JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah mengatur syarat perjalanan orang wajib menyertakan tes PCR untuk mendeteksi Covid-19 bagi moda transportasi penerbangan. Alasannya, PCR lebih menjamin standar emas (gold standard) dibanding rapid tes antigen. Apalagi saat ini tempat duduk di pesawat sudah tak berjarak. Tapi, kebijakan itu dikritik oleh epidemiolog.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, jika ingin mewajibkan PCR sebagai syarat wajib penerbangan, maka semestinya pemerintah menurunkan harga tes PCR agar tak terlalu jauh dengan rapid tes antigen. Sehingga tak ada celah pihak-pihak yang akan memanfaatkan.
“Opsi idealnya harganya turun, lebih terjangkau di kisaran tak signifikan berbeda dengan rapid tes antigen. Misalnya Rp200 ribu gitu, ya, dan perlu subsidi berarti kalau mau harga segitu,” tegas Dicky kepada JawaPos.com, Minggu (24/10).
Menurutnya, selain harga, ketersediaan lokasi testing juga harus lebih banyak. Dan kecepatan hasilnya juga harus menjamin waktunya. “Ini yang berat. Berat sekali. Dan selain itu juga harus memastikan monitoring dari kualitas penyedia testing itu terjaga, sehingga tak menimbulkan potensi kerawanan lainnya, misalnya PCR rentan pemalsuan. Sebab ini strategi riskan, berisiko,” jelas Dicky. “Dari sisi risiko efektivitas penerapannya, bukan si PCR yang tak efektif ya, PCR memang gold standard, kan, tapi cost effectivity-nya yang jadi isu mendasar,” jelasnya.
Maka jika syarat PCR tetap wajib, Dicky meminta pemerintah wajib menjamin dari sisi kecepatan waktu hasil PCR dan juga dari sisi SDM. Jika kecepatan dan harga ideal tak terpenuhi, Dicky khawatir banyak penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. “Jika itu tak terpenuhi dari sisi kecepatan,dari harga tak terpenuhi itu akan ada orang bisa memanfaatkan. Itu yang terjadi. Dalam hal apa, potensi penyalahgunaan bisa terjadi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam masa 1–2 minggu kebijakan tersebut harus dievaluasi. Pemerintah harus memonitoring kebijakan tersebut berbasis pendekatan risiko. “Padahal penularan Covid-19 saat naik pesawat itu paling amat kecil dibanding moda transportasi lainnya, hanya 1 persen. Kecil sekali. Ya kalau risikonya kecil, jangan dikasih syarat ketat,” tegasnya.
Dicky juga meragukan hasil PCR di bandara Soekarno-Hatta yang bisa keluar dalam waktu 3 jam. Sebab kecepatan itu tak akan mungkin bisa dikejar, jika penumpang yang datang terlampau banyak. Kerja laboran atau petugas laboratorium pun akan menjadi lebih berat.
“Soal hasil 3 jam ini pun menurut saya masih ragu-ragu ya, kalau sedikit ya bisa dipercepat tapi kalau banyak ya enggak bisa. Jangan dibayangkan tes PCR masukin mesin selesai. Enggak begitu, ada kerja manusianya. Itu kan satu -satu. Kalau ini kan, ada kerja orang laboran yang memproses. Kalau banyak itu perlu waktu. Dan hasil 3 jam ini saya surprise. Ragu, ya, 3 jam luar biasa,” ujarnya.
Seperti diketahui, tarif swab antigen untuk Jawa-Bali ditetapkan maksimal Rp99 ribu. Untuk daerah di luar Jawa-Bali, tarif maksimal Rp109 ribu. Tarif tes PCR ditetapkan maksimal Rp495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp525 ribu untuk area di luar Jawa-Bali.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, kewajiban tes PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti bakal memberatkan. Konsumen enggan kembali memanfaatkan transportasi udara. “Dampaknya juga akan dirasakan dunia penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya kemarin (23/10).
Di sisi lain, kata dia, kebijakan itu kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya calon pengguna moda transportasi udara yang diwajibkan tes PCR. Pengguna moda transportasi lain masih diperkenankan memakai hasil swab antigen. Bahkan, ada yang hanya perlu menunjukkan bukti telah divaksin.
Selain itu, menurut dia, perubahan level PPKM menjadi level 2 dan 1 seharusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha. Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, syarat penerbangan semestinya cukup dengan melampirkan hasil swab antigen.
Karena itu, Agus mendesak kebijakan itu dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis. Bukan sebagai alat skrining perjalanan. “Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab, tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” jelasnya.
Namun, bila masih bersikukuh menjadikan tes PCR sebagai kewajiban penumpang pesawat, pemerintah perlu menekan biaya tes seminimal-minimalnya. Dengan demikian, konsumen bisa menjalani tes PCR dengan harga terjangkau. “Jangan sampai menimbulkan praduga di masyarakat bahwa kebijakan ini kental aura bisnisnya,” katanya.
Pemalsu PCR Diringkus di KNIA
Kekhawatiran akan pemalsuan hasil test PCR terbukti. Hasil tes PCR diduga palsu berhasil dibongkar polisi di Bandara Internasional Kualanamu (KNIA), Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut). Seorang pria diamankan lantaran dua kali menjual hasil tes PCR diduga palsu seharga Rp750 ribu.
Pelaku bernama Ahmad (41), ditangkap dan telah ditetapkan menjadi tersangka. Wakapolresta Deliserdang, AKBP P Julianto Sirait mengatakan kasus ini terungkap pada Selasa (19/10/2021) sekitar pukul 15.00 WIB, di area terminal lantai 2 Bandara Kualanamu.
Awalnya pihak bandara memeriksa tes PCR salah seorang penumpang bandara atas nama Desri Natalia Sinaga. “Desri diamankan karena memperlihatkan surat hasil pemeriksaan PCR test yang diduga palsu,” terang AKBP Julianto saat paparan di Mapolresta Deliserdang, Lubuk Pakam, Jumat (22/10).
Saat diintrogasi petugas, Desri menyebut, surat itu berasal dari Klinik Jemadi dan dia melakukan PCR pada Senin (18/10). “Lalu Klinik Jemadi yang dihubungi melalui telepon menyebut tidak pernah membuat surat hasil pemeriksaan PCR atas nama Desri Natalia,” ungkapnya.
Kemudian Desri mengaku membuat surat PCR itu melalui karyawan travel di Bandara Kualanamu bernama Ahmad. Mengetahui itu, Polisi bergegas lalu menangkapnya.
Kasat Reskrim Polresta Deliserdang, Kompol M Firdaus mengatakan modus tersangka saat beraksi, mengamati gerak-gerik Desri yang tampak kebingungan, karena belum memiliki surat tes PCR. “Saat itu tersangka mengambil moment untuk menawarkan jasa, membuat swab PCR dan dijamin aman, sehingga calon penumpang tersebut menerima jasa dari si tersangka,” jelas Firdaus.
Dikatakannya, dari hasil penyelidikan tersangka mengaku membuat surat PCR palsu ini sudah dua kali. “Pertama seminggu yang lalu tepatnya pada tanggal 12 Oktober dan yang terakhir pada tanggal 19 Oktober 2021, yang pertama berhasil berangkat dengan harga penjualan Rp750 ribu,” sebut Firdaus.
Menurutnya, pelaku lalu membuat swab yang diduga palsu dan satu jam kemudian memberikan kepada calon penumpang tersebut untuk keperluan berangkat ke Jakarta. “Tersangka dikenakan pasal 263 KUHP dan UU Karantina Kesehatan dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara,” pungkasnya. (jpc/bbs)