KARO, SUMUTPOS.CO – Ada yang menarik dari lokasi pengungsian penduduk areal Gunung Sinabung, di Kabanjahe dan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di lokasi-lokasi pengungsian, ternyata warga cenderung berkelompok per desa.
Pantauan SUMUTPOS.CO, di sebuah lokasi pengungsian di sebuah jambur di Peceren Berastagi, sebanyak 400-an KK warga yang mengungsi di jambur tersebut berasal dari sebuah desa, langsung dipimpin kepala desanya. ”Hanya 8 KK yang tidak ikut di sini, karena memilih ke rumah famili,” kata Pak Sitepu, kepala desa, kepada SUMUTPOS.CO.
Di pengungsian bekas Universitas Karo (UKA di Jalan Berastagi-Kabanjahe, dari 3.000-an jiwa pengungsi yang memilih lokasi itu, juga membentuk komunitas sendiri. Dari empat desa yang memilih UKA sebagai lokasi pengungsian, masing-masing memiliki dapur umum sendiri. ”Ada empat dapur umum di sini, dan masing-masing desa memasak untuk warga masing-masing,” kata Pak Sembiring, seorang warga yang sedang mendapat giliran memasak hari itu di tenda dapur umum desanya.
Dari empat dapur umum, masing-masing desa mengatur jadwal memasak. Tiap hari, 30 warga ditunjuk untuk memasak makan pagi, makan siang, dan makan malam. Meski logistik diatur oleh secara terpusat, tetapi menu antar dapur bisa berbeda. Di dapur yang satu, sayurnya jipang dengan lauk ikan teri goreng. Di dapur lain, lauknya ikan asin dengan sayur gulai buncis campur udang.
”Untuk makan malam, kami akan menyayur labu,” kata Boru Ginting, dari sebuah dapur umum. Di dapur desa lainnya, sayur untuk makan malamnya tetap jipang, sama dengan menu siang.
”Tergantung sumbangan juga. Kan ada famili yang nyumbang kelapa ke kami, jadi kami bisa menggulai sayur,” cetus Boru Ginting sumringah.
Apakah seluruh peralatan masak juga sumbangan? ”Bukan, masing-masing desa membawa dari desanya,” jawab Pak Sembiring.
Di lokasi pengungsian UKA, kecenderungan berkumpul sesama warga desa juga terlihat. Dari beberapa ruangan yang disediakan Paroki, warga cenderung berkelompok per keluarga atau per desa. ”Agar lebih mudah berkomunikasi,” kata seorang ibu seraya mengunyah sirihnya. (mea)