25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Perundingan Akuisisi Berlangsung Tegang

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

 

SUMUTPOS.CO – Tim juru runding pemerintah Indonesia dengan konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA), Agus Tjahyono, mengaku ada perasaan yang campur aduk dalam dirinya ketika pertemuan yang digelar di Singapura, 12 November lalu. Ya, meski pertemuan itu menghasilkan lima kesepakatan terkait nasib pembayaran aset saham Inalum kepada konsorsium Jepang.

Perasaan campur aduk hadi, karena selama ini, kata Agus, meski Inalum resmi menjadi milik Indonesia 1 November 2013  — sebagaimana nota kesepakatan awal yang ditandatangani tahun 1975 – namun belum sepenuhnya dimiliki. Pasalnya, pembayaran saham konsorsium Jepang pada perusahaan tersebut belum juga dapat dilakukan. Karena di satu sisi, pemerintah Indonesia menginginkan pembayaran berdasarkan nilai terendah. Sementara konsorsium Jepang, menginginkan pembayaran berdasarkan nilai tertinggi dari hasil audit yang dilakukan.

Akibatnya, ketika kontrak kerja sama berakhir, hampir saja permasalahan selisih pembayaran dibawa ke arbitrase internasional. “Jadi suasana perundingan kemarin benar-benar campur aduk. Kita tidak saja merasa tegang, namun juga gelisah. Bahkan perundingan juga kerap diwarnai perdebatan-perdebatan,” katanya kepada koran ini di Jakarta, Senin (18/11).

Meski suasana sempat diwarnai suasana cukup menegangkan, kedua belah pihak pada akhirnya kata Agus, dapat saling menahan diri dan menyadari, bahwa perundingan dilakukan untuk mencapai kesepakatan. Sehingga masalah selisih harga tidak harus diselesaikan ke arbitrase internasional.

Dengan adanya kesadaran ini, suasana akhirnya mencair. Ketegangan yang ada akhirnya berubah penuh nuansa kekeluargaan. Apalagi mengingat tim juru runding sama-sama dalam kondisi lelah, mengingat proses perundingan tidak hanya berlangsung hari itu saja. Namun telah berlangsung berbulan-bulan lalu.

Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Kerja Sama Industri Internasional, Kementerian Perindustrian ini, kedua belah pihak akhirnya menyepakati lima hal, sebagaimana sebelumnya dikemukakan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Hatta Rajasa. Yaitu, pembayaran disepakati kembali pada model transfer saham. Meski pun dalam nota perjanjian sebelumnya disebutkan transfer aset.

Dengan model pembayaran ini, maka Indonesia tidak perlu membuat perusahaan baru sebagai pengganti PT Indonesia Aluminium Asahan (Inalum). Hal yang berbeda jika sekiranya model transfer aset yang disetujui, maka pemerintah terpaksa membuat perusahaan baru, sebab hanya aset dari Inalum yang dimiliki sementara nama Inalum otomatis juga berakhir seiring berakhirnya kontrak kerja sama.

Kedua belah pihak juga setuju nilai buku saham Inalum mencapai US$ 556 juta. Angka ini turun US$ 2 juta dari nilai yang diminta pemerintah Jepang berdasarkan hasil audit sebelumnya. Namun begitu besaran angka tersebut masih akan dilakukan post-audit karena audit sebelumnya dilakukan Maret lalu. Angka hasil audit dibatasi bisa naik atau turun US$ 20 juta dari US$ 556 juta. Jika perbedaan lebih besar dari US$ 20 juta, maka kedua belah pihak akan membawanya ke arbitrase.

Untuk melakukan audit, kedua belah pihak setuju menyerahkannya kepada auditor independen. Dan setelah setelah ada termination agreement, pemerintah Indonesia bisa langsung melakukan pembayaran tanpa melalui proses arbitrase.(gir)

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

 

SUMUTPOS.CO – Tim juru runding pemerintah Indonesia dengan konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA), Agus Tjahyono, mengaku ada perasaan yang campur aduk dalam dirinya ketika pertemuan yang digelar di Singapura, 12 November lalu. Ya, meski pertemuan itu menghasilkan lima kesepakatan terkait nasib pembayaran aset saham Inalum kepada konsorsium Jepang.

Perasaan campur aduk hadi, karena selama ini, kata Agus, meski Inalum resmi menjadi milik Indonesia 1 November 2013  — sebagaimana nota kesepakatan awal yang ditandatangani tahun 1975 – namun belum sepenuhnya dimiliki. Pasalnya, pembayaran saham konsorsium Jepang pada perusahaan tersebut belum juga dapat dilakukan. Karena di satu sisi, pemerintah Indonesia menginginkan pembayaran berdasarkan nilai terendah. Sementara konsorsium Jepang, menginginkan pembayaran berdasarkan nilai tertinggi dari hasil audit yang dilakukan.

Akibatnya, ketika kontrak kerja sama berakhir, hampir saja permasalahan selisih pembayaran dibawa ke arbitrase internasional. “Jadi suasana perundingan kemarin benar-benar campur aduk. Kita tidak saja merasa tegang, namun juga gelisah. Bahkan perundingan juga kerap diwarnai perdebatan-perdebatan,” katanya kepada koran ini di Jakarta, Senin (18/11).

Meski suasana sempat diwarnai suasana cukup menegangkan, kedua belah pihak pada akhirnya kata Agus, dapat saling menahan diri dan menyadari, bahwa perundingan dilakukan untuk mencapai kesepakatan. Sehingga masalah selisih harga tidak harus diselesaikan ke arbitrase internasional.

Dengan adanya kesadaran ini, suasana akhirnya mencair. Ketegangan yang ada akhirnya berubah penuh nuansa kekeluargaan. Apalagi mengingat tim juru runding sama-sama dalam kondisi lelah, mengingat proses perundingan tidak hanya berlangsung hari itu saja. Namun telah berlangsung berbulan-bulan lalu.

Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Kerja Sama Industri Internasional, Kementerian Perindustrian ini, kedua belah pihak akhirnya menyepakati lima hal, sebagaimana sebelumnya dikemukakan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Hatta Rajasa. Yaitu, pembayaran disepakati kembali pada model transfer saham. Meski pun dalam nota perjanjian sebelumnya disebutkan transfer aset.

Dengan model pembayaran ini, maka Indonesia tidak perlu membuat perusahaan baru sebagai pengganti PT Indonesia Aluminium Asahan (Inalum). Hal yang berbeda jika sekiranya model transfer aset yang disetujui, maka pemerintah terpaksa membuat perusahaan baru, sebab hanya aset dari Inalum yang dimiliki sementara nama Inalum otomatis juga berakhir seiring berakhirnya kontrak kerja sama.

Kedua belah pihak juga setuju nilai buku saham Inalum mencapai US$ 556 juta. Angka ini turun US$ 2 juta dari nilai yang diminta pemerintah Jepang berdasarkan hasil audit sebelumnya. Namun begitu besaran angka tersebut masih akan dilakukan post-audit karena audit sebelumnya dilakukan Maret lalu. Angka hasil audit dibatasi bisa naik atau turun US$ 20 juta dari US$ 556 juta. Jika perbedaan lebih besar dari US$ 20 juta, maka kedua belah pihak akan membawanya ke arbitrase.

Untuk melakukan audit, kedua belah pihak setuju menyerahkannya kepada auditor independen. Dan setelah setelah ada termination agreement, pemerintah Indonesia bisa langsung melakukan pembayaran tanpa melalui proses arbitrase.(gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/