32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Jangan Sampai Masalah Provinsi Naik ke Pusat

Ayo memilih

MEDAN, SUMUTPOS.CO – BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumut mengungkapkan, bisa saja aduan atau laporan peserta pemilu maupun masyarakat dibuka pada rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara pemilu tingkat nasional. Apalagi, Undang-undang Pemilu memperbolehkan hal tersebut.

“Bisa saja. Namun sejatinya kami tetap mengingatkan, sebaiknya masalah apapun itu bisa diselesaikan di tingkat provinsi,” kata Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan menjawab Sumut Pos, Minggu (19/5).

Pihaknya tak menampik, dalam rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara pemilu oleh KPU Sumut, permasalahan yang tadinya berasal dari kelurahan dan kecamatan bisa sampai lalu dibahas di tingkat provinsi. “Bahwa untuk penanganan pelanggaran di masa rekapitulasi di tingkat provinsi tetap kita tangani sesuai dengan ketentuan pasal 403 ayat 1 UU No.7/2017 tentang Pemilu, dan Perbawaslu No.7 dan 8 tahun 2018 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilu,” terang dia.

Namun yang mesti diingat, sambung dia, Bawaslu tidak berwenang menangani laporan terkait hasil pemilu, hanya terkait prosedur rekapitulasi dan soal dugaan pidana pemilu terkait penggelembungan suara, merubah sertifikat hasil perolehan penghitungan suara karena hal tersebut diatur dalam UU pemilu. “Semestinya pada saat rekapitulasi di semua tingkatan, bilamana ada menemukan kejanggalan bisa langsung diselesaikan di situ. Ada kadang rekomendasi Bawaslu yang tak dijalankan oleh KPU setempat, alhasil ketika sampai ditingkat provinsi menjadi lama rekap di provinsi selesai. Hal-hal semacam ini yang kami tak mau sampai ke pusat. Kami cuma gak mau apabila ada perselisihan di MK nantinya, bila ada dugaan atau temuan oleh saksi parpol ataupun masyarakat, tidak melakukan fungsi pengawasan terhadap KPU selaku penyelenggara pemilu,” katanya.

Saat disinggung apakah Bawaslu Sumut ada menerima laporan dari calon DPD RI, Badikenita BR Sitepu terkait dugaan penggelembungan suara terhadapnya, Syafrida mengaku belum tahu. “Belum tau. Tapi di Bawalsu Deliserdang mungkin ada laporannya. Kenapa apa suara dia banyak hilang ya?” tanya dia.

Sebelumnya ia juga mengakui setiap even Pileg selalu terjadi penggelembungan suara antarsesama caleg. Persoalannya menurut dia bahwa orang menghalalkan segala cara agar dapat terpilih. “Apalagi kalau dia incumbent, atau bisa jadi punya hubungan kuat dari parpol sehingga merasa mendapat dukungan,” katanya.

Poin kedua, sebutnya, bahwa penyelenggara pemilu termasuk Bawaslu masih lemah dalam hal ini. Dimana masih gampang digoda dengan sejumlah uang, apalagi ditingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). “Mereka merasa gak ada beban. Kalaupun hari ini mereka ada terima dan terlibat (permainan), paling nanti gak jadi penyelenggara lagi. Mereka berpikirnya demikian pragmatis dan itu tidak kami pungkiri masih ada terjadi,” ungkapnya.

Syafrida menyebut, peristiwa semacam ini kerap terjadi terutama pada kontestasi pileg. Pihaknya juga mengamini sampai kini belum memiliki formulasi yang tepat guna mengatasi problem dimaksud. Terlebih, sambung dia, pada UU No.7/2017 tentang Pemilu berbeda dengan UU No.8/2015 tentang Pemilu. Dimana pada UU sebelumnya ada Mahkamah Partai dalam setiap penyelesaian permasalahan seperti kecurangan suara tersebut.

