Hendry (26), warga Jalan Negara/Garuda Lingkungan III No. 28 A, Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung, menjadi orang Medan ke-4 yang menjadi korban kecelakaan maskapai Malaysia Airline (MAS) dalam 4 bulan terakhir.
MEDAN-Bersama 11 warga negara Indonesia (WNI) yang teridentifikasi, lulusan Sarjana Ekonomi Sekolah Tinggi Cendana Medan ini menjadi korban jatuhnya pesawat MH17 di perbatasan Ukraina-Rusia, Jumat (18/7) malam.
Sebelumnya, pasangan suami istri Sugianto Lo dengan Vinny Cintya Tio dan Firman Siregar menjadi korban hilangnya pesawat MAS dengan nomor penerbangan MH 370 Kuala Lumpur ke Beijing, Sabtu, 8 Maret 2014.
Suasana duka yang mendalam menyelimuti kediaman keluarga Ng Siang Seng (61) dan Ian A In (68) di Jalan Negara/Garuda Lingkungan III No. 28 A, Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung. Rumah bergarasi warna hijau ini tampak sepi pada pukul 12.00 WIB.
Setelah beberapa awak media cetak berdatangan untuk menggali informasi, rumah Hendry pun menjadi pusat perhatian. Satu persatu warga, khususnya para tetangga yang didominasi warga keturunan Tionghoa, mulai datang memberi ucapan belasungkawa. Beberapa orang kerabatnya terlihat hilir mudik di kediaman Ng Siang Seng berbentuk rumah toko tersebut.
Itu adalah kediaman Hendry (26), salah seorang penumpang WNI yang menjadi korban pesawat MAS MH17 di Eropa timur sana.
Ng Siang Seng, ayah Hendry mengaku mengetahui anak sulungnya itu menjadi korban jatuhnya MH17 setelah mendapat kabar dari keluarga yang tinggal di Belanda. “Dia pergi ke Belanda untuk liburan selama 3 bulan di rumah pamannya. Dia pergi sejak April lalu,” ucap bapak tiga anak ini.
Suami Ian A In ini berharap, jenazah anak sulungnya diketemukan utuh. “Semoga dia bisa ditemukan dan dikembalikan kepada keluarga. Kami berharap jenazahnya utuh,” tuturnya dengan isak tangis.
Sebagai orangtua, Ng Siang Seng menyesalkan sikap pihak perwakilan maskapai MAS di Medan yang tidak memberi kabar sejak Kamis malam hingga Jumat siang. “Kita sudah menunggu dari tadi malam sampai siang dan kami juga sudah mengecek di Kedutaan Malaysia tetapi belum juga ada kabar. Ini bagaimana sebenarnya,” keluh Ng Siang Seng.
Disinggung apakah dirinya atau keluarganya memiliki firasat atau pertanda buruk tentang kabar kepergian lelaki kelahiran Medan, 1 September 1987 itu, Ng Siang Seng mengaku tidak ada sama sekali. “Enggak ada firasat atau mimpi apa-apa,” ucapnya.
Adik Hendry, Angeline (24) menyebutkan, komunikasi terakhir kalinya dengan Hendry Kamis (17/7) sore sekitar pukul 16.00 WIB. “Sebelum naik pesawat di Amsterdam pukul 12 waktu setempat, saya mengirim pesan melalui Whatsapp-nya. Saya juga telepon dia. Dalam percakapan itu saya hanya memastikan apakah sudah berangkat atau belum. Lalu, dijawabnya singkat dan hanya ‘Oke Oke’ saja,” ungkap wanita berkacamata ini.
Ia menuturkan, sifat abang kandungnya ini sangat baik budi, tidak pernah mengeluh dan menurut kepada orangtua. “Dia itu yang pasti orangnya baik dan dia tulang punggung kami. Dia dari pagi mengajar dan kadang-kadang jualan melalui bisnis online-nya,” kenang Angeline dengan tetesan air mata membasahi pipi.
Angeline sangat menyayangkan kabar kepergian abang satu-satunya itu. Pasalnya, kedatangan Hendry ke Medan sudah dinanti-nanti untuk menghadiri acara pernikahannya. “Sedih sekali rasanya dapat kabar kalau dia sudah pergi. Padahal, bulan 9 nanti saya mau nikah dan dia janji akan hadir diacara itu. Tetapi Tuhan berkata lain, dia sudah pergi meninggalkan kami,” kenangnya sambil terus menangis.
“Seharusnya hari ini (kemarin, red) dia sudah sampai di Medan. Tetapi tiba-tiba saja kami dikabarkan dari Belanda, bahwa pesawat Hendry jatuh di Ukraina,” sebutnya.
Ia menambahkan, keluarganya mendapat telepon dari pihak Polda Sumut untuk diminta sampel darahnya guna proses pengidentifikasian. “Petugas dari Polda Sumut mau datang sore ini (kemarin, red), tapi enggak tahu jam berapa. Kami pun masih mennunggu mereka,” ucapnya.
