30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Hey, Kembalikan Sepatuku Ruben…

Sial. Lengah beberapa menit saja aku sudah ditinggal. Tak jauh beda, mereka berlatih pukul 06.00 WIT, aku bangun pukul 06.15. Ah terpaksa bergegas ke kamar mandi hotel. Cuci muka, gosok gigi, cabut!

“MEREKA berlatih di mana?” tanyaku kepada petugas hotel. “Oh, PSMS ya Pak? Di lapangan dekat sini saja kok pak,” kata petugas itu sambil menunjuk ke luar hotel. Tak banyak tanya lagi, aku langsung ke persimpangan jalan. Di sebuah halte, rentetan ojek melambai-lambaikan tangannya. “Mau kemana kaka? Biar saya antar toh,” kata tukang ojek yang antre paling depan. “Lapangan bola dekat sini saja Bang. Ada ya?” kataku.

“Ayo, mari saya antar.” Kami pun berkendara tak sampai 10 menit. Ketika sampai, dari kejauhan Ellie Aiboy dkk sudah main-main bola. Bang Rudy William Keltjes sang pelatih tampak di tengah mereka. Ramai. Oktovianus Maniani juga sudah berlari-lari.

Mataku langsung mencari dua nama: Fadli Hariri dan Aun Carbiny. Mereka berdua kawan sekamar. Seharusnya satu kamar diisi dua pemain saja. Namun kehadiranku yang telat memaksa manajamen tim menyisip satu orang lagi. Syukurlah mereka berdua tak terganggu dengan kehadiranku (mungkin). Padahal sejujurnya  aku sangat merepotkan. Terutama bagi Fadli. Karena buru-buru, laptop tak sempat terbawa. Ujungnya aku pinjam laptop Fadli. Plus modemnya. Ha ha ha.

Kenapa aku langsung menyasar dua pemain itu? Ya karena mereka tak membangunkanku. “Kami segan,” kata mereka beralasan. Baiklah.  Sekarang mata mulai menyisir kaki para pemain. Lihatlah kakiku, aku tak bersepatu. Untung ada sandal hotel yang bisa dipakai keluar. Sepatuku mana?
Pelan-pelan kuamati semua pemain. Tak lama aku menemukan sepatuku. Sepatu baru dibeli, merk (ah tak usah disebut). Hey Ruben, itu sepatuku. Kembalikan! “Oh, maaf kaka, tadi buru-buru mau latihan, jadi aku pinjam dulu,” kata Ruben senyum-senyum.

Siapa Ruben? Ya, dia Ruben Sanadi. Pemuda asli Papua yang di awal karirnya merumput bersama PSMS Medan. Kini dia main di Persipura setelah sebelumnya lama di Pelita Jaya.

Karena latihan pagi hanya simulasi ringan dan peregangan, pemain boleh tak memakai sepatu bola. Begitulah Ruben dengan santai memakai sepatuku. Sekarang berganti dia kaki ayam sambil lari-lari. He he he. Setelah dipakainya, sepatuku jadi mengembang sesuai ukuran kakinya. Dan tentu saja basah karena keringatnya. Ah.

Cerita ini terjadi Juni 2009 lalu, ketika aku berkesempatan ikut tur away PSMS ke tanah Papua, ujung Indonesia bagian timur. Setting cerita adalah Hotel Tirta Mandala, di Jalan Samudera Maya Jayapura. Lokasinya tepat di pinggir laut dan dekat dengan Stadion Mandala, markas Persipura.
Bang Sihar Sitorus, memberi akses untuk ikut tim. Toh saat itu adalah away terakhir PSMS sebab musim sudah bakal usai. Tim berangkat lebih dulu, dan aku menyusul sendiri. Saat itu Bang Sihar adalah pendana PSMS di ISL edisi wahid. Miliaran duit habis, PSMS malah degradasi di akhir musim. (Cerita PSMS menjadi tim musafir saat itu hingga akhirnya turun kasta nanti saja aku ceritakan.)

Cerita ini terlintas setelah belakangan ramai berita soal sepak bola nasional. Sejak zaman dulu, cerita soal bola kita, tak peduli positif-negatif, tetap menjadi konsumsi menarik insan pers. Kenapa menarik bagi pers, sebab sepak bola juga menarik bagi rakyat Indonesia. Sejak beberapa waktu ini, tren dualisme melanda sepak bola. PSSI, hingga klub ramai-ramai jadi dua, bahkan ada yang tiga. Di Sumut, PSSI ada dua, di Medan PSSI ada dua, PSMS pun ada dua. Di daerah lain juga ada tren begitu.

Oh ya, Timnas juga ada dua? Yang satu dikelola PSSI, yang satu lagi ditahan-tahan pengurus KPSI. Kisruh ini memantik AFF, AFC, bahkan FIFA mulai habis kesabaran. FIFA sudah mengirim surat ke pemerintah RI, dalam hal ini diwakili Kemenpora. Intinya FIFA ingin sepak bola kita tak disanksi. Penyatuan liga, revisi statuta PSSI, pengembalian anggota Exco yang dipecat dan menganggap keputusan di kongres Solo sebagai keputusan yang sah, adalah empat hal yang diharapkan FIFA mampu diselesaikan oleh Kemenpora.

Kalau boleh merendahkan hati, sudah saatnya oknum yang bertikai di sana melihat ke bawah. Lihatlah betapa cintanya rakyat ini akan sepak bola. Sudah saatnya mereka mengembalikan sepak bola kepada rakyat Indonesia. Sebagaimana Ruben Sanadi mengembalikan sepatuku walau dengan sedikit paksaan. He he he. (*)     @fazadesyafa

Sial. Lengah beberapa menit saja aku sudah ditinggal. Tak jauh beda, mereka berlatih pukul 06.00 WIT, aku bangun pukul 06.15. Ah terpaksa bergegas ke kamar mandi hotel. Cuci muka, gosok gigi, cabut!

“MEREKA berlatih di mana?” tanyaku kepada petugas hotel. “Oh, PSMS ya Pak? Di lapangan dekat sini saja kok pak,” kata petugas itu sambil menunjuk ke luar hotel. Tak banyak tanya lagi, aku langsung ke persimpangan jalan. Di sebuah halte, rentetan ojek melambai-lambaikan tangannya. “Mau kemana kaka? Biar saya antar toh,” kata tukang ojek yang antre paling depan. “Lapangan bola dekat sini saja Bang. Ada ya?” kataku.

“Ayo, mari saya antar.” Kami pun berkendara tak sampai 10 menit. Ketika sampai, dari kejauhan Ellie Aiboy dkk sudah main-main bola. Bang Rudy William Keltjes sang pelatih tampak di tengah mereka. Ramai. Oktovianus Maniani juga sudah berlari-lari.

Mataku langsung mencari dua nama: Fadli Hariri dan Aun Carbiny. Mereka berdua kawan sekamar. Seharusnya satu kamar diisi dua pemain saja. Namun kehadiranku yang telat memaksa manajamen tim menyisip satu orang lagi. Syukurlah mereka berdua tak terganggu dengan kehadiranku (mungkin). Padahal sejujurnya  aku sangat merepotkan. Terutama bagi Fadli. Karena buru-buru, laptop tak sempat terbawa. Ujungnya aku pinjam laptop Fadli. Plus modemnya. Ha ha ha.

Kenapa aku langsung menyasar dua pemain itu? Ya karena mereka tak membangunkanku. “Kami segan,” kata mereka beralasan. Baiklah.  Sekarang mata mulai menyisir kaki para pemain. Lihatlah kakiku, aku tak bersepatu. Untung ada sandal hotel yang bisa dipakai keluar. Sepatuku mana?
Pelan-pelan kuamati semua pemain. Tak lama aku menemukan sepatuku. Sepatu baru dibeli, merk (ah tak usah disebut). Hey Ruben, itu sepatuku. Kembalikan! “Oh, maaf kaka, tadi buru-buru mau latihan, jadi aku pinjam dulu,” kata Ruben senyum-senyum.

Siapa Ruben? Ya, dia Ruben Sanadi. Pemuda asli Papua yang di awal karirnya merumput bersama PSMS Medan. Kini dia main di Persipura setelah sebelumnya lama di Pelita Jaya.

Karena latihan pagi hanya simulasi ringan dan peregangan, pemain boleh tak memakai sepatu bola. Begitulah Ruben dengan santai memakai sepatuku. Sekarang berganti dia kaki ayam sambil lari-lari. He he he. Setelah dipakainya, sepatuku jadi mengembang sesuai ukuran kakinya. Dan tentu saja basah karena keringatnya. Ah.

Cerita ini terjadi Juni 2009 lalu, ketika aku berkesempatan ikut tur away PSMS ke tanah Papua, ujung Indonesia bagian timur. Setting cerita adalah Hotel Tirta Mandala, di Jalan Samudera Maya Jayapura. Lokasinya tepat di pinggir laut dan dekat dengan Stadion Mandala, markas Persipura.
Bang Sihar Sitorus, memberi akses untuk ikut tim. Toh saat itu adalah away terakhir PSMS sebab musim sudah bakal usai. Tim berangkat lebih dulu, dan aku menyusul sendiri. Saat itu Bang Sihar adalah pendana PSMS di ISL edisi wahid. Miliaran duit habis, PSMS malah degradasi di akhir musim. (Cerita PSMS menjadi tim musafir saat itu hingga akhirnya turun kasta nanti saja aku ceritakan.)

Cerita ini terlintas setelah belakangan ramai berita soal sepak bola nasional. Sejak zaman dulu, cerita soal bola kita, tak peduli positif-negatif, tetap menjadi konsumsi menarik insan pers. Kenapa menarik bagi pers, sebab sepak bola juga menarik bagi rakyat Indonesia. Sejak beberapa waktu ini, tren dualisme melanda sepak bola. PSSI, hingga klub ramai-ramai jadi dua, bahkan ada yang tiga. Di Sumut, PSSI ada dua, di Medan PSSI ada dua, PSMS pun ada dua. Di daerah lain juga ada tren begitu.

Oh ya, Timnas juga ada dua? Yang satu dikelola PSSI, yang satu lagi ditahan-tahan pengurus KPSI. Kisruh ini memantik AFF, AFC, bahkan FIFA mulai habis kesabaran. FIFA sudah mengirim surat ke pemerintah RI, dalam hal ini diwakili Kemenpora. Intinya FIFA ingin sepak bola kita tak disanksi. Penyatuan liga, revisi statuta PSSI, pengembalian anggota Exco yang dipecat dan menganggap keputusan di kongres Solo sebagai keputusan yang sah, adalah empat hal yang diharapkan FIFA mampu diselesaikan oleh Kemenpora.

Kalau boleh merendahkan hati, sudah saatnya oknum yang bertikai di sana melihat ke bawah. Lihatlah betapa cintanya rakyat ini akan sepak bola. Sudah saatnya mereka mengembalikan sepak bola kepada rakyat Indonesia. Sebagaimana Ruben Sanadi mengembalikan sepatuku walau dengan sedikit paksaan. He he he. (*)     @fazadesyafa

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/