DESA Seijawijawi, Kecamatan Panaihulu, Kabupaten Labuhanbatu terdiri dari 11 dusun. Satu di antaranya Dusun Patopis yang saat ini dihuni sekitar 33 Kepala Keluarga. Petani yang tinggal di Dusun seberang Sungai Bilah itu minim menerima bantuan dari pemerintah dalam meningkatkan produktifitas tani, sehingga hasil tanam pokok terus menurun. Ada pun bantuan yang mereka terima tidak mampu menggenjot hasil panen.
Seperti yang dialami Badaruddin Nasution, Zulkarnain Tanjung, Untung, Hasan, dan Nasib Nasution. Kepada Sumut Pos akhir pekan mereka mengaku kian berkurangnya hasil panen padi disebabkan beberapa hal, di antaranya minimnya pupuk dan benih yang diterima. Belakangan sebelum masa panen bulan Februari lalu, setiap petani mendapat bantuan 5 kilogram benih. “Berapapun lahan kita cuma itulah yang kita peroleh,” kata mereka.
Padahal, untuk setiap hektarenya, benih diperlukan sebanyak 50 kilogram. Parahnya, bibit/benih yang mereka terima hampir sebagian besar tidak dapat dipergunakan karena padi tidak tumbuh setelah ditanam.
“Itu pun didistribusikan sekitar satu bulan setelah warga melakukan musim tanam,” terang Badaruddin.
Alhasil warga mengambil inisiatif mengumpulkan seluruh bibit lalu memberikannya kepada petani lain. “Karena kalau kita gunakan itu tidak sangat cukup, belum lagi bibitnya tidak tumbuh. Bantuan itu kita sepakati seluruhnya diberikan kepada satu orang saja, jika ada lagi bantuan giliran lainnya menerimanya. Karena kalau begitu bisa jugalah membantu mengurangi biaya pembelian benih,” timpal Zulkarnain Tanjung diamini petani lainnya.
Sekarang, bantuan tidak setiap tahunnya mereka terima. Bahkan beberapa tahun lalu warga sempat membayar sejumlah uang sebagai pengganti lelah kepada petugas saat mengantarkan benih kepada petani. “Itupun tidak semuanya petani dapat,” sebutnya.
Mirisnya nasib petani ditambah dengan bantuan pupuk dari instansi terkait yang dinilai sangat tidak dirasakan manfaatnya. Pasalnya, petani membutuhkan sekitar 300 kilogram per-hektare-nya untuk tiga jenis pupuk terhitung mulai masa tanam hingga panen tiba. Namun masyarakat petani saat ini hanya menerima bantuan pupuk sekitar 45 kilogram. “Untuk satu hektare saja sangat-sangat tidak cukup,” tambah Tanjung.
Akibat minimnya bantuan seperti pupuk, benih, racun hama dan lainnya yang memadai, penghasilan panen untuk setiap hektarenya kini tinggal 2,5 ton setiap hektarenya. Padahal layaknya untuk setiap hektar jika didukung dengan bantuan yang baik akan mencapai 4-5 ton perhektar.
Situasi yang serba kekurangan itu mengakibatkan perekonomian warga kian terjepit. Jika panen tiba, gabah hasil dari pengguguran bulir padi dijual dengan harga sekitar Rp3.700 per-kilonya dan itu belum dihitung biaya pengeluarannya. Namun akibat kondisi, warga tetap mempertahankan tanaman padi sebagai mata pencarian walau hasilnya tidak pantas jika dibanding dengan tenaga serta waktu yang dibutuhkan.
“Apalagi sawah kami kan jenis tadah hujan. Kurangnya bantuan mengakibatkan minimnya hasil yang kami peroleh. Padahal dulunya sempat desa ini sebagai penghasil terbesar padi. Untuk dusun ini saja mencapai 5000-an ton perpanen. Kami berharap agar pemerintah membantu apa yang dibutuhkan agar areal persawahan tidak terus berkurang, apalagi usulan selalu diminta oleh aparat saat berkunjung kemari,” sebut petani serentak. (jok)