MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi kembali menegaskan pelarangan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka di sekolah selama pandemi Covid-19 . Penegasan ini tertuang dalam surat edaran Gubsu terbaru, bernomor 218/GTCOVID-19/VII/2020 yang ditujukan kepada bupati dan wali kota serta pengelola satuan pendidikan se-Sumut.
TERTULIS dalam surat edaran itu, KBM tetap dilakukan dari rumah melalui daring (dalam jaringan/online). “Disampaikan bahwa proses belajar-mengajar tetap dilanjutkan dengan belajar dari rumah (secara daring), sedangkan pembelajaran tatap muka menunggu petunjuk lebih lanjut dari ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Sumatera Utara,” demikian isi surat itu yang dilihat Sumut Pos, Minggu (19/7).
Surat ini merupakan tindak lanjut dari surat edaran nomor 205/GTCOVID-19/VII/2020 yang dikeluarkan Gubsu pada 6 Juli 2020. Dalam edaran sebelumnya, KBM secara tatap muka diizinkan di zona hijau dengan berbagai aturan ketat. Namun dalam surat edaran terbaru ini, KBM secara tatap muka dilarang di semua zona.
Dalam SE sebelumnya, KBM di zona hijau bisa dilakukan dengan tatap muka secara bertahap selama masa transisi yang sudah memenuhi semua daftar periksa dan merasa siap. Pembelajaran secara tatap muka di satuan pendidikan pada zona hijau ini dilakukan dengan penentuan prioritas. Untuk wilayah selain zona hijau memang sudah dilarang melakukan proses pembelajaran tatap muka. Proses belajar mengajar di wilayah ini dilakukan dari rumah secara daring.
“Satuan pendidikan yang berada di zona kuning, oranye, dan merah dilarang melakukan proses pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan dan tetap melanjutkan belajar dari rumah (BDR),” tulis poin pertama dari surat edaran itu.
Anggota DPRD Sumut, Abdul Rahim Siregar menyatakan dukungan atas surat edaran terbaru Gubsu tersebut. Menurutnya, angka kasus baru Covid-19 yang terus meroket memang harus menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan KBM tatap muka di sekolah. “Kita harus melihat ada penurunan kasus baru dan tanda-tanda melandai sebelum kembali membuka sekolah untuk proses belajar mengajar. Jangan ambil risiko sekecil apapun apalagi ini menyangkut keselamatan generasi bangsa kita ke depan,” katanya.
Ia melihat, naiknya kasus baru setiap hari di Sumut disebabkan masyarakat menganggap bahwa kondisi telah normal dari wabah. Padahal, sama sekali pandemi Covid-19 belum berakhir hingga kini. “Ini yang membuat kita teledor sehingga angkanya terus signifikan naik. Di tengah pemerintah sibuk sosialisasi new normal sejak sebulan yang lalu, masyarakat malah menangkap bahwa kondisi sudah normal dari wabah. Ditambah abai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan,” katanya.
Politisi PKS ini juga mengkritisi perubahan istilah-istilah dalam penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah. Menurutnya hal itu tidak menjamin penanganan lebih baik akan virus mematikan tersebut. Masyarakat mesti terus diedukasi sehingga dalam masa transisi menuju adaptasi kebiasaan baru nanti, disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
“Ini tidak menjamin sebenarnya. Yang terpenting itu bagaimana pemerintah apapun istilah yang dipakai, ada kesungguhan dalam menangani Covid-19. Kemudian terus mengampanyekan tentang bahaya Covid-19 kepada masyarakat, menerapkan pola hidup bersih dan sehat serta lain sebagainya agar ada sisi edukasi untuk memudahkan penanganan Covid-19 ini secara maksimal,” kata anggota Komisi A DPRDSU itu.
Pergantian istilah-istilah ini, hemat dia, bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam percepatan penanggulangan bencana nonalam tersebut. Pemerintah disebut dia hanya sibuk mengurusi permukaan luar ketimbang substansi masalah.
“Itukan masalah judul saja, masalah nama. Harusnya substansi penanganan Covid-19 ini yang diurusi oleh pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Artinya bagaimana kasusnya bisa menurun, grafiknya dapat melandai, penanganannya jelas, penyaluran sembako untuk jaring pengaman sosial (JPS) tepat sasaran,” katanya.
Pihaknya mengharapkan apapun pemaknaan yang dipakai, kuncinya adalah keseriusan pemerintah menangani pandemi ini. Terlebih dalam menanggulangi Covid-19 ini, pemerintah memakai uang rakyat melalui berbagai sumber pajak yang dibebankan.
“Untuk Pemprov Sumut saja, targetnya anggaran dipakai sebanyak Rp1,5 triliun. Ya itukan uang rakyat jangan sampai disalahgunakan. Ini kan soal judul saja, terpenting dalam bencana ini adalah substansi penanganannya. Dan jangan sampai dengan istilah-istilah ini ada pengaburan kepada masyarakat. Semua kita sepakat menuju tatanan hidup baru, tetapi jangan dipaksakan kondisinya,” katanya.
Karenanya ia kembali menyarankan supaya sosialisasi dan imbauan tentang penanganan Covid-19 dapat dilakukan lebih masif lagi. “Seperti imbauan di rumah-rumah ibadah, tempat-tempat umum juga dibuat imbauan. Itu penting supaya masyarakat tau. Sehingga ada sebuah keinginan dari masa transisi ini menuju adaptasi kebiasaan baru tersebut,” katanya.
Soal perubahan penanganan dari pergantian istilah ini, ia melihat perlu ditekankan pada perilaku masyarakat itu sendiri. Sebab istilah new normal yang sebelumnya dipakai pemerintah, membuat sikap dan perilaku masyarakat menganggap kondisi telah normal dari wabah. “Seperti di Kota Medan kita melihat, kan macam sudah normal. Di mana-mana orang sudah ramai. Di cafe-cafe, di pajak-pajak (pasar tradisional, Red), dan jalan di mana-mana sudah macet. Ini menunjukkan macam normal yang dulu sebelum ada wabah. Maunya istilah new-nya itu yang gencar disosialisasikan, sebab itu bagian dari protokol kesehatan pada masa transisi menuju adaptasi kebiasaan baru ini,” pungkasnya. (prn)