30 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Siswa Ujian di Tenda Darurat

Gempa Tektonik Taput-Tapsel

TAPUT-Gempa tektonik berkekuatan 5,5 Scala Richter (SR) yang terjadi di Tapanuli Utara (Taput) dan Tapanuli Selatan (Tapsel), Selasa (14/6) lalu telah merusak setidaknya 15 sekolah. Padahal, dalam minggu ini sejumlah siswa sedang melaksanakan ujian semestar.

Salah satu sekolah yang menggelar ujian adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Huria Kristen Indonesia (HKI) di Sarulla, Kecamatan Pahae Jae. Di sekolah ini, ada 204 siswa mengikuti ujian. Karena gedung sekolah mereka tidak bisa lagi digunakan dengan alasan keamanan, 204 siswa terpaksa ujian di tenda-tenda darurat, Kamis (16/6). Mereka tersebar di beberapa tenda yang berada di sekitar kompleks sekolah yang rusak parah akibat diguncang gempa.
Seorang guru SMK HKI, Saroha Nababan, mengatakan pihak sekolah tidak menemukan lokasi ujian meski telah berupaya mencari pengganti ruang kelas. Akhirnya pihak sekolah menyediakan tenda darurat sebagai alternatif ruang ujian. “Siswa terpaksa ujian di tenda darurat karena ruang kelas yang digunakan tempat belajar selama ini sebagian roboh. Ruang yang tersisa tidak cukup menampung jumlah siswa yang ujian semester,” kata Nababan.

Sefti Pakpahan, peserta ujian mengatakan, ujian di tenda darurat sangat tidak nyaman dan mengganggu konsentrasi, apalagi lokasi ujian hanya beratap tenda plastik. “Kami tidak mau ujian di ruang kelas karena takut tertimpa bangunan. Apalagi gempa susulan masih terjadi,” kata Sefti.

Sefti juga mengatakan tidak bisa melakukan persiapan maksimal sehari menjelang ujian semester karena tidak sempat belajar atau sekadar membuka buku pelajaran yang akan diujikan pada hari pertama, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

“Biasanya lembaran soal ujian dibagikan kepada tiap siswa. Tapi karena darurat, soal ujian terpaksa dibacakan guru. Jadi tidak konsentrasi,” sebut Sefti.

Kaji Ulang Konstruksi Bangunan

Peristiwa gempa bumi di Taput sudah berulangkali terjadi. Bahkan gempa 3 hari yang lalu yang merusak pemukiman  penduduk dan infrastruktur bukan kali pertama terjadi di Kawasan Pahae. Tahun 2005 saja juga terjadi hal yang sama. Berbagai pihak pun mengatakan, saatnya konstruksi bangunan di Kawasan Pahae  dikaji ulang.

Menko Kesra Agung Laksono, Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing dan Sekdakab Sanggam Hutagalung saat meninjau lokasi bencana di Pahae baru-baru ini, juga menganjurkan masyarakat untuk menyesuaikan pembangunan pemukiman dengan kondisi alam. Alasan mereka, hampir sebagian besar pemukiman yang hancur adalah akibat gempa tersebut adalah rumah semi permanen dan permanen. Ketiganya mengatakan bahwa ke depan masayarakat sudah harus memikirkan agar pembangunan rumah disesuaikan dengan alam.

“Tak dapat dipungkiri, setiap terjadi gempa di Taput, kawasan Pahae salah satu daerah yang paling banyak mengalami kerusakan fisik bangunan. Mungkin lebih baik agar konstruksi bangunan, bahannya terbuat dari kayu saja,” ujar Sanggam Hutagalung di Sarulla.

Secara terpisah, Dimpos Manalu MSi dari KSPPM Sumut yang juga turun ke lapangan mengatakan, saatnya konstruksi pembangunan rumah di Pahae dikaji ulang. Yang terjadi menurutnya adalah jika hanya menghitung secara konvensional, tanpa menyesuaikan dengan alam, alhasil, setiap terjadi gempa, kerusakan tidak dapat dihindarkan.
“Masyarakat di sana hanya berpatokan kepada ukuran bahan, ukuran besi yang belum tentu tahan gempa.

