TOBA, SUMUTPOS.CO – Tradisi suku Batak Toba sejak ratusan tahun yang lalu dikenal dengan sebi ukur yang berasal dari nenek moyang mereka.
Seni ukiran di kebudayaan masyarakat Batak Toba memberikan repsentasi simbol serta maksud tertentu. Karenanya tak jarang rumah – rumah orang Toba dihiasi pernak – pernik ukir yang penuh arti.
Pengrajin seni ukir atau sering dikenal dengan sebutan handycraft dapat dijumpai di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
M Samosir (48) merupakan salah satu pengukir di kawasan destinasi Danau Toba. Dia menyadari saat ini minat masyarakat terutama kaum muda sangat minim dengan sebi ukir.
“Ya karena salah satu alasannya adalah arus modernisasi,” ujarnya, Kamis (22/6/2023).
Dijelaskannya, seni ukir ini bukan hanya sekadar seni, tetapi juga untuk melestarikan budaya. Karena dibesarkan di keluarga pengukir, M Samosir pun mulai mempelajari dan menjadikannya profesi.
Bahkan, sejak tahun 2012, dia sudah aktif mengikuti berbagai pameran.
“Orang toba menyebut seni ukir itu bernama gorga, berupa pahatan kayu yang dilukis sedemikian rupa membentuk karakter tertentu,” jelas M Samosir.
Bagi orang Batak Toba, ukiran tak hanya dipandang sebagai sesuatu objek seni yang indah. Lekukan hasil dari pahatannya bermakna magis dengan karaker warna merah, hitam dan putih yang sangat kuat. Sarat dengan simbol hukum, aturan serta adat istiadat yang mengikat.
ia menjelaskan ukiran atau gorga bagi pengrajin di Batak Toba masih menggunakan peralatan seperti ketam, pahat, mesin amplas, pisau ukir, gergaji, bor tangan, dan lain-lain. Semua dilakukan dengan manual sesuai dengan motif ukiran yang dipesan.
Kayu yang digunakan adalah kayu ungil, sebab ketahanan kayu tersebut cukup kuat. Serta tidak begitu sukar membentuk bagian permukaan hingga dalamnya saat proses pemahatan dilakukan.
Hasil pahatan seni yang dibuat M Samosir berupa perkakas rumah tangga, hiasan dinding, miniatur aksesoris gantungan kunci, tongkat adat, hingga peti mati. Hal tersebut menjadi media yang lazim bagi orang toba untuk mengaktualisasikan seni ukir yang berasal nenek moyang mereka.
Hasil kerajinannya berupa aksesoris buat wisatawan sering dijajakan toko-toko souvenir di Samosir, Balige, Parapat. “Miniatur budaya dan gantungan kunci yang saya buat ini, nanti ada yang ambil. Biasanya mereka pesan dulu,” ujarnya.
Bahkan pesanan kerajinan ukiran tak datang dari kawasan toba saja. Pertengahan Mei 2023, ia menyelesaikan pesanan Tunggal Panaluan (tongkat kayu panjang sekitar 2 meter) dan sudah mengirimnya ke Kota Bekasi, Jawa Barat. Tongkat yang biasanya digunakan untuk acara adat ini, ia bandrol seharga Rp2,5 juta.
Di tempat berbeda, M Sirait (55) menyarankan agar pengrajin membuat komunitas lalu berdiskusi bagaimana memanfaatkan teknologi untuk membuat iklan dan sistem penjualan online.
Sosok pria yang juga pendiri Taman Eden 100 di Toba menyampaikan bahwa perlu adanya sekumpulan tempat khusus menjajakan semua hasil seni lokal. “Jadi wisatawan yang ingin mencari souvenir kesana semua. Seperti yang ada di Provinsi Bali, tempatnya besar dan semua karya seni Bali ada di sana,” jelasnya.
Diselamatkan KUR BRI dari keterpurukan Covid-19
Pandemi Covid-19 diawal tahun 2020 lalu, sempat membuat usaha M Samosir terpuruk. Sebab kunjungan wisatawan ke Danau Toba menurun drastis. Membuat toko toko souvenir banyak yang tutup dan tak ada yang membeli karya seni ukirnya.
“Wah, kalau masa cCovid itu memang gawat kali. Saya sampai kehabisan modal juga,” kata M Samosir.
Untuk mencari kesibukan waktu luangnya, ia berladang serta membantu profesi istrinya menjadi pengepul hasil bumi di daerahnya. Sebab tak ada orderan kerajinan yang diterimanya.
Kini aktivitas pariwisata kembali normal. Ia pun memulai kegiatannya seperti semula. Kendala berikutnya dialami adalah kurangnya modal. “Disitulah saya punya pengalaman meminjam KUR ke Bank BRI,” kenangnya.
Ia juga bercerita soal keseriusan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk membatu pelaku usaha yang terpuruk usai hantaman tsunami Covid-19, diakuinya sangat menolong pinjaman tersebut. Ia pun tak menyangka dengan suntikan modal pinjaman itu, usahanya kini perlahan bangkit.
“Kalau tak dibantu BRI entah bagaimana lah saya saat itu. Mungkin saya tak begini lagi. Yah, ke ladang-ladang saja lah,” ujar M Samosir.
Tak hanya memberikan suntikan permodalan, ia juga kerap dilibatkan dalam program BRI berupa pameran dari karya kerajinannya.
“Jadi kalau orang BRI bikin acara saya sering dikontak untuk bantu isi stand UMKM. Lumayan juga saya pikir, habis Covid itu, saya lebih punya kesempatan memperkenalkan budaya nenek moyang kami melalui seni,” ucapnya.
Namun ketika ditanya tentang proses penunjang pemasaran melalui sarana digitalisasi, M Samosir menjawab disitulah kelamahanya. “Saya gak bisa main hp, paling anak saya la yang pintar main hp,” pungkasnya. (Dat)