Di tengah tren apatisme masyarakat terhadap para pemimpin di negeri ini, menemukan warga yang masih optimis pada pemimpinnya barangkali cukup memberi spirit baru. Adalah warga Tapanuli Tengah (Tapteng) yang saat ini tampak bergairah membangun ’negerinya’. Semua karena rasa percaya.
“Saya siap menghibahkan tanah saya seluas 2 hektare untuk digunakan sebagai lokasi pembangunan universitas di Tapteng ini,” ucap H Ash’ari Pasaribu (50), kepada Sumut Pos, yang menghubunginya beberapa hari lalu.
Wiraswasta asal Sorkam ini menjelaskan, dirinya bersama 14 pemilik tanah lainnya yang berlokasi di perbatasan Kecamatan Sorkam-Bottot, Tapteng, siap dan sedia menghibahkan tanah seluas 15 hektare, karena ingin universitas tersebut dibangun di Sorkam.
“Awalnya kami dengar info soal rencana Pemkab membangun universitas di Tapteng. Katanya, Pemkab masih mencari lahan. Lewat obrolan di warung kopi, kami langsung tergerak menyediakan lahan. Kami pun hubungi Camat Sorkam, dan oleh Camat, keinginan kami diajukan ke Bupati,” jelasnya.
Dari 15 hektare lahan yang mereka sediakan di Sorkam (berjarak 37 kilometer dari Kota Sibolga), rencananya 10 hektare akan digunakan untuk lokasi pembangunan universitas. Sisanya seluas 5 hektare akan dialokasikan menjadi kavling-kavling perumahan di sekeliling universitas.
“Tanah kita kan tidak ada ganti rugi. Jadi, kavling-kavling inilah sebagai kompensasi kepada para pemilik tanah. Pembagian jumlah kavling kepada para pemilik tanah tergantung luas lahan yang dia hibahkan,” ucap pria yang mengaku rela membeli beberapa hektare lahan dari pemilik tanah (yang tidak mau menghibahkan) di areal tersebut, untuk dihibahkannya ke Pemkab.
Kata Ash’ari, penghibahan tanah itu dilatarbelakangi keinginan mereka memajukan Sorkam. “Kalau universitas dibangun di Sorkam, Sorkam tentu lebih maju dan anak-anak kami tidak mesti jauh-jauh kuliah ke Medan. Kedua, kami percaya Pak Bupati benar-benar memiliki program memajukan Tapteng,” cetusnya seraya tersenyum manis.
Ia mengaku cukup percaya diri ’proposal’ mereka bakal disetujui Bupati. Pasalnya, daerah lain yang juga berminat menghibahkan tanah mereka untuk lokasi universitas, hanya bisa menyediakan lahan 5 sampai 8 hektare. Sementara luas minimal lahan yang dibutuhkan 10 hektare. “Kami bisa menyediakan 15 hektare,” katanya bangga.
’Memberi dengan rasa bangga’ juga ditunjukkan warga Tapteng bernama Miswar Pasaribu (45). Warga Barus ini menghibahkan 2 hektare tanah miliknya kepada Pemkab, untuk lokasi pembangunan Rumah Sakit Umum di Barus. Letaknya di Desa Kedai 30, Barus sekitar 65 kilometer dari Kota Sibolga.
“Setelah Pak Bonaran berorasi di Barus tahun lalu tentang niatnya membangun Tapteng, saya langsung percaya. Dan terbukti, pembangunan di Tapteng terasa bergerak naik. Maka saat ada informasi kalau Pemkab membutuhkan lahan untuk membangun rumah sakit, saya langsung mengajukan diri menyediakan lahan,” ungkap pria yang bekerja sebagai wiraswasta ini, saat dihubungi via telepon.
Ia mencontohkan, sejak dirinya berumur 4 tahun, pesona Pulau Mursala bersama air terjunnya yang langsung jatuh ke laut, tidak pernah terekspos luas. “Barulah setelah Pak Bonaran menjadi bupati, wisata Tapteng berikut Pulau Mursala-nya terekspos begitu luas. Bahkan film berjudul Mursala yang dibuat atas prakarsa pak Bupati, baru saja diluncurkan,” cetusnya bersemangat.