Setidaknya diperlukan spesifikasi  bangunan yang benar-benar cocok dengan daerah rawan  gempa, “sebutnya.
Melihat apa yang terjadi di Sarulla, sebut Dimpos, sudah sangat mendesak untuk dilakukan pemetaaan lokasi rawan gempa yang bisa dijelaskan secara mendetail, dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Beberapa tahun terakhir, seperti gempa 2008, di kawasan Pahae, lokasi terparah selalu di Kawasan Pahae Jae dan Sumangumban. Bahkan kerusakan beberapa tahun yang lalu, persis sama atau  tidak jauh dengan lokasi yang sekarang juga mengalami kerusakan meliputi jalan, longsoran tebing, rumah penduduk dan fasilitas umum. Misalnya, Desa Sipetang Kecamatan Simangumban  dan Sarulla Kecamatan Pahae Jae. Lokasi kerusakan rumah di Sipetang  3 tahun lalu, juga terjadi pada lokasi yang sama pada gempa kali ini. Kemudian daerah-daerah yang  longsor akibat gempa,  juga masih terjadi di lokasi yang sama, pada peristiwa beberapa tahun lalu.

“Konstruksi bangunan rumah penduduk di Pahae saatnya dikaji ulang. Apa yang disampaikan Menko Kesra, bupati dan sekda sangat penting untuk dilaksanakan oleh masayarakat Kawasan Pahae. Pemkab juga harus berupaya mendorong upaya perubahan ini,” ujar Martin Sitompul, salah seorang tokoh pemuda di Pahae.

Anggota DPRD Taput David PPH  Hutabarat ST juga mengatakan,  upaya yang paling penting sekarang dilakukan adalah bagaimana meminimalisir kerusakan terhadap setiap peristiwa terjadinya gempa. Salah satu contoh menurut dia adalah bangunan sekolah yang saat ini rusak, tentu saatnya untuk dikaji ulang dalam pembuatan konstruksinya.
“Kita bisa melihat apa yang terjadi di tahun 1884, 1987, 2005, dan 2011. Yang terjadi tentu akibat cesar (patahan) Sarulla yang menjadi bagian kecil dari  Patahan Semangko. Patahan Semangko sendiri adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung. Patahan ini sekarang yang mengalami fenomena, sehingga semua daerah-daerah yang dilalui patahan semangko tentu merupakan zona-zona rawan akses gempa. Maka yang perlu dilakukan adalah sosialisasi terhadap masyarakat dengan peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang ini. Sebab kita tak bisa menghindar dari itu, selain hanya mengantisipasi,” ungkap Jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB)  itu.

Soal pemetaaan gempa secara mendetail, David menyebutkan bahwa hal itu sulit diprediksi. “Khusus untuk gempa, saya pikir sangat sulit untuk diestimasi, berbeda dengan bencana alam lainnya seperti banjir dan longsor,” jelasnya.

Pemprov Lambat

Terkait lambannya Plt Gubernur Gatot Pujo Nugroho menanggapan bencana gempa Taput-tapsel, anggota dewan dari Frakdsi PDIP Brilian Moktar berkomentar, pemprovsu sudah seharusnya menjadi orang pertama yang menjenguk masyarakatnya.

“Kita sangat menyesali Gubsu tak hadir pada saat kunjungan Menkokesra ke Taput. Walau data update saat itu belum didapat dari Bupati Taput, paling tidak Plt Gubsu membuat konsep-konsep bantuan ke sana,” ujarnya, Kamis (16/6).

Brilian meminta Pemprovsu lebih sensitif dan secepatnya mengetahui kerusakan-kerusakan infrastruktur baik itu kesehatan, pendidikan maupun fasilitas umum. “Pemprovsu jangan hanya memperhatikan dari segi fisik, namun juga kejiwaan. masyarakat juga harus diberi treatment dalam mengembalikan ketakutan atau trauma mengenai bencana tersebut,” jelasnya.

Anggota dewan dari Komisi E, Nurhasanah menuturkan keterlambatan penanganan bencana oleh Pemprovsu ini karena Gatot terlihat memikul beban sendiri. “Dia harusnya membagi kewenangan. Jadi, sesibuk apapun dia, penanganan bencana harusnya diutamakan,” tuturnya.

Plt gubsu bersama dinas terkait harus bersama-sama menuntaskan masalah daerah. seperti dinas kesehatan,pendidikan dan lainnya. Nurhasanah juga menjelaskan, dengan memikul semua beban sendiri, semua skpd tak berfungsi sebagaimana seharusnya. “Seharusnya masalah yang datangnya mendadak apa lagi bencana, harus jadi prioritas untuk lebih dulu ditangani. Misalnya ada agenda ketemu SBY, jika ada bencana
pertemuan tersebut bisa dibatalkan, dan SBY tentunya tak marah,” tegas
anggota dewan dari Fraksi Demokrat ini. (mag-2/smg/saz)

Gempa Tektonik Taput-Tapsel

TAPUT-Gempa tektonik berkekuatan 5,5 Scala Richter (SR) yang terjadi di Tapanuli Utara (Taput) dan Tapanuli Selatan (Tapsel), Selasa (14/6) lalu telah merusak setidaknya 15 sekolah. Padahal, dalam minggu ini sejumlah siswa sedang melaksanakan ujian semestar.

