warsiah dan suaminya selalu berhubungan dengan orang-orang yang selalu dicurigai dan selalu ramai dikunjungi warga hingga berlarut-larut malam, baik Panut, Ngadinem dan Poniem mengakui hal itu tidak pernah terjadi. “Kehidupannya biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, makanya kami heran waktu digerebek polisi,” jelas Panut lagi.

Sejak saat itulah, bahtera rumah tangga kedua pasutri tuna netra itu berjalan dari balik jeruji besi. Sementara tiga anaknya yang kini sudah bersekolah di SMA, SMP dan SD diasuh oleh keluarga Warsah. Sembari mengusap air matanya, Poniem masih terus berharap kalau anak dan menantunya itu secepatnya dibebaskan demi kelangsungan hidup ketiga cucucunya itu. “Ya kalau bisa cepat dibebaskanlah, kasihan anak-anaknya,” harapnya sembari mengusap matanya.

Saat disinggung tentang upaya Grasi atas putusan 15 tahun buat Warsiah dan 18 tahun untuk Muhammad Nur itu, Ngadinem selaku adik terpidana mengaku sempat mendengar keterangan dari kepala LP Lobusona beberapa tahun lalu bahwa Grasi kakaknya hanya tinggal menunggu putusan dari Mahkamah Agung. “Katanya tinggal nunggu putusan MA, kalau sekarang kami kurang tahu perkembangannya,” akunya.

Selang beberapa menit berbincang-bincang, Ngadinem teringat satu rangkap surat yang diterimanya dari seorang rekannya di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Ternyata, surat lima lembar tersebut adalah keputusan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono yang ditetapkan di Jakarta tanggal 9 Maret 2011 dengan nomor 5/G tentang pemberian Grasi kepada Warsiah dan suaminya dengan pengurangan hukuman masing-masing  5 tahun, sedangkan Nomor 6/G penolakan Grasi yang diajukan Muhammad Nur.

Ditanya apakah mereka tidak mengetahui kalau surat itu adalah sangat berharga, mereka mengaku tidak paham . “Surat fotokopi ini saja kami dapat dari kawan yang di Medan, kalau perkembangan selanjutnya kurang tahu pula kami. Makanya kami juga berharap ada yang menolong urusan ini, mana tahu bisa cepat dibebaskan. Lagian kasihan dia dipenjara itu,” ungkap mereka kembali berharap. (mag-16)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/