Diakuinya, tidak ada ganti rugi apapun atas penghibahan tanah miliknya. Padahal harga pasar tanah itu saat ini mencapai Rp350 juta, mengingat letaknya cukup strategis di pinggir jalan protokol. “Keluarga mendukung penuh niat saya. Bahkan setelah saya menghibahkan tanah itu, masyarakat lain terpancing untuk juga ikut menghibahkan tanah miliknya demi pembangunan Tapteng,” ungkapnya.
Bonaran, lanjutnya lagi, saat ini ibarat artis di tengah masyarakat Tapteng. “Rakyat mencintainya…,” pujinya mantap.
Gairah serupa juga ditunjukkan Alfi Syahrin Siregar (40). Nelayan yang juga wiraswasta di Pulau Pane Kecamatan Sosor Gadong ini mengatakan, telah menghibahkan 2 hektare lahan warisan miliknya untuk lokasi pembangunan steiger (dermaga) di Pantai Pulau Pane, Tapteng. “Motif saya? Yaaa… karena saya cinta Tapteng. Supaya Tapteng maju selangkah dibanding daerah lain. Dan tentu saja karena saya percaya pada pak Bonaran,” kata Alfi antusias.
Ia bercerita, belakangan ini warga Tapteng menyebut Bonaran pengganti Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan. Pasalnya, sejak dia memimpin Tapteng, banyak pembangunan yang terwujud. “Bupati kami yang ganteng itu ‘kan putra asli Tapteng. Berbeda dengan bupati-bupati sebelumnya,” kekehnya.
Meski steiger Pantai Pulau Pane dijadwalkan baru akan dibangun bulan Mei mendatang, namun ia tidak harap-harap cemas. Maklum, ia mengaku kenal dekat dengan Bonaran, dan percaya penuh padanya. Apalagi, mereka sudah melihat sejumlah bukti realisasi pembangunan yang dijanjikan. “Sebagai nelayan, kami sudah merasakannya. Bantuan terumbu karang, jaring, rumpon, dan banyak lagi benar-benar sampai ke nelayan dan merata. Tidak kucing-kucingan seperti zaman dulu,” cetusnya.
Jumlah warga yang menghibahkan tanah untuk pembangunan di Tapteng, ditegaskannya, tak hanya belasan orang, tetapi banyak. “Tidak bisa dihitung dengan jari,” tegasnya. Ada yang menghibahkan tanah untuk lokasi pembangunan RSU Pandan, pelebaran Pantai Kahona, Pantai Kapuk, dan banyak lagi.
Tak hanya para pemilik tanah yang bergairah untuk berpartisipasi dalam pembangunan di Tapteng. Para nelayan juga memiliki gairah serupa. Sejak Bonaran fokus memajukan pariwisata di Tapteng dengan slogan ‘Horas Tapteng, Negeri Wisata Sejuta Pesona,’ para nelayan secara sukarela mengawal perairan Tapteng sesuai ’peruntukannya’.
“Sejak Bupati menggalakkan pariwisata di Tapteng, kami nelayan ikut kecipratan rezeki. Setiap hari ada saja wisatawan yang datang ke Pulau Mursala dan pulau-pulau lainnya. Tentu, mereka membutuhkan alat transportasi dan pemandu. Nah, nelayanlah yang mengambil peran itu,” kata Baasir Abdul Situmeang (43). Buntutnya, sekitar 50 persen nelayan tradisional di Pandan sudah beralih ke wisata.
“Kapal-kapal kecil yang selama ini digunakan menjaring ikan, seperti sampan dan kapal mesin diesel, sekarang digunakan mengantar wisatawan ke 31 pulau yang ada di perairan Tapteng,” kata pemilik sejumlah kapal ikan tradisional di Pandan ini.
Dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Tapteng, jenis mata pencaharian warga pun makin bervariasi. Nelayan yang selama ini penghasilannya tidak menentu, sekarang lebih stabil dengan beralih sebagai pemandu wisata ke pulau-pulau. Warga setempat juga mulai berjualan di pantai-pantai. Pengusaha kuliner lebih bergairah.