Salah satu sekolah yang menggelar ujian adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Huria Kristen Indonesia (HKI) di Sarulla, Kecamatan Pahae Jae. Di sekolah ini, ada 204 siswa mengikuti ujian. Karena gedung sekolah mereka tidak bisa lagi digunakan dengan alasan keamanan, 204 siswa terpaksa ujian di tenda-tenda darurat, Kamis (16/6). Mereka tersebar di beberapa tenda yang berada di sekitar kompleks sekolah yang rusak parah akibat diguncang gempa.
Seorang guru SMK HKI, Saroha Nababan, mengatakan pihak sekolah tidak menemukan lokasi ujian meski telah berupaya mencari pengganti ruang kelas. Akhirnya pihak sekolah menyediakan tenda darurat sebagai alternatif ruang ujian. “Siswa terpaksa ujian di tenda darurat karena ruang kelas yang digunakan tempat belajar selama ini sebagian roboh. Ruang yang tersisa tidak cukup menampung jumlah siswa yang ujian semester,” kata Nababan.

Sefti Pakpahan, peserta ujian mengatakan, ujian di tenda darurat sangat tidak nyaman dan mengganggu konsentrasi, apalagi lokasi ujian hanya beratap tenda plastik. “Kami tidak mau ujian di ruang kelas karena takut tertimpa bangunan. Apalagi gempa susulan masih terjadi,” kata Sefti.

Sefti juga mengatakan tidak bisa melakukan persiapan maksimal sehari menjelang ujian semester karena tidak sempat belajar atau sekadar membuka buku pelajaran yang akan diujikan pada hari pertama, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

“Biasanya lembaran soal ujian dibagikan kepada tiap siswa. Tapi karena darurat, soal ujian terpaksa dibacakan guru. Jadi tidak konsentrasi,” sebut Sefti.

Kaji Ulang Konstruksi Bangunan

Peristiwa gempa bumi di Taput sudah berulangkali terjadi. Bahkan gempa 3 hari yang lalu yang merusak pemukiman  penduduk dan infrastruktur bukan kali pertama terjadi di Kawasan Pahae. Tahun 2005 saja juga terjadi hal yang sama. Berbagai pihak pun mengatakan, saatnya konstruksi bangunan di Kawasan Pahae  dikaji ulang.

Menko Kesra Agung Laksono, Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing dan Sekdakab Sanggam Hutagalung saat meninjau lokasi bencana di Pahae baru-baru ini, juga menganjurkan masyarakat untuk menyesuaikan pembangunan pemukiman dengan kondisi alam. Alasan mereka, hampir sebagian besar pemukiman yang hancur adalah akibat gempa tersebut adalah rumah semi permanen dan permanen. Ketiganya mengatakan bahwa ke depan masayarakat sudah harus memikirkan agar pembangunan rumah disesuaikan dengan alam.

“Tak dapat dipungkiri, setiap terjadi gempa di Taput, kawasan Pahae salah satu daerah yang paling banyak mengalami kerusakan fisik bangunan. Mungkin lebih baik agar konstruksi bangunan, bahannya terbuat dari kayu saja,” ujar Sanggam Hutagalung di Sarulla.

Secara terpisah, Dimpos Manalu MSi dari KSPPM Sumut yang juga turun ke lapangan mengatakan, saatnya konstruksi pembangunan rumah di Pahae dikaji ulang. Yang terjadi menurutnya adalah jika hanya menghitung secara konvensional, tanpa menyesuaikan dengan alam, alhasil, setiap terjadi gempa, kerusakan tidak dapat dihindarkan.
“Masyarakat di sana hanya berpatokan kepada ukuran bahan, ukuran besi yang belum tentu tahan gempa.

