SUMUTPOS.CO – Banyak kasus diet untuk mendapatkan tubuh ideal akhirnya kandas di tengah jalan. Kalau tidak disertai niat yang kuat, pertahanan ”iman” terhadap godaan makanan lezat, akhirnya jebol juga. Fenomena gagal diet semacam itu dapat dijelaskan secara medis.
Direktur Clinic for Digestive Surgery Mount Elizabeth Novena Hospital Singapura dr Foo Chek Siang mengakui, perubahan pola makan masih terkait dengan otak. Secara gamblang, otak akan menerima informasi aktual dan tepercaya dari perut. ”Karena itu, jika ingin berhasil, diet harus disertai dengan niat yang kuat,” ungkap dokter yang rutin gowes melahap rute minimal 40 km setiap pagi itu.
Menurut Foo, sangat wajar bila seseorang akhirnya menyerah terhadap program diet yang dijalani. Biasanya, seseorang menyerah lantaran tak kuasa menahan rasa lapar. Munculnya rasa lapar itu, menurut dia, disebabkan perut memberi tahu otak bahwa lambung sedang kosong. ”Jika dibiarkan terus-menerus, lambung semakin kuat memberikan informasi ke otak,” jelas Foo saat ditemui di Singapura beberapa waktu lalu.
Di samping diet dan gerak badan, ada satu upaya lain dalam program pelangsingan tubuh. Yakni, melakukan tindakan medis pada perut. Upaya itu populer dengan sebutan bariatric and metabolic surgery.
Foo menegaskan, bedah bariatric jauh berbeda bila dibandingkan dengan operasi plastik atau cosmetic surgery. Tindakan tersebut, menurut Foo, lebih difokuskan pada daerah lambung.
Pada prinsipnya, volume lambung pada pasien akan dikurangi. Apalagi, ukuran lambung penderita obesitas biasanya lumayan besar. ”Kalau volume lambungnya sudah kecil, makan sedikit saja sudah terasa kenyang. Perut akan memberikan informasi ke otak bahwa lambung sudah penuh,” tutur dia.
Dijelaskan Foo, setelah bedah, tak perlu khawatir tubuh jadi loyo. Sebab, tubuh kita memiliki prinsip layaknya timbangan dalam hal penyimpanan dan pelepasan energi. Jika makanan yang masuk terlalu banyak, sedangkan aktivitas yang dilakukan sedikit, makanan akan disimpan sebagai cadangan energi berupa lemak.
Sebaliknya, bila seseorang makan terlalu sedikit, padahal aktivitas luar biasa banyak, tentu saja cadangan lemak itu dibakar menjadi energi. Ketika banyak cadangan energi yang dibakar, bobot tentu menyusut. Tubuh akhirnya akan menjadi langsing.
Foo melanjutkan, sebenarnya ada tiga upaya mengecilkan volume lambung. Antara lain, metode pemotongan lambung (sleeve gastrectomy) dan operasi pemotongan lambung dengan membuat bypass (Roux-en-Y gastric bypass). ”Sedangkan metode ketiga, pemasangan gelang adjustable gastric band, tidak saya rekomendasikan,” tegasnya.
Metode operasi paling lazim adalah pemotongan lambung (sleeve gastrectomy). Metode itu paling sering digunakan oleh pasien obesitas dalam menurunkan berat badan. Cara tersebut juga termasuk metode paling simpel dalam tindakan operasi lambung. ”Tak perlu memotong kulit terlalu banyak karena semua tindakan operasi ini dilakukan dengan metode laparoskopi,” ujar Foo.
Begitu alat masuk ke perut, lambung yang besar langsung dipotong sehingga ukurannya menjadi jauh lebih kecil. Pemotongan sekaligus penjahitan lambung menggunakan stapler khusus. Klip mikro yang digunakan berbahan titanium yang kuat dan tidak berdampak meski berada di dalam tubuh.
Sedangkan metode bypass lambung-usus halus lebih rumit jika dibandingkan dengan metode sleeve gastrectomy. ”Memang lebih complicatedpenanganannya. Tapi, metode bypass ini sangat bagus untuk menyembuhkan penderita diabetes melitus,” tuturnya.
Pada metode adjustable gastric band, alat gelang karet yang berisi cairan dipasang di pangkal lambung. Setelah terpasang, alat tersebut bisa dikontrol melalui tombol yang ditanam di lapisan bawah kulit perut pasien. Tinggal pencet tombol, gelang tersebut akan mengatur posisi gelang untuk menjepit ataupun melonggarkan diri pada lambung.
Meski demikian, pemasangan alat itu berisiko fatal. ”Kalau gelang karet disetel terlalu ketat, bisa menjepit hingga menutup jalur makanan di lambung. Kalau terlalu longgar, alat itu bisa lepas. Dampaknya bisa berbahaya,” jelas Foo. (jpnn)