MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi fakta dan aktual komplek pemakaman keluarga Raja Rantauprapat itu, memprihatinkan. Semak belukar menyelimuti areal perkuburan yang fenomenal tersebut. Jalan mendaki ke sana, pun hanya dibuat sekadarnya, beranaktanggakan tanah. Padahal, makam utama di belakang eks pabrik es, Kelurahan Sioldengan, Kecamatan Rantau Selatan, dan bersebelahan dengan komplek Perumahan Puri Indah Kampungbaru, Kabupaten Labuhanbatu itu, punya peran penting dalam awal berdirinya Kota Rantauprapat saat ini.
Patuan Bolatan, demikian terpatri nama jasad yang bersemayam dalam makam itu. Tertulis pula di nisan, dimakamkan pada 1800. Makamnya bertingkat 7 anak tangga, menandakan jika makam itu merupakan raja. Patuan Bolatan merupakan sesepuh pendiri Kota Rantauprapat saat ini. Generasi penerusnya pun kini banyak yang memiliki peran penting dalam pemerintahan. Baik level provinsi maupun di pemerintahan lokal.
Ironis memang, areal tersebut seakan jauh dari kata terawat. Lumut menempel dan memenuhi dinding makam tersebut.
Situasi yang terjadi, mengundang perhatian dan keprihatinan sosok Elya Rosa Siregar. Mantan Ketua DPRD Labuhanbatu itu, merasa perlu menyambangi areal perkuburan itu, Kamis (17/6) lalu.
Bersama wanita yang juga Ketua HWI Labuhanbatu ini, tampak serta sejumlah wartawan. Areal yang lebih tinggi dari kawasan sekitar jadi lebih mencolok. Dan mudah ditemukan.
Memasuki komplek perkuburan itu, tampak Elya mesti hati-hati menyibak semak. Khususnya menghindari kemungkinan adanya binatang melata berbisa.
Menemukan fisik makam Patuan Bolatan bermarga Dalimunthe, Elya bersegera melakukan ritual ziarah kubur. Mengguyur makam dengan air bersih yang sejak semula dibawa. Tampak juga, bibirnya melafazkan ayat-ayat suci Alquran, dan melantunkan doa-doa untuk bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Taala, dalam hal memberikan kebaikan kepada arwah yang bersemayam di dalam makam.
“Kita ke sini untuk ziarah kubur. Sebagai bentuk hormat generasi saat ini kepada arwah para leluhur,” ungkap Elya.
Elya juga mengatakan, komplek tersebut sudah mesti dijamah. Butuh kepedulian khusus untuk merawatnya. Konon pula, makam itu menyimpan jasad tokoh yang pernah punya peran penting dalam keberadaan Kota Rantauprapat saat ini.
“Kita sebagai generasi penerus, mesti menghormati jasa para pendahulu. Maka kiranya perlu dirancang cara merawat komplek itu,” jelasnya. Pemkab Labuhanbatu dan Pemprov Sumut bisa merawat dengan menjadikan komplek tersebut sebagai bagian dari cagar budaya. Sebab, sudah dapat dijadikan sebagai situs bersejarah dengan usia makam yang lebih 200 tahun.
“Di nisan makam tertulis Patuan Bolatan meninggal di 1800. Maka makam ini sudah dapat dijadikan sebagai cagar budaya,” tegas Elya lagi.
Dari literatur yang ada, menyebutkan, di makam bersama 2 makam istrinya itu, dulunya adalah sosok sang pencetus perlawanan terhadap Sultan Bilah. Raja Rantauprapat yang bergelar Patuan Bolatan setelah berhasil mengerahkan rakyat untuk membelokkan alur air Sungai Bilah. Kebijakan ini menyebabkan pasokan air ke hilir Sungai Bilah mengalami pengurangan, saat itu. Wilayah Kesultanan Bilah yang di hilir Sungai Bilah, pun ikut merasakan dampak kekurangan pasokan air sungai.
Sikap perlawanan terhadap Kesultanan Bilah itu, membuat gusar Sultan Bilah. Tak memilih banyak perlawanan, pihak sultan justru mencari cara melakukan perdamaian. Menjodohkan putrinya ke cucu Raja Patuan Bolatan. Kesultanan Bilah menjodohkan putri Tengku Maharani, untuk dipersunting oleh Mangaraja Lela Setia Muda. Dan islahnya kedua kekuatan ini, menghasilkan kesepakatan menjadikan Mangaraja Lela Setia Muda sebagai penguasa dan raja. Api kemarahan Patuan Bolatan akhirnya padam. (fdh/saz)