“Nah, di UU 7 itu Mahkamah Partai kan dihapus, jadi tidak lagi mengakomodir laporan seperti itu. Alhasil semua dilimpahkan kepada Bawaslu untuk menyelesaikan. Kendala kita adalah, kadang KPU sendiri tidak mau menunjukkan ketika terjadi pergeseran suara,” katanya. (prn)

Ayo memilih

MEDAN, SUMUTPOS.CO – BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumut mengungkapkan, bisa saja aduan atau laporan peserta pemilu maupun masyarakat dibuka pada rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara pemilu tingkat nasional. Apalagi, Undang-undang Pemilu memperbolehkan hal tersebut.

“Bisa saja. Namun sejatinya kami tetap mengingatkan, sebaiknya masalah apapun itu bisa diselesaikan di tingkat provinsi,” kata Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan menjawab Sumut Pos, Minggu (19/5).

Pihaknya tak menampik, dalam rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara pemilu oleh KPU Sumut, permasalahan yang tadinya berasal dari kelurahan dan kecamatan bisa sampai lalu dibahas di tingkat provinsi. “Bahwa untuk penanganan pelanggaran di masa rekapitulasi di tingkat provinsi tetap kita tangani sesuai dengan ketentuan pasal 403 ayat 1 UU No.7/2017 tentang Pemilu, dan Perbawaslu No.7 dan 8 tahun 2018 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilu,” terang dia.

Namun yang mesti diingat, sambung dia, Bawaslu tidak berwenang menangani laporan terkait hasil pemilu, hanya terkait prosedur rekapitulasi dan soal dugaan pidana pemilu terkait penggelembungan suara, merubah sertifikat hasil perolehan penghitungan suara karena hal tersebut diatur dalam UU pemilu. “Semestinya pada saat rekapitulasi di semua tingkatan, bilamana ada menemukan kejanggalan bisa langsung diselesaikan di situ. Ada kadang rekomendasi Bawaslu yang tak dijalankan oleh KPU setempat, alhasil ketika sampai ditingkat provinsi menjadi lama rekap di provinsi selesai. Hal-hal semacam ini yang kami tak mau sampai ke pusat. Kami cuma gak mau apabila ada perselisihan di MK nantinya, bila ada dugaan atau temuan oleh saksi parpol ataupun masyarakat, tidak melakukan fungsi pengawasan terhadap KPU selaku penyelenggara pemilu,” katanya.

Saat disinggung apakah Bawaslu Sumut ada menerima laporan dari calon DPD RI, Badikenita BR Sitepu terkait dugaan penggelembungan suara terhadapnya, Syafrida mengaku belum tahu. “Belum tau. Tapi di Bawalsu Deliserdang mungkin ada laporannya. Kenapa apa suara dia banyak hilang ya?” tanya dia.

Sebelumnya ia juga mengakui setiap even Pileg selalu terjadi penggelembungan suara antarsesama caleg. Persoalannya menurut dia bahwa orang menghalalkan segala cara agar dapat terpilih. “Apalagi kalau dia incumbent, atau bisa jadi punya hubungan kuat dari parpol sehingga merasa mendapat dukungan,” katanya.

Poin kedua, sebutnya, bahwa penyelenggara pemilu termasuk Bawaslu masih lemah dalam hal ini. Dimana masih gampang digoda dengan sejumlah uang, apalagi ditingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). “Mereka merasa gak ada beban. Kalaupun hari ini mereka ada terima dan terlibat (permainan), paling nanti gak jadi penyelenggara lagi. Mereka berpikirnya demikian pragmatis dan itu tidak kami pungkiri masih ada terjadi,” ungkapnya.

Syafrida menyebut, peristiwa semacam ini kerap terjadi terutama pada kontestasi pileg. Pihaknya juga mengamini sampai kini belum memiliki formulasi yang tepat guna mengatasi problem dimaksud. Terlebih, sambung dia, pada UU No.7/2017 tentang Pemilu berbeda dengan UU No.8/2015 tentang Pemilu. Dimana pada UU sebelumnya ada Mahkamah Partai dalam setiap penyelesaian permasalahan seperti kecurangan suara tersebut.

“Nah, di UU 7 itu Mahkamah Partai kan dihapus, jadi tidak lagi mengakomodir laporan seperti itu. Alhasil semua dilimpahkan kepada Bawaslu untuk menyelesaikan. Kendala kita adalah, kadang KPU sendiri tidak mau menunjukkan ketika terjadi pergeseran suara,” katanya. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/