Tak hanya wisatawan, pemancing juga nyaris setiap hari datang ke Tapteng. Untuk itu, nelayan setempat kompak menjaga perairan dari tangan-tangan jahil. “Kami mengawal perairan dari pemboman, pukat harimau, dan gangguan lainnya. Bahkan nelayan terkadang urunan menyewa speedboad untuk mengintip kapal-kapal pukat ikan yang keluar jalur. Tujuannya, agar ikan-ikan di sana terjaga untuk pemancing. Semua demi mendukung areal Sport Fising Area dan Tapteng Fishing Club di areal Pulau Badiri yang dibangun Pemkab,” jelasnya.
Kelompok-kelompok nelayan seperti KANS, HNSI, dan kelompok nelayan lainnya siap menyukseskan program bupati, yang dinilai begitu care dengan warganya. “Orang pinggir pantai 100 persen mendukung bupati. Sekarang ini, lebih banyak kemudahan ekonomi. Tak heran, saat ini sudah 40-an nelayan yang beralih menjadi pemandu, tanpa meninggalkan profesinya sebagai nelayan di hari-hari tertentu,” ucapnya.
Bupati Tapteng, Bonaran Situmeang mengatakan, dirinya memilih fokus membangun pariwisata Tapteng, mengingat potensi wisatanya sangat besar. Sementara produktivitas nasyarakat khususnya di sentra produksi dan pertumbuhan investasi masih rendah. Dari 177 desa/kelurahan yang ada di Tapteng, 85 desa/kelurahan masih kategori daerah tertinggal. PDRB Tapteng tahun 2012 hanya 1,2 juta. Dari 314 jiwa penduduk, penduduk miskin mencapai 52,2 ribu orang.
“Potensi unggulan adalah pariwisata dan kebudayaan, yakni wisata bahari, wisata sejarah/cagar budaya, wisata alam pegunungan dan bawah laut/ekowisata, dan wisata kuliner. Setelah itu, potensi kelautan dan perikanan, disusul perkebunan dan pertanian, kemudian energi dan sumber daya minueral, serta perdagangan dan industri berbasis komoditi unggulan.
Karena itu, kata Bonaran, diperlukan suatu terobosan strategi dan arah kebijakan yang tepat dalam mewujudkan masyarakat Tapanuli Tengah yang maju, sejahtera, dan bermartabat,” katanya tegas, Horas Tapteng, lanjutnya lagi, adalah bentuk sapaan yang disampaikan untuk mempromosikan Tapteng ke seluruh lapisan msyarakat, baik bersifat lokal, regional, nasional, bahkan internasional.
Sehingga secara efektif menjadi brand image yang memiliki kekhasan untuk setiap orang ingat dan kenal dengan Tapteng. “Negeri Wisata Sejuta Pesona merupakan brand image Tapteng, yang menunjukkan begitu besar dan lengkap obyek wisata Tapteng,” sebutnya.
Beberapa obyek wisata andalan Tapteng saat ini yakni air terjun Pulau Mursala, kawasan Cagar Budaya Barus, air terjun Sibuni-buni, dan banyak lagi. Pemkab juga tengah giat membangun Pantai Kapuk dan Pantai Kahona. Menurut Bonaran, Pulau Mursala juga sudah dilirik investor, dan rencananya akan dibangun resor mewah tahun 2015, dengan investasi Rp50 miliar.
Bonaran yang tahun lalu menerima penghargaan Government Award 2012, kepada media mengatakan, semua keberhasilan itu adalah keberhasilan masyarakat Tapanuli Tengah. “Puji Tuhan… ini adalah prestasi masyarakat Tapteng. Saya hanya mewakili masyarakat,” katanya.
Saat meraih MURI membakar ikan terpanjang di Indonesia sepanjang 7,2 km dengan iklan sebanyak 9.255 kg, Bonaran juga mengatakan, semua sukses itu berkat partisipasi masyarakat yang menyumbangkan ikan, arang, bumbu, nasi, termasuk besi panggangannya. “Pemkab hanya memprakarsai acara itu,” ucapnya kalem.
Yang pasti, katanya lagi, masih banyak rencana Pemkab yang hendak diwujudkan. Untuk itu, pihaknya akan terus menggalang dukungan dari masyarakat. (*)