Setidaknya diperlukan spesifikasi  bangunan yang benar-benar cocok dengan daerah rawan  gempa, “sebutnya.
Melihat apa yang terjadi di Sarulla, sebut Dimpos, sudah sangat mendesak untuk dilakukan pemetaaan lokasi rawan gempa yang bisa dijelaskan secara mendetail, dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Beberapa tahun terakhir, seperti gempa 2008, di kawasan Pahae, lokasi terparah selalu di Kawasan Pahae Jae dan Sumangumban. Bahkan kerusakan beberapa tahun yang lalu, persis sama atau  tidak jauh dengan lokasi yang sekarang juga mengalami kerusakan meliputi jalan, longsoran tebing, rumah penduduk dan fasilitas umum. Misalnya, Desa Sipetang Kecamatan Simangumban  dan Sarulla Kecamatan Pahae Jae. Lokasi kerusakan rumah di Sipetang  3 tahun lalu, juga terjadi pada lokasi yang sama pada gempa kali ini. Kemudian daerah-daerah yang  longsor akibat gempa,  juga masih terjadi di lokasi yang sama, pada peristiwa beberapa tahun lalu.

“Konstruksi bangunan rumah penduduk di Pahae saatnya dikaji ulang. Apa yang disampaikan Menko Kesra, bupati dan sekda sangat penting untuk dilaksanakan oleh masayarakat Kawasan Pahae. Pemkab juga harus berupaya mendorong upaya perubahan ini,” ujar Martin Sitompul, salah seorang tokoh pemuda di Pahae.

Anggota DPRD Taput David PPH  Hutabarat ST juga mengatakan,  upaya yang paling penting sekarang dilakukan adalah bagaimana meminimalisir kerusakan terhadap setiap peristiwa terjadinya gempa. Salah satu contoh menurut dia adalah bangunan sekolah yang saat ini rusak, tentu saatnya untuk dikaji ulang dalam pembuatan konstruksinya.
“Kita bisa melihat apa yang terjadi di tahun 1884, 1987, 2005, dan 2011. Yang terjadi tentu akibat cesar (patahan) Sarulla yang menjadi bagian kecil dari  Patahan Semangko. Patahan Semangko sendiri adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung. Patahan ini sekarang yang mengalami fenomena, sehingga semua daerah-daerah yang dilalui patahan semangko tentu merupakan zona-zona rawan akses gempa. Maka yang perlu dilakukan adalah sosialisasi terhadap masyarakat dengan peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang ini. Sebab kita tak bisa menghindar dari itu, selain hanya mengantisipasi,” ungkap Jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB)  itu.

Soal pemetaaan gempa secara mendetail, David menyebutkan bahwa hal itu sulit diprediksi. “Khusus untuk gempa, saya pikir sangat sulit untuk diestimasi, berbeda dengan bencana alam lainnya seperti banjir dan longsor,” jelasnya.

Pemprov Lambat

Terkait lambannya Plt Gubernur Gatot Pujo Nugroho menanggapan bencana gempa Taput-tapsel, anggota dewan dari Frakdsi PDIP Brilian Moktar berkomentar, pemprovsu sudah seharusnya menjadi orang pertama yang menjenguk masyarakatnya.

“Kita sangat menyesali Gubsu tak hadir pada saat kunjungan Menkokesra ke Taput. Walau data update saat itu belum didapat dari Bupati Taput, paling tidak Plt Gubsu membuat konsep-konsep bantuan ke sana,” ujarnya, Kamis (16/6).

Brilian meminta Pemprovsu lebih sensitif dan secepatnya mengetahui kerusakan-kerusakan infrastruktur baik itu kesehatan, pendidikan maupun fasilitas umum. “Pemprovsu jangan hanya memperhatikan dari segi fisik, namun juga kejiwaan. masyarakat juga harus diberi treatment dalam mengembalikan ketakutan atau trauma mengenai bencana tersebut,” jelasnya.

Anggota dewan dari Komisi E, Nurhasanah menuturkan keterlambatan penanganan bencana oleh Pemprovsu ini karena Gatot terlihat memikul beban sendiri. “Dia harusnya membagi kewenangan. Jadi, sesibuk apapun dia, penanganan bencana harusnya diutamakan,” tuturnya.

Plt gubsu bersama dinas terkait harus bersama-sama menuntaskan masalah daerah. seperti dinas kesehatan,pendidikan dan lainnya. Nurhasanah juga menjelaskan, dengan memikul semua beban sendiri, semua skpd tak berfungsi sebagaimana seharusnya. “Seharusnya masalah yang datangnya mendadak apa lagi bencana, harus jadi prioritas untuk lebih dulu ditangani. Misalnya ada agenda ketemu SBY, jika ada bencana
pertemuan tersebut bisa dibatalkan, dan SBY tentunya tak marah,” tegas
anggota dewan dari Fraksi Demokrat ini. (mag-2/smg/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru