26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dapur Umum Dibedakan per Desa, Menu pun Ikut Berbeda

Foto: Dame Ambarita/sumutpos.co Emppat pria mengeliling kuali besar di mana mereka memasak gulai buncis campur dang di dapur umum 'milik' desa mereka di lokasi pengungsi Sinabung, UKA. Menu mereka berbeda dengan dapur umum lainnya.
Foto: Dame Ambarita/sumutpos.co
Emppat pria mengeliling kuali besar di mana mereka memasak gulai buncis campur dang di dapur umum ‘milik’ desa mereka di lokasi pengungsi Sinabung, UKA. Menu mereka berbeda dengan dapur umum lainnya.

KARO, SUMUTPOS.CO – Ada yang menarik dari lokasi pengungsian penduduk areal Gunung Sinabung, di Kabanjahe dan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di lokasi-lokasi pengungsian, ternyata warga cenderung berkelompok per desa.

Pantauan SUMUTPOS.CO, di sebuah lokasi pengungsian di sebuah jambur di Peceren Berastagi, sebanyak 400-an KK warga yang mengungsi di jambur tersebut berasal dari sebuah desa, langsung dipimpin kepala desanya. ”Hanya 8 KK yang tidak ikut di sini, karena memilih ke rumah famili,” kata Pak Sitepu, kepala desa, kepada SUMUTPOS.CO.

Di pengungsian bekas Universitas Karo (UKA di Jalan Berastagi-Kabanjahe, dari 3.000-an jiwa pengungsi yang memilih lokasi itu, juga membentuk komunitas sendiri. Dari empat desa yang memilih UKA sebagai lokasi pengungsian, masing-masing memiliki dapur umum sendiri. ”Ada empat dapur umum di sini, dan masing-masing desa memasak untuk warga masing-masing,” kata Pak Sembiring, seorang warga yang sedang mendapat giliran memasak hari itu di tenda dapur umum desanya.

Dari empat dapur umum, masing-masing desa mengatur jadwal memasak. Tiap hari, 30 warga ditunjuk untuk memasak makan pagi, makan siang, dan makan malam. Meski logistik diatur oleh secara terpusat, tetapi menu antar dapur bisa berbeda. Di dapur yang satu, sayurnya jipang dengan lauk ikan teri goreng. Di dapur lain, lauknya ikan asin dengan sayur gulai buncis campur udang.

Giliran masak di lokasi pengungsi Sinabung-UKA. Seorang ibu bersiap merebus sayur jipang untuk makan siang warga desa mereka. Menu mereka beda dengan dapur desa lainnya, di lokasi yang sama.
Giliran masak di lokasi pengungsi Sinabung-UKA. Seorang ibu bersiap merebus sayur jipang untuk makan siang warga desa mereka. Menu mereka beda dengan dapur desa lainnya, di lokasi yang sama.

”Untuk makan malam, kami akan menyayur labu,” kata Boru Ginting, dari sebuah dapur umum. Di dapur desa lainnya, sayur untuk makan malamnya tetap jipang, sama dengan menu siang.

”Tergantung sumbangan juga. Kan ada famili yang nyumbang kelapa ke kami, jadi kami bisa menggulai sayur,” cetus Boru Ginting sumringah.

Apakah seluruh peralatan masak juga sumbangan? ”Bukan, masing-masing desa membawa dari desanya,” jawab Pak Sembiring.

Di lokasi pengungsian UKA, kecenderungan berkumpul sesama warga desa juga terlihat. Dari beberapa ruangan yang disediakan Paroki, warga cenderung berkelompok per keluarga atau per desa. ”Agar lebih mudah berkomunikasi,” kata seorang ibu seraya mengunyah sirihnya. (mea)

Foto: Dame Ambarita/sumutpos.co Emppat pria mengeliling kuali besar di mana mereka memasak gulai buncis campur dang di dapur umum 'milik' desa mereka di lokasi pengungsi Sinabung, UKA. Menu mereka berbeda dengan dapur umum lainnya.
Foto: Dame Ambarita/sumutpos.co
Emppat pria mengeliling kuali besar di mana mereka memasak gulai buncis campur dang di dapur umum ‘milik’ desa mereka di lokasi pengungsi Sinabung, UKA. Menu mereka berbeda dengan dapur umum lainnya.

KARO, SUMUTPOS.CO – Ada yang menarik dari lokasi pengungsian penduduk areal Gunung Sinabung, di Kabanjahe dan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di lokasi-lokasi pengungsian, ternyata warga cenderung berkelompok per desa.

Pantauan SUMUTPOS.CO, di sebuah lokasi pengungsian di sebuah jambur di Peceren Berastagi, sebanyak 400-an KK warga yang mengungsi di jambur tersebut berasal dari sebuah desa, langsung dipimpin kepala desanya. ”Hanya 8 KK yang tidak ikut di sini, karena memilih ke rumah famili,” kata Pak Sitepu, kepala desa, kepada SUMUTPOS.CO.

Di pengungsian bekas Universitas Karo (UKA di Jalan Berastagi-Kabanjahe, dari 3.000-an jiwa pengungsi yang memilih lokasi itu, juga membentuk komunitas sendiri. Dari empat desa yang memilih UKA sebagai lokasi pengungsian, masing-masing memiliki dapur umum sendiri. ”Ada empat dapur umum di sini, dan masing-masing desa memasak untuk warga masing-masing,” kata Pak Sembiring, seorang warga yang sedang mendapat giliran memasak hari itu di tenda dapur umum desanya.

Dari empat dapur umum, masing-masing desa mengatur jadwal memasak. Tiap hari, 30 warga ditunjuk untuk memasak makan pagi, makan siang, dan makan malam. Meski logistik diatur oleh secara terpusat, tetapi menu antar dapur bisa berbeda. Di dapur yang satu, sayurnya jipang dengan lauk ikan teri goreng. Di dapur lain, lauknya ikan asin dengan sayur gulai buncis campur udang.

Giliran masak di lokasi pengungsi Sinabung-UKA. Seorang ibu bersiap merebus sayur jipang untuk makan siang warga desa mereka. Menu mereka beda dengan dapur desa lainnya, di lokasi yang sama.
Giliran masak di lokasi pengungsi Sinabung-UKA. Seorang ibu bersiap merebus sayur jipang untuk makan siang warga desa mereka. Menu mereka beda dengan dapur desa lainnya, di lokasi yang sama.

”Untuk makan malam, kami akan menyayur labu,” kata Boru Ginting, dari sebuah dapur umum. Di dapur desa lainnya, sayur untuk makan malamnya tetap jipang, sama dengan menu siang.

”Tergantung sumbangan juga. Kan ada famili yang nyumbang kelapa ke kami, jadi kami bisa menggulai sayur,” cetus Boru Ginting sumringah.

Apakah seluruh peralatan masak juga sumbangan? ”Bukan, masing-masing desa membawa dari desanya,” jawab Pak Sembiring.

Di lokasi pengungsian UKA, kecenderungan berkumpul sesama warga desa juga terlihat. Dari beberapa ruangan yang disediakan Paroki, warga cenderung berkelompok per keluarga atau per desa. ”Agar lebih mudah berkomunikasi,” kata seorang ibu seraya mengunyah sirihnya. (mea)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/