Namun, sekira pukul 17.00 keluarga korban mendapat telepon kembali dari pihak Polda Sumut yang menyebut bahwa polisi akan datang pada Sabtu (19/7) pagi sekira pukul 09.00.
Anthoni, paman Hendry, hanya memberi keterangan singkat. Menurutnya, sebagai anak lelaki satu-satunya, Hendry memiliki tanggung jawab besar kepada keluarga. “Pekerjaan sehari-harinya adalah guru les privat siswa sekolah,” ucapnya.
Saat ditanya lebih lanjut, Anthoni enggan menjawab, kemudian masuk ke rumah. “Tadi pagi pas diwawancara, ibunya sempat pingsan karena masih syok. Jadi, maaf lah ya kami belum bisa banyak bicara karena masih berduka,” tambah Anthoni.
Tak berapa lama ia masuk, sekira pukul 13.20 terdengar suara tangisan keras dari dalam rumah Hendry. Suara isak tangis histeris ternyata dari ibu Hendry, Ian A In.
Sementara itu, Kepling III Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung Rusmita boru Togatorop mengungkapkan, Hendry beserta keluarganya merupakan penduduk lama di lingkungan itu.
Menurut data administrasi yang dipegangnya, ayah Hendry Ng Siang Seng (61) dan ibunya Ian A In (68). Kedua adik perempuannya adalah Angline (25) dan Chrystine (19).
“Keluarga mereka sudah lama tinggal di situ, ada sekitar 15 tahun lebih sejak suami saya menjadi Kepling III. Saya aja sudah 3 tahun menjadi kepling,” ucap Rusmita sambil terburu-buru lantaran dipanggil ke Kantor Lurah Bantan Timur.
Suryati, pembantu rumah tangga keluarga di rumah itu menuturkan, Hendry memiliki karakter yang cenderung pendiam dan tidak banyak berbicara. “Dia enggak banyak tingkah orangnya dan jarang keluar rumah,” tuturnya.
Sebelum berangkat ke Amsterdam pun, ia sempat bertemu dengan Hendry tetapi tidak terlalu banyak berbicara. “Ya begitu aja ketemu di rumah, soalnya dia pendiam orangnya,” sebut Suryati sembari masuk ke dalam rumah.
Merantau ke Belanda
Beberapa tetangga korban yang diwawancarai mengaku mengetahui Hendry pergi ke Belanda untuk mengadu nasib di sana. “Kabarnya dia ikut pamannya yang tinggal di Belanda. Dia sepertinya mau pulang karena adik perempuannya kabarnya mau nikah bulan 9 ini,” kata Ali Samin alias A An.
Sepengetahuannya, kata A An, keluarga mengetahui Hendry jadi korban Kamis (18/7) malam. “Tadi malam ibunya nangis-nangis. Tadi pagi pun keluarganya ada yang datang,” sebutnya.
Tetangga lainnya menuturkan, Hendry dikenal sebagai pemuda yang baik. Sebelum berangkat ke Belanda, dia mengajar les di rumahnya. “Dia masih muda dan lajang. Dia orang baik, ulet cari uang. Selama ini dia mengajar les di rumahnya,” jelas tetangga Hendry lainnya.
Sementara itu, petugas di Kantor Malaysia Airlines Cabang Medan yang tak mau menyebutkan namanya mengakui ada 12 penumpang Warga Negara Indonesia (WNI). “Ini media statement kami,” ujarnya sambil menyerahkan secarik kertas.
Dari kertas statement tersebut, dinyatakan Malaysia Airlines MH 17 ini membawa sebanyak 298 penumpang. Diantaranya 283 termaksud 3 bayi dan 15 awak pesawat. “Dari jumlah tersebut, sebanyak 154 orang adalah warga Belanda, 43 orang termaksud 15 crew dan 2 bayi/balita adalah warga Malaysia, 27 waga Australia, 12 orang termaksud 1 orang bayi adalah warga Indonesia, 9 orang dari United Kingdom, 4 orang dari German, 4 orang dari Belgium, 3 orang dari Filipina, 1 orang dari Canada, dan 41 orang lainnya belum dapat diverifikasi,” katanya mewakili District Manager Malaysia Airlines Medan, M Shaifuddin Kamaruddin.
Saat ditanya kebenaran akan satu korban asal Indonesia adalah warga Medan, wanita yang mengenakan jilbab dan kacamata ini tidak menjawab. “Sudah itu saja statement kami,” sembari meninggalkan Sumut Pos yang datang ke kantornya, Jalan Imam Bonjol, Hotel Danau toba.
Kendati demikian, kabar salah seorang korban merupakan warga dibenarkan oleh staf ticketing. “Iya satu korban dari Medan, namanya Hendry. Tadi pagi keluarganya kemari, tapi mau lengkap tanya langsung saja sama pimpinan kami,” kata pegawai itu yang enggan namanya dikorankan. (ris/put)