Dame Ambarita, Sungai Garoga
SUMUTPOS.CO – Lubuk Larangan! Ini adalah konsep kearifan lokal yang banyak ditemui di kawasan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Larangan dimaksud adalah larangan memancing atau menjala ikan di lubuk yang ditetapkan, di luar panen massal yang ditentukan. Ketahuan melanggar, panitia berhak mengenakan denda!
ALIRAN air Sungai Garoga di Desa Garoga, Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan tampak jernih menyegarkan mata. Relatif dangkal, kedalamannya hanya sekitar 1-2 meter. Sejumlah ikan tampak berenang-renang bebas di dalam air. Sejumlah anak asyik bermain dan berenang.
“Sepanjang Sungai Garoga ini adalah lubuk larangan. Tapi untuk desa kami (Desa Garoga), lubuknya mulai dari titik sana sampai ke titik sana (sambil menunjuk titik dimaksud, Red),” kata Sahalatua Waruwu (43), Sekretaris Desa Garoga, kepada Metro Tabagsel, saat ditemui di titik pangkalan Lubuk Larangan, persisnya di bawah jembatan jalan lintas Batangtoru, belum lama ini.
Ia mengisahkan, dulu mungkin konsep Lubuk Larangan pernah diberlakukan di sungai itu. Namun kemudian tidak berlaku lagi selama puluhan tahun. “Kembali kami berlakukan tahun 2021 lalu. Konsepnya, kami menaburkan ribuan bibit ikan ke sungai. Kemudian menetapkan sungai sebagai lubuk larangan, dan melarang aktivitas memancing atau menjala hingga panen massal diberlakukan,” jelasnya.
Menurutnya, penetapan wilayah sungai menjadi Lubuk Larangan murni inisiatif masyarakat. Tujuannya, agar-agar ikan sungai bisa dinikmati bersama sekaligus memupuk kebersamaan di antara warga. “Jadi, ikannya bukan untuk dijual ya, tapi untuk dikonsumsi warga setempat,” katanya.
Ikan yang ditabur ada dua jenis. Pertama bibit ikan mas. Kedua bibit ikan jurung. Bibit diperoleh setelah warga meminta kepada PT Agincourt Resources (PTAR), yang mengelola Tambang Emas Martabe di Batangtoru Tapsel. Sungai Garoga sendiri selama ini memiliki ikan asli beruba ikan jurung, ikan lelan, dan ikan cencen.
PTAR melalui Departemen Community Relations, dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah sekitar Tambang Emas Martabe, menyumbangkan 10 ribu ekor bibit ikan pada tahun itu. “Tujuh ribu ekor bibit ikan jurung, dan 3 ribu ekor bibit ikan emas,” kata Waruwu.
Panitia Lubuk Larangan secara rutin member makan ikan berupa pellet, sekali dalam 2-3 hari. Ada 3 lubuk larangan tang ditetapkan, dengan pusat di lubuk pangkalan (bawah jembatan).
Selama proses pembesaran ikan, warga dilarang memancing atau menjala ikan di kawasan lubuk larangan. Jika ketahuan melanggar, akan dikenakan denda berupa uang. Jumlah denda tergantung alat yang dipakai. “Memancing, dikenakan denda Rp5 juta. Menjala, kena denda Rp10 juta,” katanya.
Bagaimana jika panitia yang melanggar ketentuan itu? “Denda dua kali lipat dari warga biasa,” katanya.
Klu panitia lubuk larangan kedapatan, denda dua kali lipat.
Apakah ada warga desa yang keberatan dengan peraturan itu? “Tidak. Malah masyarakat senang, bahkan mendorong panitia menjaga Lubuk Larangan ini,” katanya.
Bagaimana jika bibit ikan yang ditabur berenang di jalur sungai hingga ke wilayah desa lain?
“Ya tidak apa-apa. Silakan saja dinikmati desa lain,” katanya.
Ikan-ikan yang ditabur tahun 2021 lalu sudah dipanen beberapa bulan lalu. “Dipanen jelang Lebaran kemarin. Kenapa Lebaran? Karena saat itu warga kan lagi banyak tamu mudik. Jadi panen raya ikan untuk dimakan ramai-ramai. Jarak lubuk larangan yang ikannya kami panen kurang lebih 1 kilometer,” katanya.
Kata dia, saat panen pertama tersebut, sebanyak 203 KK warga Desa Garoga memperoleh masing-masing 1 kg ikan untuk dibawa ke rumah. Selebihnya dimakan beramai-ramai dengan cara dibakar, di tepi sungai sembari menikmati kebersamaan.
Saat panen, panitia menjual tiket karcis memancing seharga Rp100 ribu per orang. Memancong dibolehkan sehari sebelum panen raya. “Tahun lalu, ada 200 orang pembeli tiket memancing. Mereka datang dari Sibolga, Sidempuan, Batangtoru, dan daerah lainnya,” katanya bangga.
Uang hasil penjualan tiket disimpan sebagai biaya pemeliharaan dan pembesaran ikan.
Penaburan bibit ikan tahap kedua berlangsung pada Senin, 8 Agustus 2022. Saat itu, sebanyak 17.000 ekor bibit ikan jurung dan ikan mas ditebar ke lubuk larangan Sungai Garoga.
“Lubuk larangan di Tapanuli Selatan merupakan budaya turun temurun dan masih dipertahankan hingga saat ini. Kearifan itu sebagai bentuk upaya konservasi alam dan menjaga kelestarian sungai,” kata Waruwu
Saut Parulian Harahap, Senior Supervisor Community Relation PTAR mengatakan, sebenarnya bibit ikan sumbangan PTAR tahun itu hanya 7.000 ekor. Yakni 5.000 bibit ikan jurung, dan 2.000 ekor bibit ikan emas. “Sumbangan dari Dinas Perikanan Tapsel sebanyak 3.000 ekor,” jelasnya.
Sumbangan bibit ikan itu untuk mendukung program biodiversity lingkungan hidup.
Bagaimana cara masyarakat memperoleh bibit ikan dari PTAR?
“Pertama, mengajukan proposal. Nanti PTAR akan melakukan assessment. PTAR akan menilai apakah penerima manfaat layak dibantu. Jika dinilai layak, makan akan dibantu,” katanya.
Kata dia, meski bantuan serupa terbuka, tapi masyarakat lingkar tambang akan menjadi prioritas. Syaratnya, masyarakat harus merasa memiliki dan menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya. “Dan kami lihat, potensi Lubuk Larangan di Sungai Garoga bagus,” katanya.
Terbukti, ikan-ikan yang ditabur di Lubuk Larangan bertahan sesuai konsep Lubuk Larangan. Artinya, masyarakat setempat benar-benar peduli dengan kearifan lokal tersebut. “Jika begini, bantuan serupa berpeluang untuk berkelanjutan,” katanya.
Diharapkan, bibit ikan jurung dan mas ini dapat dipanen oleh masyarakat dalam waktu maksimal 2 tahun ke depan. Pelepasan ribuan bibit ikan di lubuk larangan kali ini merupakan yang kedua tahun ini, setelah penebaran bibit ikan di Lubuk Larangan Desa Batu Horing pada Juni 2022.
Sebagai program konservasi lingkungan hidup, PTAR memiliki program untuk perikanan, penanaman pohon, dan lainnya.
Manager Community Relations PTAR, Masdar Muda, sebelumnya menyatakan bahwa pelestarian lingkungan merupakan tanggungjawab kita semua. “Kami berharap muncul keterlibatan dan rasa memiliki terhadap Lubuk Larangan yang saat ini langka ada di Batangtoru. Kegiatan ini adalah terobosan kepala desa bekerjasama dengan PTAR. Kami berharap kegiatan ini berdampak besar bagi masyarakat desa,” ujar Masdar.
Lubuk Larangan dinilai sebagai kearifan lokal yang berpengaruh kuat dalam praktik-praktik adat konservasi alam serta menjaga kelestarian sungai dari pencemaran, pengrusakan atau eksploitasi berlebihan. Lubuk larangan adalah kebijakan adat kolektif untuk memperkuat kesadaran masyarakat dalam melestarikan jenis ikan lokal yang kian jarang dijumpai di sungai, utamanya spesies ikan jurung. Dalam kurun waktu tertentu masyarakat dilarang mengambil ikan dan biota sungai, agar bibit ikan dapat berkembang dengan baik. (mea)